Oleh: hurahura | 7 Desember 2010

Pengunjung dan Masalah Konservasi Candi Borobudur

Oleh: Djulianto Susantio

Pengantar

Candi Borobudur dikenal luas sebagai peninggalan masa lalu yang unik dan mengagumkan. Banyak wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara hampir selalu memasukkan situs ini sebagai rencana kunjungan perjalanan mereka. Usaha-usaha terpadu pun kemudian dilakukan, bahkan dikukuhkan lewat kerja sama antara Direktorat Jendral Pariwisata dengan Direktorat Jendral Kebudayaan pada 1978.

Adanya kerja sama ini memungkinkan pariwisata menghasilkan dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi negara dan masyarakat. Sebaliknya, pariwisata juga dapat menghasilkan dampak negatif, misalnya grafitisme, vandalisme, kerusakan batu, dan pengotoran. Diperkirakan semakin meningkatnya kepariwisataan, semakin meningkat pula dampak negatif tersebut.

Untuk itu masalah pemeliharaan Candi Borobudur perlu dilakukan dengan baik. Bahkan sedapat mungkin mengurangi dampak negatif, sekaligus mengembangkan dampak positif. Dalam rangka itulah penelitian dilakukan. Permasalahan dibatasi pada sejauh mana dampak negatif akibat ulah manusia.

Dari hasil pengamatan lapangan diketahui kerusakan Candi Borobudur akibat ulah manusia disebabkan oleh dua unsur, yaitu unsur khemis dan unsur mekanis. Pengaruh unsur khemis, misalnya, dari buah-buahan dan sisa-sisa makanan. Pengaruh unsur mekanis antara lain gesekan alas kaki, kecepatan berjalan, dan jenis alas kaki.

Untuk mengurangi dampak negatif, maka hal-hal tersebut harus ditekan serendah-rendahnya. Cara yang ditempuh bisa berbagai macam, misalnya manajemen pariwisata harus baik serta pengetahuan kepurbakalaan dan sejarah kebudayaan perlu diajarkan kepada anak didik agar mereka menjadi masyarakat yang apresiatif.


Data Kerusakan Batu

Kerusakan batu berupa keausan pada lantai dijumpai di setiap tingkat. Besar kecil keausan berbeda-beda. Dari pengamatan dan pengukuran pada lorong-lorong yang memuat relief cerita dan teras arupadhatu didapat hasil: pada lorong keausan sebesar 0,1-0,2 cm dan pada teras arupadhatu keausan sebesar 0,2-0,4 cm.

Kerusakan batu pada undak dijumpai pula di setiap tingkat. Besar kecil kerusakan, termasuk keausan, berbeda-beda dan umumnya terjadi pada bagian sudut. Dari pengamatan pada keempat sisi (utara, barat, selatan, dan timur) terdapat 801 batu mengalami keausan, terdiri atas 535 batu termasuk kategori aus kecil (kurang dari 1 cm) dan 266 batu termasuk kategori aus besar (lebih dari 1 cm). Sementara itu besarnya kerusakan diketahui 1-3 cm.

Pada arca Kunta Bima kerusakan batu terjadi pada beberapa bagian. Hal yang tampak menyolok terjadi pada arca di dalamnya dan pada bagian lapik. Pada arca timbul noda-noda putih, sementara pada bagian lapik keausan sedalam kira-kira 10 cm. Lokasi keausan antara sisi selatan dan timur stupa.


Data Sampah

Pada candi dan halaman dijumpai berjenis-jenis sampah. Sampah-sampah ini dapat digolongkan menjadi enam jenis, yaitu rokok (termasuk bungkus rokok dan batang korek api), kertas, plastik, makanan, buah-buahan, dan ludah (termasuk ingus dan sejenisnya). Teras arupadhatu merupakan tempat terakumulasinya sampah.


