Oleh: hurahura | 11 Juni 2014

Benteng Martello di Pulau Kelor, Dipugar atau Dibiarkan?

Benteng-01Benteng Martello di Pulau Kelor

Pulau Kelor mendadak terkenal setelah pertengahan Agustus 2013 lalu pasangan selebriti mengadakan pesta pernikahan di sana. Sebelumnya, orang jarang menyebut-nyebut pulau itu. Ironisnya, dalam beberapa tahun belakangan ini, secara diam-diam Kelor hanya dikenal sebagai “tempat terindah sebagai latar foto nudis”. Beberapa fotografer profesional dan amatir, lengkap dengan sang model, kerap beraktivitas di sini.

Kelor adalah pulau bersejarah dengan nama asli “Kerkhof”. Ada juga yang menyebutnya “Onrust Inggris”. Namun masyarakat setempat mengenalnya sebagai Pulau Kelor, karena ukurannya sangat mungil. Diibaratkan pulau tersebut hanya selebar daun kelor. Saat ini luas pulau kurang dari dua hektar. Diperkirakan semakin tahun terus menyusut akibat abrasi dan kenaikan permukaan laut.

Pulau Kelor terletak di gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta Utara. Pulau ini bisa dicapai dengan perahu motor dari Marina Ancol atau pelabuhan Kamal. Lama tempuhnya sekitar 30 menit.

Sebelum 1970 pulau ini cukup luas. Sayang, keelokannya dinodai oleh pengambilan pasir secara besar-besaran untuk pembangunan bandara Soekarno-Hatta. Bahkan, untuk membangun negara tetangga kita, Singapura.


Benteng

Daya pikat utama Pulau Kelor adalah Benteng Martello yang dibangun VOC pada abad ke-17. Benteng ini terbuat dari batu bata merah berbentuk lingkaran. Karena bentuk inilah disebut martello, mengacu pada bangunan sejenis di Italia. Keunggulan benteng berbentuk lingkaran adalah supaya senjata bisa bermanuver 360 derajat. Benteng Martello dibuat VOC sebagai alat pertahanan untuk meredam serangan musuh yang ingin menyerang Batavia.

Benteng Martello di Pulau Kelor rusak parah akibat letusan Krakatau (1883). Bagian atasnya roboh dan sampai sekarang tetap tergeletak di laut. Pengikisan karena gelombang laut juga membuat bagian luar benteng terendam air. Untuk mengurangi dampak pengikisan, kini dipasang pilar-pilar pemecah gelombang.

Kerusakan situs sejarah di Pulau Kelor tidak hanya disebabkan faktor alam. Wisatawan dan nelayan yang berlabuh di pulau itu, juga punya andil dalam memperparah kerusakan. Akibatnya sisa-sisa benteng kuno tersebut terkesan kurang terawat. Padahal sejak 1980-an pengawasannya dilakukan oleh Unit Pengelola Taman Arkeologi Onrust. Ada empat pulau bersejarah yang tercakup dalam Taman Arkeologi. Selain Kelor, ketiga pulau lainnya adalah Onrust, Cipir, dan Bidadari.

Pada keempat pulau, memang banyak terdapat peninggalan bersejarah. Dulu, Onrust dikenal sebagai galangan kapal terbaik di dunia. Sisa-sisanya, termasuk benteng, rumah sakit, dan kincir angin masih terdapat di sini. Di Pulau Cipir dan Bidadari juga terdapat sisa-sisa Benteng Martello. Sejak 1980-an Pulau Bidadari, yang semula bernama Pulau Sakit, telah disulap menjadi kawasan pariwisata. Beberapa kamar dan fasilitas lain tersedia di pulau ini.


Konservasi

Kondisi Benteng Martello sekarang semakin mengkhawatirkan. Selain karena manusia dan alam, tumbuhan pun menambah penderitaan benteng ini. Sebagian badan benteng telah ditumbuhi rerumputan, bahkan tanaman yang agak besar.

Sebenarnya, upaya penyebaran tumbuhan bisa ditanggulangi dengan metode konservasi yang benar. Dengan bantuan bahan-bahan kimia, pertumbuhan jasad renik mampu dihambat. Hal tersebut dipraktekkan para peserta “Field Study for Conservation” yang diselenggarakan Balai Konservasi, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, pada 25-27 Nopember 2013 lalu.

Melakukan konservasi di situs ini agak rumit karena Benteng Martello berbahan batu bata merah. Meskipun tidak larut dalam air, tetapi bata merah mudah rapuh. Menurut Aris Munandar, pakar konservasi yang pernah menangani Candi Borobudur, penanganan konservasi pada bangunan bata tergantung dari tingkat kerusakannya. Pemeliharaan rutin dilakukan bila tingkat kerusakannya ringan. Bila serius perlu penanganan konservasi secara menyeluruh, baik bangunan maupun lingkungan.

