Oleh: hurahura | 29 Juli 2012

Karakteristik Kompleks Pemakaman Kuna Selaparang

Oleh: Libra Hari Inagurasi
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional


Pendahuluan

Situs kompleks pemakaman kuna Selaparang secara administratif berada di Kampung Karangjero, Dusun Selaparang Barat, Desa Selaparang, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Luas Desa Selaparang 824 hektar, terdiri dari 4 dusun, yakni (1) Dusun Selaparang Barat, (2) Selaparang Timur, (3) Batman, dan (4) Batu Tinja. Desa Selaparang berada di lereng Gunung Rinjani sebelah tenggara, merupakan daerah perbukitan pada ketinggian sekitar 162 meter di atas permukaan laut.

Dipilihnya batu nisan kompleks pemakaman kuna Selaparang sebagai pokok bahasan, bahwa situs kompleks pemakaman kuna Selaparang merupakan pusat penyebaran agama Islam di Lombok pada masa lampau. Situs tersebut merupakan situs pemakaman Islam, yang terdiri dari sejumlah makam. Situs-situs arkeologi masa Islam di Indonesia, diantaranya menyediakan data-data arkeologi mengenai penyebaran agama di wilayah Nusantara pada masa lampau. Seperti halnya dengan kompleks pemakaman kuna Selaparang, yang berada di Lombok Timur. Situs tersebut diyakini oleh para ahli sebagai pusat penyebaran agama Islam di Lombok. Sebagai kompeks makam yang tua, situs Selaparang tersebut menyediakan informasi mengenai bentuk nisan serta pola keruangannya.

Peninggalan arkeologi Islam di Indonesia yang berwujud makam banyak dijumpai, dengan demikian peninggalan makam kuna bukan hanya ada di Selaparang. Makam-makam kuna tersebut pada umumnya berada di tempat-tempat yang dahulu menjadi pusat penyebaran agama Islam. Makam kuna yang ada di Jawa sebagai contoh adalah makam para Wali, di Sulawesi Selatan yakni kompleks makam Raja Gowa Tallo. Makam-makam kuna yang berada di daerah-daerah Indonesia, memiliki karakteristik sendiri.

Kompleks makam Selaparang merupakan salah satu makam kuna yang terdapat di Lombok. Menurut para ahli makam tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-17. Tulisan ini bermaksud mengungkap karakteristik atau ciri-ciri kekunaan yang ada pada kompleks makam Selaparang. Metode yang digunakan yakni melalui tahap-tahap observasi, klasifikasi, dan interpretasi. Untuk mengungkap karakteristik makam Selaparang, maka tolok ukur yang dipakai iadalah data arkeologi sebagai kompleks makam kuna di antaranya tentang tata letak, bentuk batu nisan, dan bahan baku yang digunakan.


Kesejarahan Selaparang

Nama Selaparang yang pada masa lalu sebuah “kerajaan”, di masa sekarang merupakan sebuah desa kecil. Selaparang pada masa lampau adalah nama sebuah kerajaan yang diduga sudah ada sejak masa Klasik pengaruh Hindu Budha, abad ke-14 yang merupakan daerah taklukan kerajaan Majapahit. Namun demikian penelusuran sejarah Kerajaan Selaparang agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Kendala utama ialah pada kurang tersedianya sumber-sumber tertulis yang memadai. Sumber-sumber tertulis yang tersedia berupa Babad, kandungan isi nya masih memerlukan kajian antara aspek kesejarahan dengan segi-segi mitos-nya.

Sejak kapan Kerajaan Selaparang hadir dalam sejarah, dimana lokasi pusat kerajaannya belum terdapat sumber-sumber tertulis yang memberitakan. Sejarah Selaparang bersifat fragmentaris, berupa penggalan-penggalan kesejarahan yang tidak utuh. Pulau Lombok muncul dalam sumber tertulis sejak masuknya pengaruh Majapahit di pulau tersebut, bersamaan dengan diikrarkannya Amukti Palapa yang lazim dikenal dengan Sumpah Palapa oleh Patih Hamangkubhumi Gajah Mada di hadapan Raja Thribuwanottungadewi dan para mantri pada tahun 1331. Majapahit berambisi untuk menaklukkan atau menguasai seluruh wilayah Nusantara, dengan alasan untu mempersatukannya. Penaklukkan wilayah Nusantara oleh Majapahit tersebut berlangsung secara bertahap, seluruh Nusantara dapat ditaklukkan oleh Majapahit hingga masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa tersebut, maka dilakukan ekspedisi di bawah pimpinan Pu Nala pada tahun 1443 (Pigeaud 1960:83-84).