Data Pengunjung

Sesuai dengan kerusakan batu pada stupa, maka pengumpulan data dilakukan terhadap tingkah laku pengunjung di stupa Kunta Bima. Selain itu dilakukan pula pengumpulan data terhadap pengunjung di stupa terbuka di kuadran timur laut karena tempat ini sering didatangi pengunjung untuk potret-memotret. Diperkirakan keadaan arca dan stupa ini akan semakin rawan. Selama dua hari saja dalam pengamatan selama empat jam, diperoleh data 968 orang menaiki stupa Kunta Bima dan 103 orang menaiki stupa terbuka.


Lama Waktu Kunjung

Dari sekian banyak pengunjung domestik, sebagian besar langsung naik ke teras arupadhatu tanpa melihat lorong-lorong yang memuat relief cerita terlebih dulu. Di teras tersebut mereka menikmati pemandangan alam, membuka perbekalan, dan potret-memotret dengan berbagai latar. Setelah puas mereka turun kembali. Oleh karena itu waktu kunjung mereka relatif cepat, yakni 21-40 menit.

Sebaliknya pengunjung asing lebih banyak melakukan aktivitas di setiap sudut. Mereka memotret setiap relief cerita atau bagian-bagian candi yang dianggap menarik. Tercatat waktu kunjung mereka 49-62 menit.


Kecepatan Berjalan

Untuk mengetahui tingkah laku pengunjung juga dilakukan pengamatan terhadap kecepatan berjalan. Lokasi pengamatan adalah di teras rupadhatu, teras arupadhatu, dan tangga di antara kedua teras itu.

Asumsinya adalah semakin lambat berjalan, berarti semakin menikmati objek. Sebaliknya semakin cepat berjalan, berarti tidak memperhatikan objek. Keausan dan kerusakan batu, tentunya tidak dapat dilepaskan dari kecepatan berjalan. Semakin cepat berjalan, secara teoretis menunjukkan semakin cepat batu-batu candi aus atau rusak. Begitu pula sebaliknya.


Jenis Alas Kaki

Pengamatan selanjutnya dilakukan terhadap alas kaki. Semakin keras alas kaki, misalnya kulit, menyebabkan gesekan dengan batu semakin besar. Semakin lunak, misalnya karet, gesekan semakin ringan.


Analisis Pengunjung

Menurut pengamatan, sebagian besar pengunjung langsung naik ke teras arupadhatu. Berarti sedikit sekali yang melihat-lihat relief cerita. Di atas mereka mengunjungi arca Kunta Bima. Arca ini memang cukup dikenal, antara lain sebagai arca pembawa berkah. Bukan cuma pengunjung lokal, tamu-tamu negara pun kerap mengadu nasib di sini. Akibatnya kondisi arca memrihatinkan karena sering disentuh pengunjung. Lapik stupa yang memuat arca ini pun cepat aus karena harus menahan beban pengunjung.


Melestarikan Candi

Salah satu upaya untuk menekan keausan atau kerusakan batu adalah menggunakan alas kaki khusus yang lembut. Penggunaan alas kaki seperti ini sudah banyak dilakukan di negara maju. Di Jepang, misalnya, untuk memasuki suatu bangunan purbakala yang umumnya terbuat dari kayu, para pengunjung harus melepas alas kaki, kemudian menggantinya dengan alas kaki yang disediakan. Di Jerman Timur (kini sudah bersatu dengan Jerman Barat menjadi Jerman), untuk memasuki suatu kastil yang umumnya terbuat dari batu pualam (marmer), para pengunjung diharuskan melapisi alas kakinya dengan alas kaki khusus.

Langkah selanjutnya adalah mengurangi sumber keausan atau kerusakan, dalam hal ini pengunjung yang akan mendaki candi. Salah satu upaya adalah membangun taman wisata dengan berbagai fasilitas di dalamnya. Diharapkan dengan adanya taman, pengunjung akan menyebar ke berbagai daya tarik yang tersedia sehingga arus pendaki candi dapat dikurangi. Taman wisata itu diharapkan akan melindungi Candi Borobudur (dilihat dari sudut konservasi) sekaligus menyedot pengunjung sebanyak-banyaknya (dilihat dari sudut pariwisata).