Setelah diketahui faktor pengrusaknya, maka harus diketahui kualitas bahan dasar dan campuran bahan dasar. Aris mengatakan, penyebab kerusakan dan pelapukan material bata berasal dari faktor internal (bahan baku, suhu pembakaran, kondisi struktur bangunan, dan tanah dasar) dan faktor eksternal (iklim, biologis, dan bencana alam).

Langkah selanjutnya, menurut Aris, adalah melakukan pembersihan (debu/kotoran dan mikroorganisme, dll), perbaikan (pengisian lobang, penyambungan, penggantian), injeksi (retakan), konsolidasi (bata rapuh), pengawetan (untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme), dan pengolesan lapisan bahan penolak air (untuk mencegah kerusakan dan pelapukan bata).


Pemugaran

Konservasi dilakukan untuk menghambat proses pelapukan atau kerusakan. Meskipun sudah dilakukan konservasi, belum tentu sebuah bangunan layak dipugar. Pemugaran cagar budaya merupakan pekerjaan spesifik, dalam hal ini terkait dengan kegiatan pelestarian yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara akademis, teknis, dan administratif.

Oleh karena itu pemugaran cagar budaya, harus dilakukan melalui prosedur studi atau penilaian guna memenuhi ketentuan sebagaimana dipersyaratkan. Studi atau penilaian tersebut meliputi kegiatan studi kelayakan dan studi teknis dalam rangka menyusun rencana kerja secara sistematis dan terukur untuk pedoman pelaksanaan.

Menurut Ismijono, pakar pemugaran yang juga pernah menangani Candi Borobudur, studi kelayakan adalah tahapan kegiatan dalam rangka pengumpulan dan pengolahan data untuk menetapkan kelayakan pemugaran. Penetapan layak dan tidaknya cagar budaya untuk dipugar, dilakukan berdasarkan penilaian atas data terkait yang meliputi data arkeologis, historis, dan teknis.

Sementara studi teknis adalah tahapan kegiatan dalam rangka pengumpulan dan pengolahan data untuk menetapkan langkah-langkah teknis pemugaran apabila dalam studi kelayakan dinyatakan layak untuk dipugar. Penetapan langkah-langkah teknis pemugaran cagar budaya dapat dilakukan berdasarkan penilaian atas data terkait yang meliputi data arsitektural, struktural, keterawatan, dan lingkungan.

Menurut Hans Bonke, arkeolog Belanda sekaligus pakar benteng, pemugaran harus memiliki asas pemanfaatan. Di Belanda banyak benteng dipugar lalu dialihfungsikan, sehingga pengelola benteng memperoleh tambahan dana. “Ada benteng yang dijadikan restoran dan hotel, ada pula yang dijadikan cafe dan museum. Buat apa dilakukan pemugaran kalau tetap dibiarkan begitu saja,” kata Bonke.

Benteng Martello pernah dijadikan gudang militer. Semoga ada perhatian lebih, terutama dari para pimpinan yang cinta sejarah. (Djulianto Susantio)

Galeri Foto:

Kelor-03Pembersihan permukaan dalam rangka konservasi

Kelor-10Pembersihan plester yang menempel pada bata

Kelor-01Pengolesan cairan kimia untuk mematikan jasad renik


Tanggapan

  1. […] Sama seperti Pulau Cipir, Pulau Kelor pun merupakan sebuah pulau tak berpenghuni. Di pulau kecil ini masih terdapat sebuah benteng yang dibangun oleh VOC untuk menghadapi serangan Portugis saat itu. Benteng ini dikenal dengan nama Benteng Martello, dengan ciri khas bangunannya yaitu bulat melingkar. Di pulau ini pun masih bisa ditemukan sisa-sisa benteng yang mengelilingi pulau. Seluruh bangunan tersebut terbuat dari bata merah. Baca lebih lengkap mengenai Benteng Martello di blog arkeologi di sini. […]

  2. […] Sama seperti Pulau Cipir, Pulau Kelor pun merupakan sebuah pulau tak berpenghuni. Di pulau kecil ini masih terdapat sebuah benteng yang dibangun oleh VOC untuk menghadapi serangan Portugis saat itu. Benteng ini dikenal dengan nama Benteng Martello, dengan ciri khas bangunannya yaitu bulat melingkar. Di pulau ini pun masih bisa ditemukan sisa-sisa benteng yang mengelilingi pulau. Seluruh bangunan tersebut terbuat dari bata merah. Baca lebih lengkap mengenai Benteng Martello di blog arkeologi di sini. […]


Tinggalkan komentar

Kategori