Oleh: hurahura | 30 Juli 2011

Sriwijaya dan Konsep Politik Mandala

Penguatan Politik Kerajaan Sriwijaya terhadap Kerajaan-Kerajaan Besar di Wilayah Semenanjung Malaka dan Sumatera Abad-Abad Awal Masehi

Oleh: Citra Musthafa Arkhi
Mahasiswa Jurusan Arkeologi UI Angkatan 2008

Penyusunan sejarah kebudayaan pada masa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, tentunya tidak terlepas dari bukti-bukti adanya interaksi antarwilayah kekuasaan tiap kerajaan, yang terkadang cukup luas sehingga selalu menimbulkan persinggungan antara kerajaan-kerajaan tersebut. Menurut Soewadji Sjafei (1990: 426) adanya perhubungan interoceanis dan intercontinental di Asia Tenggara dan Asia, menimbulkan kesejajaran pertumbuhan sejarah negara-negara semenjak permulaan tahun masehi. Dikatakan pula adanya kesejajaran ini menimbulkan perebutan hegemoni di antara negara-negara tersebut.

Perebutan hegemoni tersebut dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti adanya suasana tren politik yang dianut oleh sebagian besar kerajaan-kerajaan kuno di wilayah Asia Tenggara, contohnya kerajaan Funan di Vietnam hingga Kerajaan Majapahit di Nusantara. Tren politik tersebut oleh para sejarawan dinamakan sistem tributari, artinya pihak yang lemah dapat terus bertahan setelah kalah asalkan memberikan suatu imbalan ataupun menjadi bagian dari pihak yang lebih kuat. Renée Hagesteijn (1989) menyebut tren politik tersebut sebagai suatu lingkaran raja-raja, yakni terdapat satu kekuasaan tertinggi yang membawahi penguasa-penguasa lain.

Berdasarkan pendapat para peneliti sebelumnya mengenai indianisasi Asia Tenggara, Hagesteijn (1989: 46) menegaskan asumsi bahwa bentuk negara-negara di Asia Tenggara dibentuk berdasarkan pengaruh kebudayaan India yang dibawa para pedagang, para pendeta Buddha, dan para Brahmana dalam bentuk ideologi seperti agama Hindu-Buddha, aspek-aspek organisasi politik, dan inovasi-inovasi teknologi seperti cocok-tanam padi. Menurut Hagesteijn (1989: 46), sistem politik kerajaan-kerajaan kuno di wilayah Asia Tenggara saat itu kemungkinan besar diadopsi oleh para pemimpin-pemimpin politik di wilayah Asia Tenggara kuno berdasarkan konsep mandala dari India yang bertujuan untuk menciptakan suatu “dunia-dunia” tersendiri bagi para raja dan penguasa.

Konsep mandala sendiri secara harfiah berarti lingkaran di dalam bujur sangkar. Menurut Jakob Soemardjo (2002: 43) lingkaran adalah lambang waktu dan bujur sangkar adalah lambang ruang. Jadi adanya keharusan memiliki “dunia-dunia” kekuasaan khusus bagi seorang penguasa memungkinkan suatu wilayah hanya memiliki seorang penguasa tertinggi yang akan melakukan perluasan wilayah kekuasaan demi mendapatkan suatu wibawa bagi diri, bangsa dan rakyatnya. Melalui konsep politik yang demikian, maka akan terjadi suatu penaklukan suatu daerah kekuasaan atas daerah kekuasaan lainnya. Penaklukan yang dimaksudkan di sini dapat berarti tunduk kepada sang penguasa tertinggi dengan cara memberikan upeti sebagai suatu tanda pengakuan atau persembahan atau tersingkir selamanya dari wilayah yang ditaklukkan tersebut. Dengan kata lain negara-negara yang ditaklukkan oleh suatu negara yang lebih kuat dapat dilenyapkan atau mengakui kekuasaan penakluknya.

