Oleh: hurahura | 27 Mei 2011

Di Jakarta Banyak Situs Prasejarah Lenyap

Oleh: Djulianto Susantio

Ilustrasi (Foto: internet)

Kota Jakarta telah berkembang demikian pesat, terlebih sejak 1970-an. Pembangunan fisiknya gencar dilaksanakan dari satu gubernur ke gubernur yang lain. Mulai dari halte bis, jembatan penyeberangan, hingga pusat-pusat perbelanjaan dan jalan raya. Bahkan, pengadaan moda transportasi seperti bis Transjakarta, monorail, dan subway telah dan akan menjadikan Jakarta sebagai percontohan bagi kota-kota modern yang super sibuk di Indonesia.

Dampak positif pembangunan memang begitu kentara. Dulu, kotanya kumuh. Kini, banyak dihiasi gedung-gedung jangkung. Namun dampak negatifnya adalah karena pembangunan itu tidak melalui proses AMDAL (Analisis mengenai Dampak Lingkungan), maka pembangunan tersebut malah banyak merusakkan dan melenyapkan peninggalan masa lampau Jakarta. Selain itu mengabaikan sumber-sumber tertua tentang sejarah kehadiran manusia pertama di kotanya.

Terbukti, dari dulu hingga kini penelitian tentang masa lampau Jakarta jarang dilakukan. Kecuali anggaran penelitian yang dinilai terlalu kecil, banyak pembangunan fisik juga tidak terkoordinasi dan terkontrol dengan baik. Keadaan ini menyebabkan banyak situs arkeologi hancur, hilang, dan tertutup hutan beton untuk selama-lamanya. Yang rugi tentu saja adalah kita sendiri. Persoalannya adalah kita tidak bisa lagi mengungkap siapakah nenek moyang kita di Jakarta purbakala.

Padahal, sejak lama Jakarta diketahui memiliki situs-situs arkeologi dari masa prasejarah. Situs-situs tersebut tersebar di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Umumnya situs-situs tersebut terletak di tepi sungai atau daerah aliran sungai (DAS). Dari situs-situs tersebut sampai kini masih sering ditemukan berbagai artefak purba, seperti beliung persegi, kapak perunggu, gerabah, bahkan tulang manusia.

Dulu, temuan-temuan itu diperoleh penduduk secara kebetulan ketika sedang mengerjakan sawah atau ladang. Kadang-kadang sewaktu membangun jalan atau fondasi rumah. Temuan-temuan yang diperoleh amat banyak jumlahnya. Sepanjang abad XIX, sejumlah temuan berhasil dikumpulkan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, cikal bakal Museum Nasional sekarang (Hasan Djafar, 1987).

Ironisnya, temuan-temuan yang diperoleh melalui penelitian arkeologi (ekskavasi) sangat sedikit jumlahnya. Mungkin karena situs-situs tersebut dianggap kurang penting, jadinya pemerintah enggan mengucurkan dana penelitian. Berbagai penelitian arkeologi pun sering dianggap menghambat pembangunan fisik. Karena itulah penelitian masa lampau Jakarta terabaikan. Banyak pihak rupanya lebih berfokus pada kepentingan bisnis daripada kepentingan ilmiah.


Buni

Di seluruh wilayah Jakarta dan sekitarnya, dari 60-an situs yang sudah teridentifikasi, baru setengahnya saja yang pernah diekskavasi. Perhatian yang sungguh-sungguh terhadap situs-situs itu pun baru dimulai pada 1960, ketika media massa mengabarkan bahwa banyak penduduk Buni di Kabupaten Bekasi melakukan penggalian liar untuk mencari benda-benda kuno.

Sebenarnya, Buni sebagai ladang harta karun sudah diketahui sejak 1937. Ketika itu sejumlah pedagang barang antik sering menjual temuan-temuan prasejarah berupa gelang batu, manik-manik, dan gerabah kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Situs Buni semakin populer ketika pada 1958 seorang penduduk setempat secara kebetulan menemukan perhiasan-perhiasan emas dalam periuk-periuk kuno sewaktu mengerjakan sawahnya.

Beberapa kali penelitian arkeologi pernah dilakukan di Buni oleh Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional, kemudian diteruskan oleh Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta, baik berupa ekskavasi penyelamatan maupun penjajagan. Akan tetapi karena terlambat bertindak, situsnya sudah terlanjur hancur dan banyak temuannya sudah bercampur aduk akibat ulah penduduk sehingga hasil yang diperoleh kurang menggembirakan.

