Oleh: hurahura | 4 Mei 2014

Situs Sangiran Terus Berdenyut

Kepala KerbauKOMPAS/SUSI IVVATY

Kepala kerbau dalam proses konservasi di laboratorium Museum Manusia Purba Sangiran di Sragen, Jawa Tengah, Selasa (29/4).

Potongan tengkorak dan rahang gajah purba tergeletak di laboratorium Museum Manusia Purba Sangiran di Sragen, Jawa Tengah, Selasa (29/4). Baru dua pekan lalu, warga menemukan dua bongkahan besar itu di daerah Dayu, Sragen. Fosil itu pun mengantre untuk diidentifikasi dan dikonservasi.

Tengkorak itu tak utuh, hanya berupa potongan tulang. Begitu pula dengan bagian rahang. Warnanya pun menyerupai tanah karena terpendam di dalam tanah. Pertanyaannya, bagaimana staf museum tahu kalau itu gajah purba? ”Ya, identifikasi sepintas saja, itu gajah. Kami sudah sering menemukan fosil seperti ini, sudah hafal,” sahut Yudha Herprima, tenaga staf perlindungan di Museum Sangiran.

Fosil-fosil temuan warga itu selanjutnya diidentifikasi, diregistrasi, dan dikonservasi. Konservasi meliputi pembersihan mekanis, kimiawi, dan penyambungan. Seperti yang dilakukan sejumlah tenaga staf di laboratorium siang itu. Mereka tengah melumuri tengkorak kerbau purba dengan larutan paraloid yang berbau menyengat agar fosil tidak lapuk.

”Lamanya konservasi bergantung kepada kondisi fosil, kerapuhannya, dan lain-lain. Paling lama sebulan lebih, tetapi ada yang sehari sudah selesai,” sambung Yudha.


Selalu ada temuan

Sejak GHR von Koenigswald menemukan artefak manusia purba pada 1932 dan berlanjut penemuan fosil rahang kanan manusia purba pertama oleh penduduk tahun 1936, Sangiran tak henti menunjukkan kekayaannya. Mengutip laman Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, fosil manusia purba pertama temuan warga itu diserahkan kepada Koenigswald dan diberi kode: S1, Sangiran 1. Selanjutnya, sisa manusia purba kerap ditemukan, mulai dari Homo erectus hingga Homo sapiens alias manusia modern. Sangiran memberi gambaran evolusi manusia.

Situs itu terus berdegup. Hingga kini, ragam temuan fosil baru tak henti muncul, walaupun temuan tengkorak manusia kini semakin langka, terakhir kali di Semedo, Slawi, Tegal, pada 2011. Khusus di Sangiran, terakhir ditemukan atap tengkorak manusia pada 1997.

Jika musim hujan, apalagi ketika tanah longsor, warga kerap menemukan fosil. Tiba-tiba muncul gigi hiu di ceruk-ceruk lapisan tanah. Jutaan tahun silam, Sangiran merupakan lautan. Jadi, masuk akal jika ditemukan gigi hiu dan kerang-kerangan.

Dalam sebulan, sedikitnya ada satu temuan fosil baru. ”Kadang-kadang dalam sebulan bisa belasan atau puluhan fosil. Pernah ada 50 fosil,” ujar Gunawan, tenaga staf bagian pemanfaatan Museum Sangiran.

Tahun 2011 juga ditemukan tulang paha macan raksasa yang hidup pada masa 1,8 juta-0,9 juta tahun lalu. Temuan yang mengejutkan itu menggeser pengetahuan selama ini mengenai macan Tigris, yang diyakini mulai hidup pada masa 0,7 juta hingga 0,3 juta tahun lalu.

Bagi Kepala Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran Sukronedi, situs seluas 56 kilometer persegi itu adalah laboratorium besar di dalam tanah. Karena luasnya, tidak mungkin peneliti museum bekerja sendirian untuk ekskavasi, mencari, dan menggali situs. Mereka bekerja sama dengan masyarakat. Penemuan dari masyarakat mendapatkan tempat istimewa di museum, disediakan satu ruangan khusus.

”Ini memang laboratorium besar dengan temuan-temuan baru. Pada Februari dan Maret kemarin juga ada temuan, seperti kepala buaya, tanduk kerbau, dan gigi buaya. Semuanya berumur ribuan tahun. Yang dipamerkan untuk umum di museum ini baru 5 persen saja dari total koleksi kami,” ujar Sukronedi.


Penjualan fosil

Saat ini, jumlah total koleksi fosil di Sangiran mencapai 34.000 dan terus bertambah setiap bulan. Koleksi itu meliputi fosil manusia, fauna seperti gajah, kerbau, buaya, gigi ikan hiu, hingga kerang-kerangan. Ada pula peralatan manusia purba seperti kapak dan keramik.

Sebelum kantor Museum Sangiran dibangun pada 2007, penjualan fosil ilegal marak. Waktu itu, proses pemberian ganti rugi terbilang lama sehingga warga tidak sabar. ”Penduduk banyak yang miskin, cari uang susah. Sedangkan di tanah mereka banyak fosil sehingga mereka jual secara ilegal. Sekarang, paling lama dua minggu setelah penemuan, kami berikan imbalan,” terang Sukronedi.

Imbalan bagi warga yang menemukan fosil bergantung kepada jenis fosil. Jika fosil unik dan langka, imbalan bisa sampai Rp 10 juta, misalnya fosil kepala gajah. Untuk penemuan kepala buaya, imbalannya Rp 5 juta.


Pengembangan

Pengembangan situs Sangiran tercatat dalam masterplan tahun 2004 yang dilanjutkan dengan detail desain pada 2007. Ada empat gugus yang dibangun di Sangiran, yakni gugus Sangiran (1,6 hektar), Dayu, Bukuran, dan Ngebung (masing-masing 1 hektar). Terdapat tambahan satu museum di Manyarejo seluas 2.500 meter persegi. Wilayah itu berada di dua kabupaten, yakni Sragen dan Karanganyar.

Gugus Bukuran yang khusus untuk tema evolusi manusia sedang dibangun dan diperkirakan selesai pada Juli sehingga bisa diresmikan pada September 2014. Di gugus Bukuran akan dipajang dua maneken manusia purba seharga masing-masing Rp 800 juta, hasil rekonstruksi pakar paleoart dari Perancis, Elisabeth Daynes.

Seiring pembangunan di situs itu, jumlah pengunjung pun bertambah setiap tahun. Pada 2013, jumlah pengunjung mencapai 300.000 orang, melonjak tajam dibandingkan dengan kunjungan pada 2008, yakni sekitar 50.000 orang.

Nah, Sangiran pun berdenyut….(Susi Ivvaty)

(Sumber: Kompas, Minggu, 4 Mei 2014)


Tinggalkan komentar

Kategori