Oleh: hurahura | 26 Januari 2013

Irigasi Sultan Ageng Tirtayasa Kurang Terawat

KOMPAS, Senin, 21 Januari 2013 – Kondisi bangunan-bangunan sistem irigasi peninggalan Sultan Banten VI Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682) di Situs Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten, kurang mendapat perhatian. Bangunan bernilai sejarah tinggi yang dapat menjadi materi studi arsitektur, teknologi, dan tata kelola air itu mendesak ditangani.

Sisa-sisa bangunan sistem irigasi Sultan Ageng itu berada di Kecamatan Tirtayasa, Pontang, Tanara, dan Carenang. Bangunan yang dibangun pada 1663-1677 itu berupa bendungan, pintu air, dan kanal air.

”Selama ini tak ada biaya perawatan dari pemerintah. Warga juga kurang peduli karena belum tahu peninggalan itu sangat bernilai,” kata juru pelihara Balai Penyelamatan Situs Tirtayasa, Akhmad Taini, Minggu (20/1). Bangunan-bangunan itu kurang terawat, tanpa pagar keliling, dan orang mudah masuk keluar lokasi.

Berdasarkan pantauan di Desa Bendung, Kecamatan Tanara, bangunan sistem irigasi itu berupa pintu dan terowongan air. Bangunan berada di kompleks permukiman penduduk. Sejumlah batu bata kuno bangunan rapuh, rusak, dan hilang. Bangunan itu juga rusak tercengkeram akar beringin.

Pada areal persawahan Desa Sujung, Kecamatan Tirtayasa, terdapat pintu air. Kondisinya juga tak terawat sehingga ditumbuhi tanaman liar. Sebagian batu bata kuno bangunan tersebut telah lapuk, rusak, dan hilang.

Akhmad menambahkan, Sultan Ageng Tirtayasa membangun sistem irigasi itu untuk memperluas pertanian di Banten Lama. Sistem irigasi tersebut dibangun di pesisir Banten, yaitu Kecamatan Pontang, Tirtayasa, Tanara, dan sebagian Carenang. Air di kawasan itu payau.

”Irigasi itu bersumber dari Sungai Ciujung lama dan Cidurian. Air dari kedua sungai itu dialirkan menggunakan saluran besar yang disebut kanal sultan dan ditahan di bendungan-bendungan kecil,” katanya.


Bendungan Pamarayan

Bangunan cagar budaya teknologi pengairan yang kondisinya kurang terawat juga dialami Bendungan Pamarayan Lama di Kecamatan Pamarayan. Bendung yang dirancang Belanda pada 1901 itu dibangun tahun 1914 dan dioperasikan 1918.

Belanda membangun bendungan gerak tersebut untuk mengendalikan banjir Sungai Ciujung. Bendung itu sekaligus untuk mengairi 17.490 hektar sawah di bagian timur dan 4.660 hektar sawah di Kabupaten dan Kota Serang.

”Bendungan itu rusak pada bangunan utama dan tiang pintu nomor delapan hampir roboh,” kata juru pelihara Bendungan Pamarayan Lama, Jamaludin Ugaen. Pintu-pintu baja bendungan tersebut juga penuh coretan. (HEN)


Tanggapan

  1. Pemerintah dan masyarakat Indonesia cenderung kurang memperhatikan peninggalan sejarah. Sungguh patut disayangkan, padahal hidup mereka juga terbentuk dari sejarah. Di Indonesia ini yang paling banyak mendapat perhatian hanya ekonomi dan politik. Coba saja dilihat dari sektor sejarah dan pelestarian alamnya… Berapa kali menjadi headline bagi pemerintah?


Tinggalkan Balasan ke scistoryan Batalkan balasan

Kategori