Maret 2007 lalu kembali penduduk di sekitar Karawang menemukan berbagai perhiasan emas di lokasi garapan sawah. Sekali lagi, ini membuktikan bahwa daerah Buni dan sekitarnya memang kaya akan benda kuno. Selain perlu digali secara ilmiah, berbagai penelitian lain tentu saja perlu dilakukan di wilayah ini.

Dibandingkan dengan situs-situs prasejarah lain, temuan dari situs Buni terbilang sangat menonjol. Para arkeolog menganggap situs Buni merupakan sebuah kompleks kebudayaan gerabah. Bahkan gerabah dari situs ini banyak ditemukan bersama tulang-belulang manusia, yang menurut penelitian pakar paleoantropologi Prof. Teuku Jacob (alm), berasal dari ras Australomelanesid dan ras Mongolid. Diperkirakan, mereka adalah manusia prasejarah sebagai penghuni pertama kota Jakarta.

Menurut penelitian 2005/2006, sebagaimana dikemukakan arkeolog Sonny Chr. Wibisono dan Bambang Budi Utomo dari Puslitbang Arkeologi Nasional, penemuan sejumlah artefak dan fosil manusia di situs Buni memiliki saling keterkaitan. Selama dua tahun itu berhasil diperoleh 32 individu fosil manusia. Diperkirakan fosil dan barang-barang temuan itu berasal dari masa 200 SM hingga 200 M.

Selain Buni, situs-situs yang sudah dikenali antara lain Kampung Kramat, Pejaten, Condet-Balekambang, Kelapa Dua, Lenteng Agung, dan Ciganjur. Di wilayah Bogor, ada situs Bukit Sangkuriang dan Bukit Kucong. Menariknya, di situs Bukit Sangkuriang tim arkeologi pernah menemukan keramik China dalam jumlah cukup besar. Keramik tertua berasal dari zaman dinasti Sung (abad X-XIII) dan yang termuda berasal dari zaman dinasti Ching (abad XVII-XIX). Dengan demikian seharusnya kesinambungan budaya sejak zaman prasejarah hingga abad XIX, turut memperkaya khasanah sejarah Jakarta. Namun sayang, situsnya sudah tergerus erosi dan tanahnya dijadikan lahan pertanian oleh penduduk setempat.

Situs di Jakarta yang paling banyak mengungkapkan periode prasejarah adalah Pejaten, di daerah Pasar Minggu. Sepanjang penelitian pada 1970-an, di situs ini banyak ditemukan gerabah berhias, beliung persegi, kapak perunggu, batu asahan, cincin perunggu, fragmen tulang, dan arang.

Umumnya temuan-temuan tersebut diperoleh pada kedalaman 50-100 cm di bawah permukaan tanah. Dari sampel arang inilah (pertanggalan Radio Carbon atau C-14) kemudian diketahui bahwa situs Pejaten memiliki masa sekitar 1000 SM hingga 500 M. Tragisnya, kini situs Pejaten telah lenyap tertutup oleh sebuah komplek perumahan, sehingga penelitian lanjutan tidak mungkin terlaksana lagi di sana.


Kendala

Banyaknya situs yang telah rusak atau lenyap tentu saja menjadi kendala besar bagi penelitian arkeologi prasejarah. Bilamanakah manusia prasejarah mulai menghuni Jakarta, belum dapat diketahui dengan jelas, mengingat peninggalan arkeologi untuk bahan kajian tersebut hanyalah kerangka manusia yang ditemukan di situs Buni. Sedangkan kerangka prasejarah di situs Pejaten belum begitu jelas apakah tulang manusia ataukah tulang binatang. Ini karena artefak-artefak tersebut sudah sangat aus dan rapuh kondisinya. Di pihak lain, sampai sejauh ini, para arkeolog belum pernah menemukan tulang-tulang manusia purba pada situs-situs lainnya.

Memang, penelitian-penelitian yang telah dilakukan selama ini belum dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai aspek-aspek kehidupan masyarakat purba sebagai penghuni pertama kota Jakarta. Dari kehadiran artefak-artefak prasejarah yang ditemukan secara luas di Jabodetabek dalam jumlah cukup banyak, kita hanya memperoleh petunjuk bahwa pada zaman prasejarah, Jakarta telah dihuni manusia.

Minimnya penelitian arkeologi prasejarah Jakarta jelas menggambarkan upaya untuk mencari jati diri bangsa kurang diperhatikan. Pesatnya pembangunan fisik menyebabkan para arkeolog hanya bisa melaksanakan survei permukaan atau penelitian pendahuluan. Tak ada lagi penelitian lanjutan atau intensif karena memang sekarang situsnya sudah lenyap.***


Tanggapan

  1. wahh geram..

  2. Sayang sekali ya…..!


Tinggalkan komentar

Kategori