Oleh: hurahura | 31 Agustus 2014

Informasi Prasasti Menyebutkan Larangan Memakai Jenis Kain Tertentu

Dalam bentuknya yang paling sederhana, paling tidak, dunia fashion dan mode sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Diperkirakan masyarakat Indonesia mulai membuat pakaian pada Masa Bercocok Tanam, ribuan tahun yang lalu. Karena masih primitif, tentu saja bahan-bahan pakaian berasal dari lingkungan alam terdekat. Kulit kayu dan kulit hewan, tidak dimungkiri, paling banyak digunakan untuk keperluan ini.

Bukti arkeologis berupa ragam motif anyam pada tembikar memberi petunjuk bahwa nenek moyang kita sudah memiliki kepandaian menganyam. Pengetahuan anyam-menganyam inilah yang kelak menjadi dasar pengetahuan menenun atau membuat kain. Bahan-bahan anyaman terdiri atas serat tumbuhan atau tanaman, seperti serat rami dan serat pohon pisang. Agar menarik, serat-serat ini diberi pewarnaan atau pencelupan, yang juga berasal dari tumbuhan atau mineral alam. Proses penenunan dan pewarnaan tersebut masih dilakukan secara konvensional.

Bahan pewarna yang cukup dikenal ketika itu adalah manambul, sebagaimana disebut dalam Prasasti Alasantan (abad ke-10). Manambul adalah zat pewarna alami yang menghasilkan warna gelap atau hitam (Buku Pengantar Pameran Tekstil dan Busana Indonesia yang Dipengaruhi Budaya Cina, 2005).

Pakaian modern dibuat dari beragam bahan dengan berbagai mode dan aksesorinya. Fungsinya adalah sebagai pelengkap perhiasan tubuh. Artinya, dengan berpakaian maka tubuh terlindungi dari pengaruh alam, seperti panas dan dingin. Pakaian juga membentuk kepribadian dan menunjukkan status sosial seseorang. Apalagi ada yang disebut haute couture, pakaian yang harganya hingga jutaan rupiah dan umumnya dikenakan para selebriti.

Pada zaman sekarang, corak, ragam hias, dan mode pakaian mudah diamati karena teknologi untuk melakukan dokumentasi sudah berkembang baik. Nah, bagaimana kalau kita ingin tahu hal-ihwal pakaian yang dikenakan Raja Majapahit atau masyarakat di Kerajaan Singhasari, umpamanya?

Hingga saat ini kita sulit untuk menginventarisasi atau mengetahui hal tersebut secara pasti. Petunjuk yang ada hanya mengungkapkan peranan pakaian secara samar-samar. Petunjuk-petunjuk itu berasal dari sumber tertulis, yakni prasasti, berita Tiongkok, dan karya sastra (naskah kuno). Sebagai pendukung adalah sumber tak tertulis, seperti relief candi dan arca.


Prasasti

Dari ratusan prasasti yang berkenaan dengan sima atau pembebasan pajak, tekstil hampir selalu disebut sebagai salah satu hadiah kepada pejabat kerajaan yang telah memberi anugerah sima kepada suatu wilayah. Meskipun tidak dirinci tekstil apa yang dimaksud, namun informasi tersebut cukup memberi kesan bahwa masyarakat sudah mengenakan pakaian dari bahan tekstil, bukan lagi dari bahan alami. Yang menarik, sejumlah informasi prasasti menyebutkan larangan memakai jenis kain tertentu dan penggunaan ragam pencelupan tertentu. Kemungkinan, pada saat itu terjadi “diskriminasi” berpakaian. Artinya, tekstil yang digunakan warga biasa akan berbeda dengan para pejabat, bangsawan, atau keluarga istana.

Di antara prasasti-prasasti itu, ada yang lebih “khusus” menginformasikan tekstil, yakni kata wdihan (pakaian pria) dan kain atau ken (pakaian wanita). Prasasti-prasasti itu berasal dari abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Selain itu dijumpai kata kalambi (pakaian atas) dan singhel (pakaian khusus untuk golongan pendeta, terbuat dari kulit kayu). Kitab Tantu Panggelaran menginformasikan, singhel dibuat dari daun lalang, daluwang, atau babakaning kayu.

Menurut penelitian arkeolog Edhie Wurjantoro (1986), ada berbagai jenis wdihan yang dijumpai dalam sumber prasasti. Ternyata tiap jenis wdihan dipakai oleh golongan tertentu, termasuk raja. Wdihan untuk raja antara lain adalah ganjar haji, ganjar patra sisi, dan bwat pinilai. Wdihan untuk pejabat tinggi antara lain tapis cadar, bwat kling putih, dan alapnya salari kuning. Sedangkan wdihan untuk pejabat rendahan antara lain siwakidang, hamarawu, dan takurang.

