Oleh: hurahura | 18 April 2016

Temuan Tertua Makin Lengkap

Homo-01Penemuan fosil fragmen tengkorak di Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, Februari lalu, melengkapi koleksi Homo erectus arkaik atau Homo erectus tertua yang jumlahnya baru sekitar 20 individu. Temuan itu menegaskan Indonesia sebagai “ladang subur” bagi riset manusia purba.

Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto mengatakan, selama ini, penemuan fosil Homo erectus arkaik atau manusia berjalan tegak yang hidup pada 1,5 juta-1 juta tahun lalu tergolong sedikit. Penemuan Homo erectus arkaik terakhir terjadi pada 2007 di Glagahombo, Sangiran.

Seperti diberitakan sebelumnya, pada 6 Februari 2016, Setu Wiryorejo, warga Grogolan Manyarejo, Sragen, menemukan fosil atap tengkorak belakang manusia purba. Diduga kuat, fosil tersebut adalah bagian dari tengkorak Homo erectus arkaik.

“Penemuan kembali fosil Homo erectus di Sangiran itu menambah koleksi fosil Homo erectus arkaik yang jumlahnya masih sangat terbatas, yakni 20-an individu,” kata Harry, Minggu (17/4), di Jakarta.

Proses Penanggalan Libatkan Peneliti Perancis

Berdasarkan periode kehidupannya, terdapat tiga jenis Homo erectus, yaitu Homo erectus arkaik yang hidup 1,5 juta-1 juta tahun lalu; Homo erectus tipik yang hidup 730.000-300.000 tahun lalu; dan Homo erectus progresif yang hidup pada 200.000- 100.000 tahun lalu.

Homo erectus arkaik hidup saat lingkungan Sangiran masih berupa rawa-rawa (1,8 juta- 900.000 tahun lalu), yang ditandai dengan lapisan tanah lempung berwarna hitam atau disebut Formasi Pucangan. Pada masa itu, Homo erectus arkaik tinggal di pinggir sungai-sungai purba yang mengalir di tengah-tengah rawa.

“Artefak peninggalan Homo erectus juga ditemukan di endapan sungai purba, yakni berupa alat-alat dari serpihan batuan kalsedon,” ucap Harry.

Para peneliti menemukan pula fosil-fosil fauna yang hidup berdampingan atau semasa dengan Homo erectus arkaik. Jenis fauna yang ditemukan memang belum beragam. Beberapa di antaranya ialah kuda nil purba, kura-kura raksasa, dan sejumlah jenis hewan rusa.

Penemuan fosil fauna menjadi lebih beragam pada periode kehidupan Homo erectus tipik (730.000-300.000 tahun lalu). Pada masa tersebut, lingkungan Sangiran telah berubah menjadi hutan terbuka.


Indikasi kuat

Menurut Harry, indikasi bahwa temuan fosil di Sungai Bojong, Sangiran, itu merupakan fragmen tengkorak Homo erectus arkaik bersifat sangat kuat. Beberapa hal yang menguatkan antara lain lempung hitam yang melekat pada fosil dan morfologi fragmen tengkorak tersebut.

“Dari lempung hitam yang melekat pada fosil, kita mengetahui fosil berasal dari Formasi Pucangan (lapisan endapan lempung hitam periode 1,8 juta- 900.000 tahun lalu). Homo erectus arkaik berada pada lapisan Pucangan bagian atas, sekitar 1,5 juta tahun lalu,” ucap Harry.

Kemudian, dari sisi konstruksi morfologi, ukuran tengkorak bagian atas dan bawahnya pendek dengan volume otak hanya 870 cc. Artinya, volume otak Homo erectus arkaik ini jauh lebih kecil ketimbang otak manusia modern (1.200-1.400 cc) dan sedikit lebih besar daripada volume otak kera (600 cc). Jika dibandingkan dengan volume otak jenis Homo erectus lainnya, Homo erectus arkaik memiliki volume otak paling kecil.

Selain bervolume otak kecil, tulang tengkorak Homo erectus arkaik itu juga memiliki ketebalan yang signifikan, sekitar 1 sentimeter. Penebalan terdapat pada bagian kanan dan kiri tengkorak yang melingkar ke belakang. Ciri ini persis dengan fosil Sangiran 4 temuan GHR von Koenigswald pada 1936 yang juga berasal dari Formasi Pucangan.


Lakukan penanggalan

Meski secara karakteristik fosil ini sangat identik dengan fosil Homo erectus di Sangiran 4, para peneliti di Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran terus berusaha memastikan usia fosil dengan melakukan penanggalan (dating). Karena keterbatasan peralatan, upaya penanggalan, menurut rencana, akan ditempuh dengan menggandeng peneliti dari Perancis.

“Supaya diketahui secara global, penelitian ini harus dipublikasikan ke jurnal ilmiah internasional. Meski demikian, kita tidak bisa terburu-buru melakukannya. Untuk meneliti satu fosil, biasanya perlu waktu satu hingga dua tahun sebelum diterbitkan dalam jurnal ilmiah,” ucap Harry.

Menurut Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran Sukronedi, fosil tersebut diduga berasal dari lapisan Pucangan yang longsor, kemudian terbawa ke sungai (Kompas, 16/4).

Penemuan fosil terbaru di Sangiran ini dinilai semakin menegaskan bahwa Indonesia merupakan “ladang subur” bagi penelitian manusia purba. (ABK)

(Sumber: Kompas, Senin, 18 April 2016)


Tinggalkan komentar

Kategori