Sebagai balasan atas pengakuan tersebut tentunya negara tersebut akan mendapatkan perlindungan secara ekonomi, militer, dan politik. Walaupun “negara-negara bawahan” tersebut telah dinaungi oleh negara yang lebih kuat, namun secara administratif tetap merupakan suatu negara independen yang dapat mengatur sendiri kebijakan di wilayahnya.

Keberadaan politik semacam ini bahkan tampak jelas terus bertahan hingga masa kerajaan Majapahit terhadap kerajaan Cina. Belum dapat dipastikan secara pasti apakah betul hal ini merupakan suatu tren yang dianut oleh mayoritas banyak kerajaan di wilayah semenanjung Malaka, seperti kerajaan Ayudhya dan Melayu Kuno. Akan tetapi banyak data tertulis seperti prasasti maupun berita perjalanan Cina dan pedagang Arab yang menyebutkan secara tersirat pola politik penaklukan semacam ini digunakan oleh beberapa kerajaan di Nusantara.

Slamet Muljana (2006: 245) menyebutkan bahwa kerajaan Shi-li-fo-shih, di dalam sejarah T`ang dan karya-karya I`tsing merupakan suatu kerajaan yang sering mengirim utusan ke Tiongkok dalam kurun waktu 670 – 673 M dan 713 – 741 M. Semenjak itu utusan dari Shi-li-fo-shih tidak lagi kedengaran. Berita mengenai kerajaan serupa, yang bernama San-fo-tsi, baru timbul kembali pada masa pemerintahan dinasti Sung (960 – 1279 M). Berdasarkan deskripsi di dalam sumber sejarah Cina saat itu, kerajaan ini sempat mengirim utusan untuk mendapatkan perlindungan Tiongkok selagi berperang dengan negara She-Po yang pada 991 M dipimpin oleh raja Dharmawangsa.

Menurut data prasasti Kotakapur, yang menyebutkan penyerangan kerajaan Sriwijaya ke bhūmi jawa, dan prasasti-prasasti Sriwijaya lainnya, jelas sekali bahwa Sriwijaya menganut politik perluasan wilayah ke sekitarnya yang dilakukan dengan penaklukan secara militer. Apalagi bila dihubungkan dengan sejarah San-fo-tsi yang memperebutkan keberpihakan bersama kerajaan She-po dengan cara mengirim utusan dan persembahan kepada Cina semenjak tahun 960 M.

Mendapatkan dukungan dari Cina akan menjadi suatu keuntungan tersendiri bagi negara yang bersekutu dengannya. Hal ini dikarenakan Cina memang merupakan negara yang kuat secara politik, ekonomi, dan militer pada saat itu sehingga banyak negara yang mengincar posisi sebagai kerabat politik Cina. Bahkan beberapa negara di India banyak pula yang mengincar posisi tersebut. Gokul Seshadri dan Tansen Sen menyebutkan bahwa memang banyak negara di India yang ingin memiliki keterikatan dengan Cina disebabkan hal tersebut.

Similar to the Srivijayans, the rulers and the traders of Chola kingdom had keen interest in developing commercial reations with China (Sen, 2009).

The sources also indicate that in AD 692, as many as five Kingdoms of India were engaged with China. Thus, we see that by the end of seventh century and the beginning of the eighth century China had become a major force in the Southeast Asian sea trade and many empires from india wanted to mantain friendly relationship with it (Seshadri, 2009).

Dengan melihat adanya banyak negara mengagungkan kekuatan Cina, besar kemungkinan kerajaan Sriwijaya menganggap bahwa akan lebih menguntungkan bila mendapatkan kekuatan Cina tersebut di pihaknya untuk melawan musuh-musuhnya dibandingkan harus menghadapinya sebagai lawan politiknya.

