Oleh: hurahura | 24 Mei 2011

Selamat Jalan Prof RP Soejono

Oleh Nunus Supardi

R.P. Soejono muda

KOMPAS – Sabtu, 21 Mei 2011 – Dunia arkeologi Indonesia kehilangan lagi seorang ahli dan tokoh perintis ilmu arkeologi bidang prasejarah setelah Indonesia merdeka.

Pada Senin, 16 Mei 2011, Prof Dr Raden Pandji Soejono-biasa dipanggil Pak Jono-telah dipanggil oleh Yang Maha Esa dalam usia 84 tahun. Ia lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 27 November 1926. Kepergiannya yang mendadak itu menyusul sederet arkeolog senior lainnya, serta rekan seangkatan dan yuniornya yang lebih dulu berpulang.

Di sela-sela rasa duka mendalam, perbincangan para pelayat selalu mengarah pada betapa besar sumbangan beliau kepada negara, bangsa, kebudayaan, dan arkeologi Indonesia. Pak Jono sering mengisahkan perjuangannya pada masa remaja dan muda. Kisah itu selalu dirangkai dengan kondisi remaja masa kini.

Dalam status pelajar SMP, remaja Soejono telah melibatkan diri dalam perjuangan membela kemerdekaan, masuk dalam Barisan Banteng di Malang. Barisan ini menyusup ke daerah-daerah berbahaya, seperti Wagir, Tumpang, Jabung, Dampit, Turen, Pujon, Batu, Punten, Singosari, Kendalpayak, Bulu Lawang, hingga ke Kabupaten Besuki, Pasuruan, Probolinggo, Bondowoso, Jember, dan sekitar Porong.


Bapak “Prasejarah”

Perang telah menempa diri Pak Jono menjadi seorang ahli prasejarah yang penuh tanggung jawab, kerja keras, disiplin, pantang menyerah, gigih dalam mempertahankan pendapat, jujur, dan sederhana. Setelah tamat S-1 jurusan arkeologi, Pak Jono menekuni bidang prasejarah sebagai upaya mengungkap misteri sangkan paraning dumadi sebelum periode sejarah datang. Ia meraih gelar doktor, tahun 1977, lewat disertasi berjudul Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali Mengenai Situs Gilimanuk.

Berkat keterlibatannya dalam perang kemerdekaan, Pak Jono jadi pribadi yang gigih memperjuangkan cita-cita, yaitu menjadikan arkeologi Indonesia yang nasionalistik dan mandiri, serta pusat penelitian yang disegani oleh dunia internasional. Menurut Pak Jono, tahun 1953 adalah awal bangsa Indonesia merintis kelanjutan hidup arkeologi di Indonesia meski dengan tenaga dan sarana yang amat terbatas.

Bersama beberapa tenaga muda-di antaranya Soekmono, Satyawati Sulaiman, Buchari, dan Uka Tjandrasasmita-arkeologi Indonesia dibangkitkan oleh tenaga muda Indonesia. Hegemoni Barat pun berakhir. Dunia arkeologi Indonesia memasuki tahap melanjutkan dan menyempurnakan apa yang telah dihasilkan oleh arkeolog asing itu.

Bentuk dari strategi melanjutkan dan menyempurnakan itu tidak lain adalah dengan melakukan upaya kemandirian dalam bidang arkeologi. Untuk mengejar keterbelakangan itu, kata RP Soejono, kita harus mampu melakukan usaha-usaha eksperimental di bidang analisis dan pengembangan konsep pada setiap segi kegiatan arkeologi: pertanggalan (dating), cara pendekatan data (approaches), teknik kerja lapangan dan laboratoris, pengembangan hipotesis/teori arkeologi, dan lain sebagainya.

Bagian lain yang menarik adalah penilaiannya tentang kondisi arkeologi Indonesia saat ini. Ia risau karena arkeologi Indonesia saat ini berada dalam ketidakmandirian, terutama dalam kegiatan analisis dan interpretasi melalui penelitian arkeologis. Adanya intervensi dari luar secara terus-menerus dikhawatirkan dapat melenyapkan identitas arkeologi Indonesia sebagai aset ilmiah nasional.

Itu sebabnya mengapa ia gusar ketika peneliti dari Australia secara sepihak memublikasikan hasil penelitian dari situs Liang Bua di Nusa Tenggara Timur. Padahal, penelitian itu dilakukan secara bersama dengan para arkeolog Indonesia. Bahkan, jauh sebelumnya, penelitian serupasudah diawali oleh peneliti-peneliti Indonesia secara mandiri.


Prihatin posisi kebudayaan

Meski secara kedinasan ia sudah lama pensiun, hingga menjelang akhir hayatnya, RP Soejono tetap berkantor di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Sebagai budayawan sejati dan ahli arkeologi senior yang berwawasan nasionalistik, ia juga prihatin terkait kebijakan pemerintah di masa reformasi yang cenderung kian memarjinalkan posisi kebudayaan dalam tata kelembagaan pemerintahan. Puncak keprihatinannya adalah ketika Puslit Arkenas pada 2003 digabung ke Kementerian Pariwisata, dan nomenklaturnya pun diganti menjadi Asisten Deputi Urusan Arkeologi Nasional.

Perubahan itu menyebabkan misi utama yang melekat pada lembaga yang pernah ia pimpin selama 10 tahun (1977-1987) tersebut bergeser. Jika selama 55 tahun sebelumnya mengemban misi pokok penelitian, akibat perubahan itu, ia hanya menjadi “pembantu” yang bertugas menyiapkan perumusan kebijakan di bidang arkeologi. Karena itu, hingga akhir hayatnya, Pak Jono terus gigih menyuarakan agar bidang kebudayaan jadi departemen sendiri, paling tidak dikembalikan bergabung dengan bidang pendidikan.

Memang tak ada kata “pensiun” dalam kamus hidupnya sebagai ilmuwan-peneliti. Dalam masa “pensiun” itu pun, ia masih kerap terjun ke lokasi-lokasi penelitian arkeologi prasejarah, yang umumnya berada di medan yang relatif sulit dijangkau.

Kesetiaan pada bidang ilmu prasejarah, yang oleh sementara orang dinilai kering, ketekunan dan kejujuran dalam bekerja, dan kesederhanaan dalam hidup adalah sebagian teladan berharga yang ditinggalkan beliau. Selamat jalan Pak Jono, “Bapak Prasejarah Indonesia”.

Nunus Supardi
Mantan Direktur Purbakala, Depdikbud


Tanggapan

  1. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un, smoga smangat & ke Ilmuan P Jono dapat diwarisi oleh generasi sesudahnya, Amin

    • kita harapkan demikian


Tinggalkan komentar

Kategori