Oleh: hurahura | 5 Oktober 2012

Naskah Kuno: Di Dalam Negeri Terabaikan, di Luar Termuliakan

ilustrasi

KOMPAS, Senin, 1 Oktober 2012 – Dalam simposium internasional XIV tentang Masyarakat Pernaskahan Nusantara, di Yogyakarta, 11-13 September 2012, seperti ingin membuka tabir betapa terlantarnya ribuan naskah yang tersimpan di museum atau kerajaan-kerajaan di Nusantara. Keprihatinan itu sampai saat ini barangkali masih sebatas pada orang-orang yang peduli dan orang-orang yang memang berkecimpung di dalam pernaskahan kuno.

Namun, ketika mendalami isi dari naskah-naskah kuno yang dijabarkan satu per satu oleh para panelis dalam simposium selama tiga hari itu, betapa berharganya isi naskah-naskah itu, yang memang masih relevan untuk direfleksikan pada kehidupan sekarang.

Ketua Umum Masyarakat Pernaskahan Indonesia Dr Oman Fathurahman memberi gambaran kecil tentang arti naskah kuno.

”Seperti dari Puro Pakualaman Yogyakarta misalnya. Pihak Pakualaman mampu membaca kemudian menerjemahkan secara modern tentang konsep kepemimpinan yang dihimpun dalam satu buku. Konsep itu namanya astabrata. Bukan hanya dari Pakualaman, hampir seluruh keraton di Nusantara waktu itu memiliki konsep-konsep kepemimpinan yang boleh rasanya akan menjadi bahan besar untuk menjadikan konsep kepemimpinan di era sekarang,” ucapnya.

Selain konsep kepemimpinan, menurut Oman, juga resep obat-obatan abad ke-14-17 banyak tertulis dalam naskah kuno. ”Betapa ini akan memberi sumbangan dunia kesehatan kita. Meskipun saat sekarang boleh dalam kondisi dunia pengobatan modern, tapi bahan-bahan obat itu dasarnya adalah kekayaan alam kita. Atau setidaknya, naskah-naskah kuno ini bila kita terjemahkan akan bisa menambah kekayaan dunia pengobatan alternatif di negeri kita,” tegasnya,

Banyak peserta yang mengeluhkan terabaikannya naskah-naskah kuno di wilayah Nusantara. Cara penyimpanan hanya disimpan di lemari kaca tanpa pengaman atau tanpa pengewet apa pun. Bahkan, ada peserta yang menyatakan ada naskah kuno yang robek-robek dan ditambal dengan kertas lain untuk merekatkan kembali robekan itu.

Ketua Panitia Simposium yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Sudibyo menyatakan, penyelamatan naskah kuno ini salah satunya ditempuh lewat digitalisasi. Sebagaimana terungkap dalam simposium itu, ada sekitar 5.000 naskah yang berhasil didigitalisasi. ”Tapi Anda tahu, yang melakukan digitalisasi ini semuanya adalah orang luar negeri,” ujarnya.

Dengan tegas Sudibyo menyatakan, pemerintah sangat kurang memperhatikan soal pernaskahan kuno ini. ”Kalau bukan orang luar negeri ya pihak swasta Indonesia yang concern terhadap peninggalan kuno ini, seperti Hashim Djojohadikusumo dengan yayasan Assiri membantu pendanaan terselanggaranya simposium,” ujarnya.

Masih kuat anggapan di dalam masyarakat kita, bahkan juga kalangan intelektual dan pemerintah, naskah-naskah kuno itu tidak memberikan manfaat finansial yang langsung bisa dinikmati. Ini berbeda dengan pemahaman orang Barat. ”Betapa mereka menghargai akan kehidupan lampau untuk dipelajari dalam kehidupan kini. Kalau berbicara finansial, sikap orang Barat ini juga bisa mendatangkan keuntungan,” tuturnya.

Menurut Oman, karena tidak ada dana, persoalan perawatan lantas menjadi masalah. Perawatan juga menyangkut teknologi yang tidak sedikit membutuhkan dana.

Rendahnya kesadaran masyarakat, menurut Oman, juga menjadi kendala, bahkan termasuk kalangan istana (keraton) tentang arti penting naskah kuno. Tidak sedikit masyarakat yang terbentur persoalan ekonomi kemudian menjual atau tidak bisa merawat dengan baik naskah kuno yang dimilikinya.


Termuliakan

Kalau di dalam negeri naskah-naskah kuno terabaikan, lain dengan di luar negeri. Naskah-naskah dari Nusantara yang berada di sana justru termuliakan dengan tingkat perawatan yang memadai. Lebih dari 10.000 naskah Nusantara saat ini tersebar di luar negeri. Sekitar separuhnya berada di Belanda dan beberapa di lokasi lain, seperti perpustakaan di Inggris dan Perancis.

Menurut peneliti naskah dari Ecole Francaise d’Extreme-Orient (EFEO) Perancis, Henry Chambert Loir, meskipun berada di luar negeri, kondisi naskah-naskah tersebut terawat dengan baik.

”Ada yang perlu disyukuri karena naskah-naskah yang cukup tua tersebut terawat dan dibawa dengan sah, seperti dibeli dan sebagainya,” papar Henry di sela-sela penutupan simposium.

Selain itu, naskah yang rata-rata umurnya cukup tua itu, seperti dibuat pada abad ke-17 Masehi, dibawa ke luar negeri dengan cara-cara yang sah seperti dibeli. Ia juga mengakui kesadaran masyarakat di luar negeri cukup bagus terkait naskah-naskah kuno atau peninggalan sejarah lainnya. ”Kesadarannya tinggi, misalnya langsung diserahkan ke museum atau pemerintah,” katanya.

Simposium Internasional Ke-14 Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) ini, menurut Ketua Panitia Simposium Sudibyo, juga menghasilkan beberapa rekomendasi penting. Rekomendasi tersebut di antaranya masukan kepada pemerintah untuk mengubah beberapa nama monumen seperti Arjuna Wijaya di Jakarta.

”Mungkin seharusnya Arjuna Jaya. Karena itu bukan Arjuna Sasrabahu, tapi Pandawa. Nah, ini salah satu rekomendasi yang kita coba sampaikan di samping beberapa rekomendasi lainnya,” katanya. Ya, berangkat dari masa silam mencoba membenahi ketidakbenaran masa sekarang. (THOMAS PUDJO WIDIJANTO)


Tinggalkan komentar

Kategori