Meskipun hingga saat ini letak pusat kerajaannya belum dapat dipastikan, namun dapat dilihat berdasarkan tinggalan-tinggalan arkeologinya bahwa kerajaan Sriwijaya mulai berkembang pada awalnya dan seterusnya di wilayah Semenanjung Malaka. Penelitian-penelitian prasasti oleh George Coedes berjudul Le Royaume de Crivijaya pada 1918 M hingga penelitian-penelitian arkeologi dan paleogeomorfologi saat ini mengenai sejarah Asia Tenggara memberikan gambaran bahwa keberadaan Pulau Sumatera, perairan Malaka, beserta Semenanjung Malaka saat itu sangatlah penting bagi kerajaan Sriwijaya. Hal ini disebabkan oleh kestrategisan wilayah perairan Malaka sebagai jalur perlintasan perdagangan laut internasional, serta wilayah Sumatera yang kaya akan emas. Menyadari adanya keuntungan tersebut maka kerajaan Sriwijaya mencoba menundukkan kerajaan-kerajaan di sekitarnya dari kerajaan-kerajaan di wilayah seperti Jambi, Melayu, Kedah, dan kerajaan-kerajaan lain yang berada di sekitarnya.

Berdasarkan isi prasasti-prasasti kerajaan Sriwijaya yang bahkan mengutuk kepada keluarga raja sendiri, maka dapat diketahui bahwa sikap raja sangat keras kepada mereka yang tidak setia. Kebijakan ini tentunya didasarkan oleh suatu sikap tertentu yang mengacu kepada bentuk negara itu sendiri. Kerajaan Sriwijaya adalah suatu kerajaan perdagangan.

Suatu negara yang hidup dari perdagangan, berarti penguasanya harus menguasai jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan-pelabuhan tempat barang itu ditimbun untuk diperdagangkan. Penguasaan jalur-jalur perdagangan dan pelabuhan ini dengan sendirinya membutuhkan pengawasan langsung dari penguasa. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika raja Sriwijaya tidak dapat membenarkan sikap tidak setia, meskipun hanya sedikit, termasuk dari anaknya sendiri (Poesponegoro & Notosusanto, 2009, hal. 95).

Dengan demikian diperlukan suatu kendali yang ketat oleh raja kepada daerah-daerah kekuasaannya dan disertai militer yang kuat. Penguatan militer ini juga dibutuhkan, sebab luasnya daerah kekuasaan yang dihubungkan wilayah perairan menyebabkan jalur antardaerah kekuasaan tersebut selalu menjadi rawan akan serangan baik oleh musuh maupun oleh perompak. Jadi dengan adanya militer maritim yang kuat, perjalanan perdagangan dan alur perekonomian kerajaan akan aman dan lancar.

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa kesejajaran pertumbuhan sejarah antara kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara kuno yang timbul akibat hubungan perdagangan tentunya tidak hanya menghasilkan perebutan hegemoni politik saja, namun juga tukar-menukar kebudayaan pada sosial kulturalnya. Hal ini perlu dipahami karena sejarah politik-yuridis dan sosio-kultural maupun ekonomis selalu berjalan sejajar (Sjafei, 1990: 438). Kebijakan politik-yuridis kerajaan Sriwijaya mungkin hingga saat ini belum jelas karena memang kurangnya data prasasti. Walaupun begitu bukti-bukti berupa sisa-sisa kebudayaan material masih bisa menunjukkan adanya kesamaan corak budaya antara daerah yang satu dengan daerah yang lain yang kemungkinan besar memang merupakan hasil dari suatu interaksi kebudayaan antara kedua wilayah tersebut.

Sebagai contoh persamaan corak budaya tersebut, misalnya berupa kesamaan gaya kesenian bangunan-bangunan candi di kaki Bukit Batu Pahat, Kedah dan biaro-biaro di Padang Lawas (Soekmono, 1982: 135). Berdasarkan penarikhan tahun berdirinya yang kira-kira sezaman, yaitu kira-kira abad ke-11 hingga abad ke-12, serta kesamaan gaya seni bangunan pada denah keseluruhan bangunan yang beraliran Buddha Tantrayana, Soekmono mencoba mengajukan pertanyaan apakah biaro-biaro di Padang Lawas memang merupakan hasil seni bangunan Sriwijaya atau memang hanya karena persamaan pengaruh aliran agama Tantrayana pada kedua wilayah.