Pulau Lombok termasuk salah satu wilayah yang ditaklukkan oleh Majapahit. Lombok waktu dinamakan dengan gurun. Sementara itu di dalam Negarakretagama pupuh ke-14, disebutkan bahwa “Lombok Mirah” dan “Sasak” menjadi daerah kekuasaan Majapahit. Sekalipun para ahli berbeda pendapat mengenai penafsiran kata “Lombok Mirah” dan “Sasak” , namun ada satu pendapat bahwa lokasi “Lombok Mirah” dan “Sasak” berada di Lombok (Pigeaud 1960:17). Ekspedisi oleh Pu Nala dilanjutkan oleh Gajah Mada pada pertengahan abad ke-14 tersebut, meninggalkan jejak kerajaan-kerajaan berlatar belakang agama Hindu, kerajaan-kerajaan itu ialah Gel-Gel di Bali, adapun di Lombok meninggalkan 4 kerajaan yaitu (1) Kerajaan Bayan di Lombok bagian barat, (2) Kerajaan Selaparang di bagian timur, dan (3) Kerajaan Langko di tengah, dan (4) Kerajaan Pejanggik di sebelah selatan. Selain ke empat kerajaan utama tersebut terdapat kerajaan-kerajaan kecil, diantaranya Parwa, Sokong, Pujut, Batu Dendeng. Oleh karena itulah Kerajaan Selaparang diperkirakan telah ada sejak masa pengaruh Hindu, dengan kata lain pada awal mulanya Selaparang adlah kerajaan Hindu. Di dalam sumber-sumber lokal (babad) Kerajaan Selaparang didirikan oleh Ratu Mas Pahit, seorang keturunan Prabu Brawijaya dari Majapahit.

Keruntuhan Kerajaan Majapahit abad ke-15 menyebabkan kerajaan Hindu di Lombok menjadi wilayah yang merdeka, diantaranya ialah Kerajaan Lombok yang berada di Labuhan Lombok, Teluk Lombok. Lokasi tersebut sangat indah dan terdapat sumber air tawar, dan banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, Banten, Gresik, dan Makassar. Lambat laun kemudian agama Islam masuk di Lombok. Penyebaran agama Islam di Lombok berasal dari Jawa, oleh Sunan Prapen putra Sunan Giri di Gresik, Jawa Timur. Penyebaran agama Islam di Lombok oleh Sunan Prapen tersebut merupakan bagian dari penyebaran agama Islam dari Giri, Gresik, ke daearah Bali, Lombok, dan Sumbawa. Pengislaman daerah-daerah tersebut merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Giri dari Gresik, yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarluaskan agama Islam ke beberapa berbagai wilayah di Nusantara.

Penyebaran agama Islam oleh Sunan Prapen ke Lombok diduga bersamaan waktunya dengan pengiriman Dato Bandan (Dato ri Bandang) ke Makassar dan Selayar untuk menyebarkan agama Islam. Sehubungan dengan itu H.J. de Graaf berpendapat bahwa peristiwa itu terjadi pada masa pemerintahan Sunan Dalem sekitar tahun 1506—1545 atau abad ke-16, atau bersamaan dengan pemerintahan Batu Renggong dari Kerajan Gel-Gel di Bali (H.J. de Graaf. 1941: 353—373); Haris. 1981: 1).

Penyebaran agama Islam di Lombok merupakan bagian dari penyebaran agama Islam dari Giri, Gresik, ke daerah Bali, Lombok, dan Sumbawa. Di dalam Babad Lombok diberitakan bahwa, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Giri dari Gresik, yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarluaskan agama Islam ke berbagai wilayah di Nusantara (www.lomboktimurkab.go.id). Penyebaran agama Islam di Lombok oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirakan, hingga beberapa tahun kemudian seluruh pulau Lombok menganut agama Islam, kendati demikian masih ada beberapa tempat yang masih mempertahankana adat istiadat lama.

