Oleh: hurahura | 13 September 2012

Wayang Kulit dengan Bahasa Betawi

Warta Kota, Selasa, 11 September 2012 – Wayang adalah salah satu khazanah budaya tanah air yang banyak ditemui di berbagai daerah, terutama di Jawa. Kesenian ini tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakatnya. Meskipun dunia sudah modern, ternyata wayang tetap mendapat tempat. Porsinya memang sangat kecil, namun upaya untuk memperkenalkan wayang patut diapresiasi.

Jakarta sebagai pusat pemerintahan, juga memiliki seni tradisional wayang. Yang cukup populer adalah wayang kulit Betawi. Kesenian ini lahir ketika Sultan Agung dari Mataram menginjakkan kaki di Sunda Kelapa sekitar tahun 1628. Ketika itu selain membawa pasukan, turut pula rombongan kesenian wayang kulit.

Rupanya tampilan wayang dari Mataram itu begitu memukau penduduk setempat, khususnya yang berdiam di kawasan Tambun, Bekasi. Kemudian muncullah satu bentuk baru dari wayang kulit Jawa, yaitu wayang berbahasa Melayu Betawi. Wayang kulit Betawi sering disebut Wayang Tambun. Seperti halnya seni wayang lain, wayang kulit Betawi juga memiliki tokoh sentral seorang dalang. Kelir dalam wayang kulit Betawi disebut kere. Alat musik pengiringnya terdiri atas kendang, terompet, rebab, saron, keromong, kecrek, kempul, dan gong. Kadang-kadang dilengkapi dengan terompet Cina. Alat musik pengiring wayang kulit mulai dikenal tahun 1925. Masuknya unsur Sunda terasa kental. Meski dialog dengan bahasa Betawi, namun lantunan lagunya berasal dari tanah Pajajaran.

Sepintas tak ada perbedaan yang berarti dengan wayang kulit lainnya. Hanya barangkali bentuk gapit atau pegangan wayang. Pada wayang kulit Betawi tak dijumpai bahan tanduk, melainkan rotan. Wayang kulit Betawi juga didominasi warna merah cerah.

Lakon yang sering dimainkan adalah carangan, cerita yang disusun sendiri oleh dalang dengan tokoh-tokoh dari cerita Mahabharata dan Ramayana. Cerita khas Betawi yang ditampilkan adalah Bambang Sinar Matahari, Cepot Jadi Raja, dan Barong Buta Sapujagat. Umumnya cerita yang dimainkan sangat kontekstual dengan keadaan masyarakat sekitar dan diramu penuh banyolan. Wayang kulit Betawi menggunakan dialog bahasa Indonesia pergaulan.

Selama ini wayang kulit Betawi hanya dimainkan di daerah pinggiran. Karenanya wayang ini tampil dengan penuh kesederhanaan. Hanya kekuatannya dalam penggunaan bahasa, sehingga mampu dinikmati masyarakat dari berbagai etnis. Mudah-mudahan dengan kemasan yang menarik, wayang kulit Betawi bisa menjadi sebuah tontonan yang memikat. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Tinggalkan komentar

Kategori