Oleh: hurahura | 1 Juli 2012

Asal-usul Nama Candi

Sastrawan besar Shakespeare memang pernah mengatakan dalam novelnya yang amat fenomenal Romeo and Juliet, ”apalah arti sebuah nama”. Namun tentu saja nama tetap penting. Nama merupakan tanda pengenal, agar orang atau benda mudah dipanggil atau ditandai. Begitu pula dengan nama candi. Candi mudah diingat, dikenal, dikunjungi, atau ditelusuri berkat namanya itu.

Pertanyaannya sekarang, siapakah yang memberi nama pada candi? Candi merupakan bangunan purbakala yang pada awalnya ditemukan pada abad ke-17 dan ke-18. Kita bisa memaklumi pada saat itu masyarakat masih kurang terpelajar. Akibatnya mereka banyak mengabaikan dokumentasi tentang candi. Bahkan karena saking awamnya, nama-nama candi diberikan sekenanya saja.


Dari Molek Hingga Jonggrang

Jika kita melewati jalan raya Yogyakarta – Solo, maka kita akan menjumpai Candi Sari. Candi tersebut tidak begitu besar. Namun ornamen-ornamen pada candi itu sangat menarik. Dulu sewaktu pertama kali ditemukan, banyak orang terkagum-kagum pada batu-batu berukir yang merupakan bagian dari candi. Setelah pemugaran candi selesai, mereka mengibaratkannya dengan kemolekan seorang gadis. Maka sebagai ‘penghormatan’ kepada candi tersebut, diberilah nama Candi Sari. Dalam bahasa Jawa ‘sari’ berarti ‘molek’. Entah siapa yang memberi nama itu, mungkin penduduk sekitar candi atau bisa jadi oleh para pekerja pemugaran.

Di dekat Candi Sari terdapat Candi Kalasan. Berbeda dengan nama sari, nama kalasan tidak ada sinonimnya dalam bahasa Jawa. Hanya di dekat candi pernah ditemukan sebuah prasasti, yang dikenal sebagai Prasasti Kalasan dan bertarikh 778 Masehi. Dari hasil pembacaan diketahui bahwa ‘maharaja telah mendirikan bangunan suci untuk dewi Tara. Untuk keperluan pemeliharaannya, maka Desa Kalasa dijadikan perdikan (tanah yang dilindungi)’. Karena prasasti tersebut ditemukan di halaman candi, maka para pakar menyesuaikan ‘bangunan suci dewi Tara’ itu dengan Candi Kalasan. Dasarnya adalah sebutan Desa Kalasa, lantas ditambah akhiran n untuk menunjukkan kata benda.

Candi Kalasan, sebagaimana yang dikenal sekarang, terletak di desa Kalibening. Itulah sebabnya penduduk setempat menamakan bangunan tersebut dengan Candi Kalibening. Nah, jangan heran kalau Anda mendengar nama itu. Candi Kalibening, meskipun kurang populer, identik dengan Candi Kalasan.

Cerita rakyat atau legenda, tidak dimungkiri, banyak mewarnai penamaan candi. Tentu masyarakat sudah familiar dengan legenda Bandung Bondowoso. Diceritakan bahwa pada suatu hari Raden Bandung Bondowoso berniat mengawini Puteri Loro Jonggrang, anak Prabu Ratuboko, seorang raja yang istananya terletak tidak jauh dari Prambanan.

Namun Loro Jonggrang mengajukan syarat bahwa terlebih dulu Bandung Bondowoso harus dapat membuatkan sebuah istana yang berisi seribu arca dalam waktu semalaman. Bandung Bondowoso pun bekerja keras. Menjelang pagi, sebenarnya hanya tersisa satu arca yang belum selesai.