Adapun nama Selaparang muncul pada abad ke-16, hal tersebut mengacu kepada proses penyebaran agama Islam di Lombok, selain itu juga dengan mempertimbangkan pembagian daerah Lombok menjadi beberapa daerah kecil (kedatuan?) yang diperintah oleh seorang datuk, daerah-daerah kecil (kedatuan) tersebut antara lain Sokong, Bayan, dan Selaparang (Ambary. 1989: 23). Nama Selaparang ini merupakan suatu daerah baru yang dibangun untuk menggantikan Kerajaan Lombok. Pemindahan pusat Kerajaan Lombok ke Selaparang dilakukan oleh Prabu Rangkesari. Diduga alasan pemindahan tersebut dengan pertimbangan lokasi daerah Selaparang yang berada di pegunungan dianggap lebih aman, tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi Kerajaan Lombok sebelumnya yang berada di pantai. Dari pegunungan Selaparang ini, Selat Alas yang berada di sebelah timur dapat dilihat dengan jelas. Posisi Selaparang yang berada di perbukitan, kemungkinkan untuk dapat mengawasi semua gerakan musuh.

Selaparang mengalami masa pasang surut. Abad ke-17 (sekitar tahun 1600-an) terjadi gelombang kedatangan orang-orang Makassar di kepulauan Nusa Tenggara, mereka adalah orang-orang Makassar yang meninggalkan Makassar karena tekanan VOC yang telah menduduki Makassar (Gowa-Tallo). Selaparang menjadi taklukan Sumbawa. Kepulauan Nusa Tenggara yang berada di sebelah selatan Sulawesi berada dalam kekuasaan orang-orang Makassar, termasuk pula Selaparang dan Sumbawa (De Graaf. 1941: 360). Setelah kerajaan Majapahit runtuh, Selaparang menjadi wilayah yang merdeka. Keadaan ini menyebabkan Lombok banyak dikunjungi oleh pedagang muslim yang diantaranya berasal dari Jawa (Gresik), dan Sulawesi Selatan (Gowa), pada abad ke- 16—17. Selain berdagang mereka juga menyebarkan agama Islam. Bersamaan dengan periode penyebaran agama Islam di Lombok tersebut, di Bali juga telah muncul kerajaan Gel-Gel, kerajaan itu mengimbangi kekuatan kerajaan Selaparang (de Graaf, 1941: 353—373, Haris, 1981: 1—23). Kompleks makam kuna Selaparang tersebut diduga kuat sebagai jejak-jejak material penyebaran agama Islam di Lombok yang berasal dari abad ke-17.


Pembahasan

Kompleks makam Selaparang berada di tengah-tengah permukiman penduduk, dengan batas-batas, sebelah selatan ialah jalan desa dengan orientasi arah tenggara – barat daya. Jalan tersebut menghubungkan antara Suela di sebelah utara dengan Pringgabaya di sebelah selatan. Sebelah barat dibatasi oleh halaman parkir kendaraan para peziarah. Sebelah utara berbatasan dengan kebun, dan sebelah timur berbatasan dengan pondasi bekas mesjid dan pemukiman penduduk. Kompleks makam tersebut dikeramatkan masyarakat sekitar dan ramai diziarahi pada hari-hari tertentu antara lain pada hari raya Idul Adha.

Denah kompleks makam berbentuk empat persegi panjang yang panjang ke empat sisinya tidak sama, dan diberi pagar keliling dibuat dari susunan batu kali pada bagian bawah dan pagar kawat pada bagian atasnya. Dinding tembok pagar sebelah belakang atau dinding bagian utara tidak sejajar dengan dinding sebelah depan atau sebelah selatan, karena dinding sebelah utara ini menjorok ke arah timur. Sehingga oleh karena itu denah kompleks makam Selaparang menyerupai huruf L.

Tepat di sebelah timur kompleks makam, dahulu terdapat mesjid akan tetapi mesjid tersebut telah runtuh hanya tersisa struktur bekas pondasi dan lantai. Sisa-sisa struktur bekas pondasi mesjid terlihat dibuat dari bahan bata. Pondasi bekas mihrab mesjid berbatasan langsung dengan pagar keliling kompleks makam sebelah timur, dan menjorok ke dalam kompleks makam ke arah barat. Posisi lantai bekas mesjid tersebut juga terlihat jelas masif atau lebih tinggi dibandingkan dengan ketinggian tanah kompleks makam. Dengan demikian posisi kompleks makam tepat berada di sebelah barat atau belakang mesjid, dan sebaliknya mejid berada di sebelah timur kompleks makam.

Pintu masuk utama menuju kompleks makam berada di bagian depan menghadap ke arah selatan. Selain itu terdapat pula pintu masuk yang berada disebelah barat yang menghubungkan antara halaman parkir dengan komplek makam, serta pintu di sebelah timur yang menghubungkan kompleks makam dengan bekas mesjid.