Berdasarkan namanya hanya beberapa wdihan yang bisa diketahui corak dan warnanya. Namun bagaimana bentuk pola keseluruhannya, tetap belum jelas. Wdihan putih kemungkinan berupa pakaian dengan dasar putih, wdihan ambay ambay adalah kain dengan motif bunga-bungaan, dan wdihan ganjar patra sisi adalah kain dengan motif sulur-suluran di bagian tepinya. Beberapa motif lain juga disebutkan dalam prasasti, hanya penjabarannya belum diketahui secara detil.

Seperti halnya wdihan, kain atau ken juga ada beberapa jenis dan pemakainya berbeda-beda menurut jenisnya. Dari sekian banyak jenis kain atau ken, untuk sementara ini baru diketahui sedikit tentang golongan pemakainya. Kain jaro konon dipakai oleh isteri pejabat tinggi; kain pinilai, kalyaga, dan rangga dipakai oleh istri pejabat menengah; serta kain pangkat, atmaraksa, dan halang pakan dipakai oleh istri pejabat rendahan.

Sumber prasasti boleh dibilang unik karena seluruh informasi tentang wdihan dan kain/ken ini berasal dari masa kerajaan Mataram (Hindu). Ketika kerajaan masih berpusat di Jawa Tengah, jenis wdihan juga relatif banyak dijumpai. Sebaliknya, ketika pusat kerajaan berpindah ke Jawa Timur, hanya sedikit wdihan yang disebutkan sumber prasasti.

Kemungkinan hal ini karena tingkat perekonomian masyarakat sudah menurun akibat letusan Gunung Merapi. Namun bukan berarti masyarakat di kerajaan lain dari masa sebelum dan sesudahnya tidak mengenal pakaian. Boleh jadi karena dipandang kurang penting atau hanya cenderung menyinggung masalah politik, maka pakaian jarang disebut-sebut dalam prasasti.


Berita Tiongkok dan Relief

Jenis sandang apa yang dikenakan masyarakat kuno, sampai sekarang masih sulit diidentifikasi. Dengan demikian kita tidak tahu bahan-bahan apa saja yang ada waktu itu. Hanya dari berita Tiongkok masa dinasti Song (960-1279) disebutkan bahwa penduduk Jawa memelihara ulat sutra dan menenun kain sutra halus. Dikatakan juga, banyak penduduk memakai baju dari katun. Sebagian mengenakan pakaian yang menutupi tubuhnya dari dada sampai ke bawah lutut. Baju-baju itu dipakai dengan cara dibelitkan di sekeliling tubuh.

Informasi ini pun belum mendalam. Kita masih belum tahu bagaimana cara menjahitnya dan mode apa yang trend saat itu. Adanya penyebutan pawdihan (tukang jahit) pada prasasti, tentu menunjukkan bahwa mode pakaian sudah dikenal masyarakat kuno.

Dari sejumlah kitab sastra, diketahui adanya istilah kain, dodot, wastra, dsb yang mengacu kepada pakaian terbuat dari katun atau sutra. Sedangkan dari relief Candi Borobudur, kita memperoleh gambaran bahwa baik rakyat maupun bangsawan—pria dan wanita—umumnya hanya memakai kain dan membiarkan bagian dadanya terbuka. Kenyataan ini tidak banyak bedanya dengan berita Tiongkok yang menyatakan bahwa rakyat biasa, baik pria maupun wanita, umumnya membiarkan bagian atas badannya terbuka (Groeneveldt, 1960).

Relief juga menggambarkan adanya bangsawan yang mengenakan pakaian tipis yang terbuat dari sutra atau katun. Selain disebutkan berita Tiongkok, adanya sutra atau katun antara lain diperoleh dari Prasasti Ayam Teas (910 M).

Pada relief Candi Borobudur sebenarnya banyak dijumpai penggambaran busana dengan aneka ragam motif. Begitu pula dari beberapa arca kuno. Meskipun belum teridentifikasi jelas, hal ini tentunya menunjukkan bahwa tradisi tekstil dan pakaian di Nusantara sudah maju. (Djulianto Susantio)


Tanggapan

  1. Prof. Boechari dalam bukunya “Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti”, hal. 38, menyebutkan ‘Pawdihan’ sebagai Pembatik. Istilah ini sering disebut seiring dengan ‘Manlakha’ yang diterjemahkan dengan ‘tukang memberi warna merah’, sehingga kiranya ditafsirkan sebagai Tukang Soga.


Tinggalkan komentar

Kategori