Oleh: hurahura | 19 Oktober 2012

Lidah Api Tugu Monas

Warta Kota, Kamis, 18 Oktober 2012 – Di puncak Monas terdapat cawan yang menopang lidah api seberat 14,5 ton dan dilapisi emas 35 kilogram. Sebagian besar emas tersebut merupakan sumbangan Teuku Markam, seorang pengusaha Aceh. Lidah api atau obor ini berukuran tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter. Lidah api menyimbolkan semangat perjuangan rakyat Indonesia yang ingin meraih kemerdekaan. Awalnya nyala api perunggu ini dilapisi lembaran emas seberat 35 kilogram. Namun untuk menyambut perayaan 50 tahun kemerdekaan Indonesia pada tahun 1995, lembaran emas ini dilapis ulang sehingga mencapai berat 50 kilogram.

Lidah api Monas pernah diperbaiki pada 1990-an oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Diketahui pencemar terbesar Monas adalah debu, kotoran, dan korosi (karat). Bahkan juga rentan dari faktor-faktor lain, seperti faktor mekanis (getaran mesin lift, kendaraan bermotor, dan kehadiran pengunjung yang terlampau banyak), fisis (sinar matahari, angin, air hujan, dan kelembaban udara), khemis (gas-gas pencemar yang terdapat dalam udara), dan vandalisme/grafitisme (goresan dengan alat tajam dan coretan dengan alat tulis).

Ketika itu tindakan konservasi yang dilakukan adalah pembersihan debu yang melekat pada permukaan lidah api, pengupasan lapisan pelindung, dan pelepasan hasil korosi. Tindakan perbaikan yang dilakukan adalah menutup lubang-lubang kecil pada permukaan lidah api dengan larutan epoxy resin, menyambung lempengan perunggu yang terlepas menggunakan araldite, dan mengganti bagian-bagian konstruksi yang mengalami korosi berat.

Selain itu tiang-tiang penyangga yang agak keropos diperkuat dengan cara menambal, sekaligus untuk menstabilkan permukaan lidah api. Langkah terakhir adalah menempelkan lembaran emas pada lidah api, agar warnanya tidak lagi kusam. Emas yang digunakan berkadar 22 karat dengan ketebalan 0,01-0,02 milimeter.

Mungkin banyak yang belum tahu kalau ada mitos bahwa dalam lidah api tergambar sosok seorang wanita. Dia sedang duduk menghadap ke Istana Negara, namun orang yang melihatnya tidak mengetahuinya secara langsung. Hanya Presiden Soekarno lah yang mengetahui sosok patung “tak terlihat” ini. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Tinggalkan komentar

Kategori