Mengetahui hal tersebut, Loro Jonggrang panik. Lantas dia memperdaya Bandung Bondowoso dengan cara membuat ayam berkokok menandakan hari sudah pagi. Dengan demikian usaha Bandung Bondowoso gagal. Karena kesal Bandung Bondowoso kemudian menenung Loro Jonggrang menjadi sebuah batu. Arca Loro Jonggrang itulah yang dianggap sebagai pelengkap arca yang kurang satu.

Sebenarnya, arca Loro Jonggrang yang menjadi ‘ikon’ Candi Prambanan sekarang, melukiskan Dewi Durga, isteri Dewa Siwa. Arca itu memiliki ukiran yang artistik sehingga menarik perhatian penduduk sekitar. Dari legenda ini muncul pula nama Candi Ratuboko, yang berlokasi beberapa kilometer dari Candi Prambanan.

Karena legenda ini sudah merakyat, maka di mata penduduk setempat nama Loro Jonggrang lebih dikenal daripada nama Prambanan. Perhatikan saja teriakan kondektur bis di depan kompleks Candi Prambanan. Mereka mengucapkan , ”Jonggrang…Jonggrang bukan Prambanan…Prambanan”. Para wisatawan sendiri lebih memahami nama Prambanan karena terletak di Desa Prambanan dan juga merupakan nama formal dalam peta-peta kepariwisataan. Jadi, Anda jangan ‘terpedaya’ oleh nama Candi Prambanan atau Candi Loro Jonggrang. Keduanya merupakan candi yang sama.


Nama Tempat dan Bahasa Jawa

Sebenarnya ada patokan khusus untuk memberikan nama pada sebuah candi, yakni berdasarkan nama bangunan suci yang disebutkan pada prasasti atau naskah kuno. Namun kendalanya adalah banyak sumber tertulis tidak menyebutkan hal demikian. Bahkan banyak candi tidak berhubungan dengan prasasti atau naskah kuno. Mungkin saja prasastinya memang belum ditemukan, dalam arti masih terpendam di dalam tanah atau jangan-jangan sudah dicuri orang sejak lama.

Pilihan kemudian adalah berdasarkan nama wilayah tempat candi itu ditemukan atau berdiri. Mungkin Anda pernah mengunjungi Candi Plaosan dan Candi Sambisari. Jelas mudah ditebak, Candi Plaosan terletak di Desa Plaosan dan Candi Sambisari terletak di Desa Sambisari.

Namun di Desa Plaosan itu, bukan hanya terdapat satu candi, melainkan dua candi. Kedua candi berdekatan lokasinya. Maka untuk membedakannya, penduduk menamakan candi yang terletak di utara sebagai Candi Plaosan Lor (Bahasa Jawa, lor = utara) dan yang di selatan Candi Plaosan Kidul (kidul = selatan).

Cara ketiga adalah berdasarkan ’kreativitas’ masyarakat sekitar. Sejumlah nama candi yang dikenal sekarang, banyak diberikan oleh penduduk setempat puluhan tahun yang lalu manakala ilmu arkeologi masih belum berkembang. Nama Candi Tikus di kompleks Trowulan (Jawa Timur), bisa menjadi contoh. Nama ini diberikan oleh masyarakat Trowulan. Konon dulu pada awal penemuannya, di sela-sela tumpukan batu candi yang masih berantakan, banyak dijumpai sarang tikus.

Candi bernama binatang lainnya adalah Candi Asu (Bahasa Jawa, asu = anjing). Candi ini terletak di kompleks Taman Wisata Candi Prambanan. Disebut demikian karena puluhan tahun yang lalu banyak anjing sering berkeliaran di sekitar serakan batu candi.

Uniknya, nama Candi Asu juga ada di lokasi lain, yakni di Desa Sengi, Magelang. Berbeda dari yang pertama, Candi Asu Sengi, nama yang diberikan kemudian, merupakan kekeliruan penyebutan oleh penduduk setempat. Konon dulu di dekat candi tidak dikenal itu, terdapat arca Nandi, yakni arca berujud lembu. Karena penduduk masih awam, mereka menganggap arca itu berujud anjing. Meskipun demikian Candi Asu salah kaprah itu, tetap populer sampai sekarang, karena kondisinya lebih bagus daripada Candi Asu di kompleks Prambanan.

