Oleh: hurahura | 9 Oktober 2010

RUU Cagar Budaya: Pemerhati Budaya Nilai Banyak Kekurangan

KOMPAS Jogja, Sabtu, 2 Okt 2010 – Rancangan Undang-Undang tentang Cagar Budaya yang segera menjadi UU pada Oktober, Jumat (1/10), diuji publik di Yogyakarta. Sejumlah pemerhati budaya yang diundang menilai, RUU ini masih banyak kekurangannya. Isi RUU harus diperbaiki sehingga benar-benar menjadi UU yang melindungi seluruh aspek cagar budaya di Indonesia.

Koordinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya Jhohanes Marbun berpendapat, banyak hal belum tersentuh dalam RUU yang berisi 14 bab dan 87 pasal. Siapa yang bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada benda cagar budaya (BCB) tidak jelas.

“Mesti dicantumkan juga siapa yang bertanggung jawab dalam pengelolaan dan jika hilang. Apakah menteri atau siapa? Selain itu, untuk dana, siapa yang rutin memberi dan apakah pemerintah juga mengalokasikan dana untuk penelitian,” ujarnya.

Ia menambahkan, pentingnya pencantuman secara tegas larangan menjual BCB. Pemerintah juga mesti punya gambaran mendorong partisipasi publik menjaga.

Timbul Haryono, Guru Besar Arkeologi Universitas Gadjah Mada, juga melontarkan keheranannya atas RUU pasal 36. Di pasal itu disebutkan, penghapusan cagar budaya dari daftar nasional dapat dilakukan bila cagar budaya hilang dalam jangka waktu enam tahun.

“Kok bisa muncul enam tahun? Dari mana perhitungannya? Kok hanya enam tahun?” kata Timbul. Ia juga meminta pembahasan museum juga disematkan di RUU Cagar Budaya itu.

Hestu Cipto Handoyo, dosen Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, mengatakan, pasal 5 kurang jelas. Pasal itu menyatakan, pemilik BCB, bangunan, dan situs cagar budaya yang tak ada ahli warisnya, kepemilikan diambil negara. Karena itu, perlu landasan hukum dan prosesnya jelas.

Heri Akhmadi, Ketua Panitia Kerja UU Cagar Budaya yang juga Wakil Ketua Komisi X DPR, mengatakan, UU baru pengganti UU lama (UU Nomor 5 Tahun 1992 tentang BCB) ini akan disahkan medio Oktober. Uji publik di Yogyakarta adalah yang terakhir.

Dirjen Sejarah dan Purbakala Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Aurora Tambunan mengatakan, uji publik akan ditindaklanjuti demi penyempuraan.

UU baru ini, menurut Junus Satrio Atmojo, Direktur Purbakala Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala yang juga tergabung dalam Panitia Kerja UU, memang banyak menyematkan hal-hal yang tak dicantumkan UU lama. (PRA)


Tinggalkan komentar

Kategori