Ditinjau dari sudut lingkungan hidup, pembangunan taman dirasakan besar manfaatnya, yaitu untuk menurunkan dayadukung lingkungan. Dayadukung lingkungan pariwisata dipengaruhi oleh dua faktor utama, yakni tujuan wisatawan dan lingkungan biofisik lokasi pariwisata. Pada umumnya dayadukung lingkungan dari tinggi ke rendah adalah tempat hiburan, tempat olahraga, tempat belajar, dan tempat istirahat (Soemarwoto 1983:284).

Di Candi Borobudur tujuan rekreasi belum mendapat perhatian. Rekreasi masih terlalu sering diartikan sebagai bermain-main atau sebagai sarana hiburan. Akibatnya, dayadukung lingkungan tergolong tinggi sehingga kerusakan candi juga semakin tinggi.

Dilihat dari faktor biofisik, Candi Borobudur mempunyai dayadukung lingkungan rendah. Artinya Candi Borobudur tidak sanggup menampung banyak wisatawan sekaligus. Selain itu Candi Borobudur mempunyai daya lenting atau daya pulih rendah. Maksudnya bila Candi Borobudur rusak maka dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat pulih.

Oleh karena itu adanya taman wisata diharapkan akan berfungsi mengurangi arus pendaki candi, yang berarti pula meningkatkan dayadukung lingkungan (dilihat dari faktor biosfisik). Banyaknya daya tarik atau fasilitas yang berhubungan dengan arkeologi, akan menjadikan Candi Borobudur bukan sebagai tempat rekreasi belaka tetapi sebagai tempat belajar. Dengan demikian dayadukung lingkungan akan semakin rendah (dilihat dari faktor tujuan wisatawan).

Dari hasil pengamatan, umumnya tujuan utama pengunjung lokal adalah teras arupadhatu. Di tempat itu mereka membuka perbekalan atau merokok. Itu sebabnya sampah terakumulasi di teras ini.


Penutup

Upaya perlindungan Candi Borobudur akibat ulah manusia dirasakan sebagai upaya yang sangat mendesak dan perlu penanganan serius. Meskipun aktivitas masyarakat yang mencemari Candi Borobudur telah berlangsung sejak lama namun ternyata disiplin arkeologi belum cukup sigap untuk berusaha mengatasinya.

Upaya perlindungan peninggalan-peninggalan purbakala pada prinsipnya dibedakan menjadi dua jenis kegiatan, yakni melindungi dalam arti menanamkan kesadaran kepada masyarakat (usaha preventif) dan melindungi secara hukum (represif). Menanamkan kesadaran pada masyarakat dapat dilakukan dengan berbagai cara. Di luar negeri usaha ini tercermin dalam beberapa istilah yang digunakan antara lain Arkeologi Publik.

Istilah Arkeologi Publik pertama kali dikemukakan oleh Charles R. McGimsey III dalam sebuah buku berjudul Public Archeology (1972). Asumsi dasar tumbuhnya Arkeologi Publik terutama berlandaskan pada kenyataan bahwa masa lalu bukan hanya milik segelintir orang, tetapi milik semua orang. Masa lalu manusia selalu mempunyai ikatan erat dengan kehidupan sekarang. Oleh karena itu hak untuk mengetahui masa lalu merupakan hak asasi setiap manusia. Ungkapan tersebut tentu tidak berarti setiap manusia bebas untuk merusak atau menghancurkan bukti-bukti kebudayaan masa lalu. Gimsey lebih lanjut mengatakan bahwa perlindungan terhadap peninggalan-peninggalan budaya masa lalu sangat menuntut keikutsertaan masyarakat.


Tanggapan

  1. terimakasih pak… tulisan bapak membawa wawasan baru dalam pikiranku..


Tinggalkan komentar

Kategori