Kreativitas lain adalah memberikan nama pada candi berdasarkan kondisi terakhir candi tersebut. Coba tebak kenapa dinamakan Candi Batu Miring? Usut punya usut, ternyata sewaktu ditemukan batu-batu candinya berada dalam kondisi hampir roboh atau dalam keadaan miring.

Lain halnya dengan Candi Watu Gudhig. Sewaktu ditemukan batu-batunya terkena lumut sehingga warnanya berbintik-bintik seperti orang terkena penyakit kulit (Bahasa Jawa, watu = batu dan gudhig = sejenis penyakit kulit).

Karena kebanyakan candi terletak di Pulau Jawa, tentu saja bahasa Jawa amat berperan. Lihat saja nama-nama Candi Pawon (= dapur) karena bagian dalam candi menyerupai dapur; Candi Lumbung karena dulunya dikira tempat penyimpanan padi (= lumbung); dan Candi Bubrah (= rusak atau berantakan) karena bangunan yang tersisa hanya berupa serakan batu.

Yang agak berbeda adalah pemberian nama-nama candi di kompleks Gunung Penanggungan (Jawa Timur). Lebih dari seratus candi terdapat di sana. Maka pemberian nama candi disesuaikan dengan nomor urut penemuan. Artinya yang pertama kali ditemukan, diberi nama Candi I, Candi II, dan seterusnya. Baru pada 1980-an sejumlah nama candi mulai diganti, misalnya Candi XXXVII menjadi Triluko karena berujud tiga candi kecil yang berdampingan letaknya.

Penamaan candi juga sering dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Misalnya saja berdasarkan atribut utama yang terdapat pada candi tersebut. Candi Siwa di kompleks Prambanan dinamakan demikian karena di dalamnya berisi arca Dewa Siwa. Begitu pula terhadap Candi Brahma, Candi Wisnu, dan Candi Garuda, masih di kompleks yang sama.

Sejumlah candi, meskipun jarang, pernah dinamakan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam naskah kuno Nagarakretagama (dari abad ke-14). Contohnya bangunan suci Jajawa disesuaikan menjadi Candi Jawi dan Jajaghu menjadi Candi Jago.


Masih Diperdebatkan

Hingga kini nama yang masih diperdebatkan adalah Borobudur. Di mata penduduk setempat, Borobudur bermakna “arca di Desa Budur”. Konon, dulu setiap hari penduduk selalu melihat banyak boro (= arca) di Desa Budur itu. Cerita lain mengatakan, nama Borobudur berasal dari pohon budur (pohon bodhi atau pohon kehidupan) yang pernah tumbuh subur di sana.

Dari penelitian ilmiah, J.L. Moens mengartikan istilah budur dengan kota Buddha karena dalam kitab kuno Nagarakretagama penyebutan budur sudah ada. Menurut Poerbatjaraka, nama Borobudur berasal dari kata biara (tempat suci) dan bidur (tempat tinggi), yang kemudian “diplesetkan” menjadi borobudur.

Di tengah pembangunan kampus UII di Yogyakarta akhir 2009 lalu, ternyata ditemukan sebuah candi yang kemudian diberi nama Candi Kimpulan, sesuai nama wilayah tempat candi itu. Pihak UII sendiri lebih cenderung memberi nama Candi Pustakasala, karena penemuan candi secara tidak disengaja itu berawal dari rencana perluasan Gedung Perpustakaan UII. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya, anggota Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia)

*Dimuat dalam majalah Reader’s Digest Indonesia, edisi Juli 2012


Tanggapan

  1. Jadi, Kalasan tidak memiliki arti? Bukan berasal dari kata ‘alas’ juga?


Tinggalkan komentar

Kategori