Selain adanya persamaan-persamaan corak-corak budaya antara wilayah-wilayah yang diduga mengalami interaksi kebudayaan tersebut, eksistensi kerajaan Sriwijaya di wilayah Asia Tenggara juga ditunjukkan dengan pengabdian kerajaan tersebut terhadap agama Buddha. Hal ini dapat ditunjukkan dengan adanya pendirian bangunan suci bagi pelajar agama Buddha seperti yang terungkap di dalam prasasti Nalanda dan kemashuran Sriwijaya sebagai pusat pengajaran agama Buddha (Poesponegoro & Notosusanto, 2009: 98).

Sebagai kesimpulan tulisan ini, Sriwijaya, berdasarkan data prasasti dan berita-berita Cina jelas merupakan suatu kerajaan besar yang melakukan perluasan wilayah kekuasaan dengan melakukan penguatan politik daerah-daerah kekuasaannya. Dasar penguatan politik tersebut dapat disebabkan oleh pengaruh konsep kekuasaan mandala dari India yang mengharuskan penguasa tertinggi berdiri di atas kekuasaan lainnya demi menyokong dirinya ataupun karena wilayahnya yang berada di wilayah strategis perdagangan internasional sehingga kebijakan politik seperti itu diperlukan demi ketahanan negara atas serangan musuh dan perompak.

Keberhasilan kerajaan Sriwijaya berdiplomasi dengan negara-negara besar seperti Chola dan Cina pun tentunya merupakan suatu prestasi yang dapat mengukuhkan eksistensi kerajaan ini sebagai bagian dari sejarah Nusantara dan Asia Tenggara, bahkan Asia pada skala yang lebih besar. Meskipun demikian, eksistensi tersebut hingga saat ini sering kali hanya dapat dikuatkan berdasarkan pengkajian mendalam terhadap sumber-sumber sejarah dari prasasti dan berita Cina. Di lain pihak dari banyaknya tinggalan kebudayaan material yang tersisa dan kemungkinan besar berasosiasi dengan kerajaan tersebut hingga saat ini hanyalah menjadi tinggalan-tinggalan yang bersifat fragmentaris di dalam pengukuhannya di dalam sejarah kebudayaan Nusantara. Oleh karena itu penulis berharap ke depannya akan lebih banyak pula pengkajian yang seimbang antara data tertulis dan data artefak demi memungkinkan terciptanya suatu usaha untuk melengkapi sejarah kebudayaan kerajaan Sriwijaya itu sendiri pada khususnya dan sejarah kebudayaan Nusantara pada umumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Hagesteijn, R. (1989). Circles of Kings. Dordrecht: Foris Publications.

Muljana, S. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKis Pelangi Aksara.

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2009). Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

Sen, T. (2009). The Military Campaigns of Rajendra Chola and The Chola-Srivijaya-China Triangle. Dalam H. Kulke, K. Kesavapany, & V. Sakhuja, Nagapattinam to Suvarnadwipa: Reflection on the Chola Naval Expedition to Southeast Asia (hal. 61-75). Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies.

Seshadri, G. (2009). New Perspectives on Nagapattinam: the medieval port City in the Context of Political, Religious, and Commercial Exchanges between South India, Southeast Asia, and China. Dalam H. Kulke, K. Kesavapany, & V. Sakhuja, Nagapattinam to Suvarnadwipa: Reflection on the Chola Naval Expedition to Southeast Asia (hal. 102-134). Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies.

Sjafei, S. (1990). Kesejajaran dalam Sejarah Asia Tenggara Kuno dan Akibat-Akibatnya. Pertemuan Ilmiah Arkeologi I (hal. 424). Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Soekmono. (1982). Kesenian Sri Jaya di Seberang Selatan Malaka. Pertemuan Ilmiah Arkeologi II (hal. 131-140). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.


Tinggalkan komentar

Kategori