Kompleks makam terdiri dari beberapa halaman atau terdiri dari teras-teras. Halaman tersebut berurutan dari bagian depan ke belakang atau dari selatan ke utara yakni halaman halaman I, halaman II, dan halaman III. Halaman I atau halaman luar berada paling depan. Halaman tersebut kosong hanya terdapat bangunan rumah penjaga makam yang terletak di sebelah timur. Halaman II berada di bagian tengah, digunakan untuk tempat tunggu atau istirahat bagi para peziarah, dimana terdapat dua buah bruga [1], yang berada di sebelah barat. Selain terdapat bruga pada halaman ke II juga terdapat pohon beringin yang tumbuh di sebelah timur halaman II. Pohon beringin tersebut umurnya cukup tua, sehingga ukurannya besar dan rindang. Halaman III berada paling belakang atau paling dalam, merupakan halaman inti atau halaman utama, digunakan untuk menempatkan makam-makam kuna tersebut.

Antara halaman I dengan halaman II dihubungkan dengan pintu masuk berupa ambang pintu tanpa daun pintu. Halaman II dengan halaman III dihubungkan dengan pintu masuk berupa ambang pintu dan daun ganda dibuat dari kayu serta diberi penutup dibuat dari bahan ijuk. Masing-masing halaman tersebut memiliki ketinggian yang agak berbeda. Kendatipun perbedaan ketinggian tanah antara masing-masing halaman tidak terlalu mencolok, namun dapat diamati bahwa posisi halaman III lebih tinggi daripada halaman II dan halaman I, yang ditandai dengan adanya tangga di bawah pintu masuk.

Kompleks makam yang terdiri dari tiga halaman seperti pada makam Selaparang tersebut, juga terdapat pada pura di Bali. Pada pura di Bali halaman I atau paling luar dinamakan dengan halaman jaba, halaman kedua dinamakan dengan tengah, dan halaman III dinamakan jero. Halaman jero merupakan halaman paling suci atau sakral.

Tata ruang kompleks makam yang terdiri dari halaman atau teras berlapis-lapis juga dijumpai pada kompleks makam para Wali di Jawa. Tata ruang seperti tersebut jelas terlihat pada makam Sunan Giri di Gresik dan makam Sunan Kudus di Kudus. Bahkan tingkat kesakralan/kesucian halaman kompleks makam Sunan Giri dan Kudus dipertegas dengan terdapatnya pintu gerbang berbentuk candi bentar dan paduraksa.


Tipologi Batu-Batu Nisan

Makam kuna yang berada di halaman III berjumlah 30 buah makam, seluruhnya tidak diberi cungkup. Makam-makam tersebut terkonsentrasi pada dua tempat yakni mengelompok di sebelah selatan dan utara. Makam terdiri dari jirat dan nisan. Jirat berdenah empat persegi panjang dibuat dari bahan batu kali. Ada pula satu buah makam yang jiratnya berdenah lingkaran atau bulat. Nisan dibuat dari bahan batu basalt dan batu padas (limestone). Batu-batu nisan dari makam yang berjumlah 30 buah tersebut bervariasi, apabila diklasifikasi atau dikelompokkan berdasarkan bentuk dasarnya terdapat lima tipe batu nisan.

Tipe 1: Nisan berbentuk sangat sederhana, menyerupai batu-batu prasejarah (menhir), tidak dikerjakan secara detail tidak memiliki bagian puncak, tubuh, dan dasar, polos tanpa ada ragam hias, dibuat darai bahan basalt (berbentuk lempengan batu). Makam dengaan batu nisan menhir tersebut berjumlah 16 buah makam.

Tipe 2: Nisan memiliki bagian puncak, tubuh, dan kaki. Bagian puncak bentuknya menyerupai kelopak bunga berjumlah 8 bersusun 2, bagian tubuh nisan berbentuk silindris terdiri dari 8 sisi atau segi 8, bagian dasar batu nisan berbentuk persegi dengan ragam hias motif sulur-suluran, dibuat dari bahan batu padas. Makam dengan batu nisan tipe ke-2 tersebut berjumlah 7, dibuat dari bahan dari batu padas. Bagian puncak nisan menyerupai lapik arca. Nisan tipe ke-2 memiliki variasi atau subtipe yakni bentuk dasar mirip yakni kelopak bunga dan silindris segi 8 tetapi ukurannya lebih besar. Sehingga terlihat tambun tidak langsing. Salah satu makam subtipe ini ada yang memiliki inskripsi atau prasasti namun kondisinya aus dan susah dibaca. Inskripsi beraksara Arab, terdiri dari lima baris. Menurut W.F. Stutterheim, inskripsi-inskripsi tersebut merupakan sebuah candrasangkala yang bermakna angka tahun 1142 H atau 1729 M.

