Oleh: hurahura | 25 September 2010

Meriam, Dipakai Perang Lalu Dipuja

Warta Kota, Kamis, 23 September 2010 – Sejumlah meriam di halaman depan Museum Sejarah Jakarta—lebih populer disebut Museum Fatahillah—selalu menarik perhatian. Meriam itu sering menjadi objek mainan, terutama anak-anak, atau menjadi latar belakang foto.

Meriam-meriam kuno tidak bisa dilepaskan dari sejarah Jakarta. Pada zaman penjajahan, berbagai peperangan sering terjadi di wilayah laut dan darat Batavia. Meriam pun dipakai karena mampu menembak musuh dari jarak jauh. Lagi pula meriam sangat kokoh, maklum bahannya dari besi dan perunggu.

Meriam mulai dikenal di Indonesia sejak abad ke-16, dibawa oleh bangsa Portugis. Kata meriam berasal dari Maria(m), nama yang sering diucapkan orang-orang Portugis ketika menggunakan senjata tersebut dalam pertempuran. Soalnya Maria dianggap pelindung dan pemberi keselamatan bagi mereka.

Dari bentuknya, meriam dibedakan menjadi tiga macam, yakni meriam bumbung, meriam coak, dan meriam lela. Meriam bumbung berbentuk seperti bumbung, yakni pipa yang terbuat dari bambu.

Sementara meriam coak, mendapat nama itu karena bagian pangkal meriam terbuka atau terkuak. Dalam dialek Betawi terbuka atau terkuak disebut coak.

Bentuk ketiga disebut meriam lela. Ukurannya lebih kecil daripada meriam-meriam di atas, namun modelnya menarik. Meriam lela digunakan dan dibunyikan pada saat upacara, misalnya dalam pengangkatan seorang raja, menerima tamu penting, melamar calon pengantin, dan menghormati kematian orang terpandang.

Menurut fungsinya, meriam dibedakan menjadi tiga macam, yakni meriam kapal, meriam benteng, dan meriam artileri. Meriam kapal biasanya berlaras pendek dan berukuran besar, namun dapat menembak lebih jauh. Meriam benteng berukuran paling besar dan berat, biasanya ditempatkan di setiap sudut benteng atau di sepanjang pantai. Sedangkan meriam artileri umumnya berukuran sedang dan kecil serta mudah dibawa atau didorong saat perang.

Beberapa meriam dilengkapi dengan ragam hias. Selain untuk memperindah meriam, juga mempunyai makna dan arti tertentu, misalnya berupa lambang dan tulisan. Lambang atau tulisan dimaksudkan sebagai jatidiri meriam tersebut, sehingga bermanfaat untuk para peneliti. Biasanya yang tertera adalah tahun pembuatan, asal meriam, dan nama penguasa waktu itu.

Zaman terus berubah. Muncul tingkah laku masyarakat yang bersifat religio-magis. Akibatnya banyak peninggalan meriam kuno diberi nama dan dipuja-puja orang. Meriam Si Jagur adalah salah satu contohnya. Dulu meriam ini banyak dikunjungi peziarah yang mencari berkah. Meriam tersebut selalu diberi sesajian. Semula meriam ini terletak di Pasar Ikan, kemudian dipindahkan ke Museum Nasional. Untuk pengamanan, sekarang Si Jagur ditempatkan di halaman belakang Museum Sejarah Jakarta. (Djulianto Susantio)


Tinggalkan komentar

Kategori