Oleh: hurahura | 16 Februari 2012

Penetapan Kawasan Cagar Budaya Mendesak

*Kawasan Situs Harus Masuk dalam Tata Ruang Wilayah

KOMPAS, Selasa, 14 Feb 2012 – Kerusakan sejumlah situs bersejarah di berbagai wilayah Indonesia antara lain disebabkan pemerintah lamban menetapkan status kawasan cagar budaya. Selain itu, dalam perencanaan tata ruang, keberadaan situs bersejarah sering kali diabaikan pemerintah dan pemerintah daerah.

”Karena itu, penetapan lingkungan di sekitar situs sebagai kawasan cagar budaya mendesak dilakukan untuk mencegah kerusakan akibat ulah manusia,” kata Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Junus Satrio Atmodjo, di Jakarta, Senin (13/2). Ia dimintai pendapat soal kerusakan sejumlah situs, seperti di Muaro Jambi, kanal kuno di Situs Banten Lama, dan berbagai situs lain.

Menurut Junus, pembangunan yang tidak menyertakan kawasan cagar budaya dalam rencana tata ruangnya telah menghancurkan situs-situs yang sangat berguna bagi ilmu pengetahuan.

”Selama ini, perlindungan terhadap situs hanya sekadar melindungi bendanya, tetapi tidak melindungi lingkungan di sekitar kawasan situs,” kata Junus yang juga ahli arkeologi konservasi.

Junus mencontohkan adanya temuan kanal-kanal kuno di Situs Banten Lama, Banten. Kanal-kanal yang dibangun sekitar abad ke-15 itu rusak akibat pembangunan irigasi yang dibangun dinas pekerjaan umum.

”Padahal, dari citra satelit, sudah ketahuan bahwa di areal persawahan itu ada kanal-kanal kuno yang masih dimanfaatkan warga. Seharusnya kanal itu bisa dimanfaatkan, bukan malah dihancurkan untuk membangun yang baru,” kata Junus.

Hal serupa terjadi pada situs bekas Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Selama berpuluh tahun, situs itu secara bertahap dihancurkan untuk kepentingan industri. Persis di atas lokasi yang dulunya pusat Kerajaan Sriwijaya kini dibangun pabrik.

Guru Besar Luar Biasa Departemen Arkeologi Universitas Indonesia Moendardjito mengatakan, Indonesia memiliki sejarah besar pada masa lalu. ”Namun, tanpa ada peninggalan dalam bentuk material, sejarah yang ditulis di buku-buku itu hanya menjadi dongeng belaka,” tutur Moendardjito.

Untuk kasus Situs Muaro Jambi, yang luasnya mencapai sekitar 2.600 hektar, saat ini rusak akibat berbagai aktivitas masyarakat, termasuk pertambangan dan perkebunan. Meski sudah ada keputusan menteri, tetap dianggap angin lalu. Padahal, dalam keputusan itu dinyatakan bahwa aktivitas masyarakat diperbolehkan asal tidak merusak situs.

Pemerintah pun tidak bersikap tegas terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi. Di sisi lain, klaim luas situs mencapai 2.600 hektar itu masih membutuhkan kajian teknis. (IND)


Tinggalkan komentar

Kategori