Menurut tradisi makam yang berinskripsi itu adalah makam Ki Gading atau Penghulu Gading. Penghitungan angka tahun pada makam berinskripsi tersebut tentu saja tidak dapat dipakai sebagai penentuan umur kompleks makam secara keseluruhan. Dengan kata lain makam-makam lainnya tidak berasal dari masa yang bersamaan (W.F. Stutterheim 1937:309-310; Haris t.t:6).

Tipe 3: Nisan berbentuk empat persegi panjang pipih atau agak tipis. Antara bagian puncak-tubuh-dasar batu nisan tidak begitu jelas. Memiliki ragam hias motif tumpal dan sulur-suluran. Makam dengan batu nisan tipe ke-3 tersebut berjumlah 4 buah makam.

Tipe 4: Nisan terdiri dari bagian puncak, kaki dan kepala. Bagian puncak terdiri dari 4 bidang yang mengerucut pada bagian puncaknya, bagian tubuh berbentuk persegi dengan bagian atas lebih lebar dari pada bagian bawah menyerupai bentuk trapesium, bagian dasar nisan berbentuk persegi. Nisan memiliki ragam hias motif ulur-suluran pada bagian puncak dan tubuh, serta motif tumpal pada bagian dasarnya. Nisan tipe ke-4 ini dibuat dari bahan batu padas. Makam dengan tipe ke-4 ini berjumlah 2 buah makam.

Tipe 5: Nisan berbentuk empat persegi panjang, pipih atau agak tipis, terdiri dari bagian puncak, tubuh, dan dasar nisan. Bagian puncak nisan berbentuk agak lonjong, antara bagian puncak dengan bagian tubuh nisan melebar kesamping menyerupai sayap atau tanduk, dan bagian dasar nisan berbentuk empat persegi panjang. Nisan tipe ke-5 ini memiliki kemiriripan dengan batu nisan Sultan Malik as Saleh di Samudera Pasai, Aceh Darussalam. Bahkan nisan tipe ke-5 tersebut dinamakan dengan batu nisan tipe Aceh. Makam dengan tipe ke-5 dibuat dari bahan batu padas, berjumlah 1 buah makam.


Daftar Pustaka

Ambary, Hasan Muarif. 1998. Laporan Penelitian Arkeologi No. 9, “Penelitian Kepurbakalaan di Nusa Tenggara Barat”. Denpasar: Balai Arkeologi Denpasar.

——-. 1991. ”Makam-Makam Kesultanan dan Para wali Penyebar Agama Islam di Pulau Jawa” dalam Aspek-Aspek Arkeologi Indonesia No.12. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

——-. 1998. Menemukan Peradaban Arkeologi dan Islam di Indonesia. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

De Graaf, H.J. 1941. ”Lombok in de 17 e Eeuw” dalam Djawa 21 No.1. Yogyakarta.

Haris, Tawalinuddin. 1981. Makam Selaparang Lombok. Mataram: Kanwil Dep.Bud Prov. Nusa Tenggara Barat.

Pigeaud, Theodore G. Th. 1960. Java in The 14 Century a Study Cultural History. The Nagara-kertagama. Volume III. The Hague Martinus Nijhoff.

Sodrie, Ahmad Cholid dkk. 1985. ”Laporan Hasil Survei di Daerah Nusa Tenggara Barat”, Berita Penelitian Arkeologi No. 12. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Soejono, RP. et al. “Jaman Prasejarah di Indonesia”, Sejarah Nasional Indonesia I. edisi ke-4. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Stutterheim, W.F. 1937. “Een Inscriptie van Lombok”, Djawa XVII.

Sutaba, I Made. 1999. Keberagaman Dalam Perkembangan Tradisi Megalitik di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Ahli Peneliti Utama (APU). 1 Juni 1999. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Tim Penelitian. 2007. Laporan Penelitian Arkeologi. “Selaparang: Pusat Peradaban Masa Pra-Islam Hingga Islam”. Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

http://www.lomboktimurkab.go.id

*Pernah dimuat dalam Kalpataru Majalah Arkeologi, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, Vo. 19 No. 1, 2009, halaman 71-80.


Tanggapan

  1. Kerajaan Pujut Bukan Kerajaan Kecil Tetapi Kerajaan Besar !


Tinggalkan komentar

Kategori