Oleh: hurahura | 28 Januari 2018

Pramuka Kediri Belajar Prasasti Poh Sarang

Pohsarang-aang-01Prasasti Poh Sarang (Foto: Reno Septian)

Kegiatan pramuka antara lain mengajari peserta didik untuk berlatih dalam beradaptasi dengan lingkungan alam. Hal ini sesuai dengan isi dari Dasa Darma kedua, yaitu “cinta alam dan kasih sayang sesama manusia”. Berdasarkan pengamalan isi Dasa Darma itulah anggota pramuka di Kediri yang tergabung dalam Ikatan Pramuka Lintas Generasi mengadakan Kemah Sastra pada 6-7 Januari 2018 di Lapangan Desa Poh Sarang Kabupaten Kediri.

Kegiatan ini diikuti oleh 30 anak dan 1 pembina, dengan tujuan meningkatkan rasa cinta dan peduli terhadap apa yang diberikan sang pencipta dan untuk mengamalkani isi dari Dasa Darma. Kegiatan dibuka dengan upacara pembukaan, dilanjutkan dengan pendirian tenda, api unggun, serta pengenalan dan bakti situs di lokasi Prasasti Poh Sarang. Kegiatan selama berada di lokasi Prasasti Poh Sarang, di antaranya Pengenalan tentang Prasasti Poh Sarang oleh Bapak Moh. Nur Ali selaku juru pelihara dan Kak Reno Septian selaku ketua penyelenggara kegiatan. Selanjutnya bakti situs dengan membersihkan area sekitar prasasti serta pewarnaan papan nama situs yang kondisinya sudah usang.


Menjaga warisan budaya

Pada saat memberikan materi tentang pengenalan situs Prasasti Poh Sarang, Bapak Moh. Nur Ali menjelaskan tentang pentingnya menjaga warisan budaya bangsa, salah satunya Prasasti Poh Sarang ini. Beliau mengajak peserta untuk menghitung jumlah aksara yang terdapat pada Prasasti Poh Sarang , apakah setiap anak berhasil menghitung jumlah aksara yang sama pada dua kali kesempatan yang diberikan. Kegiatan ini dapat melatih kecermatan para peserta kegiatan.

Usai  memberikan penjelasan, pemberian materi dilanjutkan oleh Kak Reno Septian  tentang isi dan makna yang terkandung dalam Prasasti Poh Sarang. Kak Reno pernah belajar tentang aksara dan bahasa Jawa Kuno dari Komunitas Jawa Kuno Sutasoma Kediri. Pengetahuan yang telah didapatnya dahulu, dalam kesempatan ini dibagikan kepada adik-adiknya di gerakan pramuka.

Dalam kesempatan itu Kak Reno menjelaskan bahwa Prasasti Poh Sarang juga disebut dengan Prasasti Lucêm. Mengapa demikian ? Karena berdasarkan isinya menyebutkan cerita tentang seorang tokoh dari masa Hindu-Buddha yang berprofesi sebagai pemutus perkara (Samgat kepanjangan dari Sang Pamgat) Lucem bernama Pu Ghêk.

Pohsarang-aang-02Kegiatan Pemanduan tentang Isi Prasasti Poh Sarang oleh Kak Reno Septian (Foto: Hadi)


Tipe Kuadrat

Berdasarkan bentuk aksaranya, Prasasti Poh Sarang termasuk jenis aksara Jawa Kuno tipe Kuadrat dan berbahasa Jawa Kuno. Prasasti ini pernah dibaca oleh para ahli epigrafi (pembaca tulisan kuno) berkebangsaan Belanda dan seorang ahli epigrafi ternama di Indonesia bernama M.M. Soekarto Kartoatmojo.

Hasil pembacaan Prasasti Poh Sarang:

934 Têwêk ning hnū binênêrakên da-
mêl Samgat Lucêm Pu Ghêk
sanga paņ ditêpêti[1] mananêm
Boddhi waringi(n)


Artinya:

Tahun 934 Saka atau 1012 Masehi saat itulah di sebuah jalan telah
Dibenahi oleh Pejabat Pemutus Perkara (Samgat) Lucêm bernama Pu Ghêk
Dengan sembilan titik yang ditandai dengan penanaman
Pohon Boddhi dan Beringin

Setelah membeberkan isi Prasasti Poh Sarang, Kak Reno bertanya kepada adik-adik pramuka, apa yang kalian pahami dari isi prasasti ini? Lalu seorang anggota bernama Hafi menyimpulkan bahwa kita sebagai manusia harus ikut serta dalam pelestarian lingkungan. Kak Reno lalu menambahkan memang benar apa yang dikatakan oleh Hafi, bahwasanya apa yang dilakukan oleh Pu Ghêk seperti yang tertulis dalam prasasti di atas merupakan bukti adanya cinta alam dalam kehidupan masyarakat pada zaman dahulu. Hal ini seperti yang dilakukan oleh anggota pramuka yang biasanya disebut sebagai kegiatan penghijauan. Jadi Pu Ghêk merupakan seorang tokoh yang memelopori tentang kegiatan pembenahan jalan serta penanaman pohon Boddhi dan Beringin. Kedua pohon itu merupakan pohon suci. Dalam agama Buddha pohon Boddhi merupakan peneduh sang Buddha Gautama saat bertapa hingga mendapatkan wahyu. Sementara itu pohon Beringin merupakan pohon suci dalam agama Hindu yang banyak dijumpai dalam relief-relief pada bangunan candi Hindu atau disebut juga sebagai pohon hayat.


Cinta alam

Pelajaran yang dapat kita ambil dari mempelajari Prasasti Poh Sarang memang sesuai dengan nilai yang terkandung dalam isi Dasa Darma kedua, yaitu cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Hal ini wajib diterapkan dalam kehidupan dan tidak hanya dihafalkan, sehingga kita menjadi generasi yang mampu ikut serta dalam kehidupan bermasyarakat dan mampu menjaga keseimbangan lingkungan alam. Kak Reno berharap kegiatan seperti ini tidak hanya dilakukan di Kediri, melainkan juga di daerah- daerah lain yang memiliki potensi peninggalan purbakala berupa prasasti. Karena tulisan yang ada dalam prasasti dapat dianggap sebagai sandi yang ditulis oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan berisi tentang pesan-pesan moral yang wajib diteladani oleh para generasi muda dewasa ini.

Semoga lebih banyak lagi minat para anggota pramuka untuk mempelajari aksara kuno di Nusantara yang terdiri atas Aksara Pallawa, Aksara Jawa Kuno, hingga Aksara Jawa Modern atau yang lebih dikenal dengan Ha Na Ca Ra Ka. Semoga artikel ini bermanfaat dan menjadi podoman untuk meningkatkan pelestarian warisan budaya serta pelestarian lingkungan alam.***

Catatan:[1] Para peneliti sebelumnya membacanya “sang apanji”, namun Galeswangi dalam diskusi Ikatan Mahasiswa Pecinta Arkeologi tahun 2011 di Malang memberikan pembacaan “sanga paņ ditêpêti”. Pembacaan tersebut sesuai dengan konteks kalimat sesudah dan sebelumnya.

***********

Penulis: Aang Pambudi Nugroho & Reno Septian


Tinggalkan komentar

Kategori