Oleh: hurahura | 5 Juli 2012

Peradaban Majapahit: Data dan Masalah Interpretasinya

Oleh: Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi FIB UI


I

Kerajaan Majapahit sekarang hanya tinggal bukti-bukti peninggalannya saja, ada yang berupa bukti arkeologis, berita dalam berbagai sumber tertulis (prasasti dan karya sastera) dan kisah-kisah lisan sebagai collective memory masyarakat di suatu wilayah di Jawa ataupun luar Jawa. Dalam perkembangan kerajaan tersebut banyak hal yang dihasilkan oleh masyarakatnya, terutama hal-hal yang dapat dipandang sebagai pencapaian-pencapaiannnya di ranah budaya. Beberapa pencapaian di bidang kebudayaan yang merupakan sisi positif kerapkali oleh para ahli dinamakan dengan peradaban (civilization).

Ralp Linton (1984) pernah menyatakan bahwa dalam kebudayaan di mana pun dan kapan pun terdapat hal yang disebut dengan covert culture dan overt culture. Bagian Covert culture merupakan kebudayaan yang tidak dapat dilihat secara langsung, berupa konsep-konsep, nilai atau norma, sedangkan overt culture adalah hasil kebudayaan yang bersifat fisik kebendaan atau juga perilaku individu-individu pendukung kebudayaan tersebut. Dalam pada itu perkembangan kebudayaan juga membawa dua sisi yang selalu ada, sisi positif dan sisi negatifnya. Kebudayaan yang dihasilkan oleh umat manusia tidak selalu bersifat positif, banyak juga yang justru merusak kehidupan manusia itu sendiri, namun pencapaian kebudayaan yang bersifat membawa kebajikan bagi masyarakat pendukung kebudayaan itulah yang seringkali dinamakan dengan civilization (peradaban). Secara jelas dinyatakan bahwa kebudayaan yang berkembang dalam proses evolusinya telah memiliki unsur-unsur yang maju dan tinggi, terutama dalam system kenegaraan, seni, teknologi, arsitektur, dan kesusastraan tertulis, demikian yang diutarakan oleh L.H.Morgan (1877). Secara lebih luas peradaban dirumuskan sebagai berikut:

  • “Bagian-bagian dan unsur-unsur dari kebudayaan yang halus, maju dan indah, seperti misalnya kesenian, ilmu pengetahuan, adat sopan santun pergaulan, kepandaian menulis, organisasi kenegaraan dan sebagainya. Istilah ‘peradaban’ sering juga dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks” (Koentjaraningrat 1985: 182).

Dengan menilik batasan tersebut dapat dikatakan bahwa kajian terhadap kebudayaan yang telah ada selama ini, sebenarnya membahas peradaban, hanya membahas kebudayaan dari sisi positifnya. Hingga sekarang masih terbatas kajian yang dilakukan terhadap wilayah negatif suatu perkembangan kebudayaan masyarakat di suatu wilayah. Tentu saja hal itu merupakan paradigma tersendiri yang harus dilakukan secara khusus pula, dan diharapkan di masa mendatang terdapat kajian sejenis itu.

Kembali kepada konsep peradaban yang dapat berkenaan dengan kebudayaan masa lalu maupun kebudayaan yang berkembang dewasa ini, bahwa bukti-bukti pencapaian di bidang kebudayaan dapat segera dilihat dan dipelajari, jika terjadi dalam lingkup kebudayaan sekarang, di waktu masyarakat pendukung kebudayaannya masih hidup. Akan susah kiranya jika kajian terhadap kebudayaan itu dilakukan terhadap masyarakat masa lalu yang telah tiada. Bukti peradaban tersebut tidaklah lengkap, kalaupun ada bentuknya fragmentaris, dari yang serpihan kecil itu sedikit saja yang dapat dipahami untuk dijelaskan dalam konteks kebudayaannya. Oleh karena itu kajian tentang pencapaian peradaban di masa silam niscaya tidak akan lengkap, tidak akan sempurna sebagaimana halnya kajian terhadap peradaban zaman sekarang. Tetap saja akan terdapat bagian-bagian yang rumpang dan gelap, dalam hal ini peneliti menjadi berperanan untuk melakukan analogi dan interpretasi, tentu saja suatu upaya analogi yang diiringi dengan tafsiran yang cukup memadai dari para penelitinya. Bukan analogi serampangan ataupun tafsiran imajinasi belaka.

II

Peradaban Majapahit dapat dipastikan pernah ada di masa silam, banyak kajian yang mengarah kepada pembuktian adanya peradaban tersebut. Masyarakat “inti Majapahit” yang berpusatkan di Jawa bagian timur adalah masyarakat etnik Jawa Kuno. Orang-orang Jawa Kuno dalam zaman Majapahit itu merupakan keturunan dari masa-masa sebelumnya dalam era Airlangga (abad ke-11), Kadiri (abad ke-12), dan Singhasari (abad ke-13). Mungkin juga mereka memiliki kesinambungan ke arah masa yang lebih tua, zaman perkembangan pusat kerajaan di wilayah Jawa bagian tengah, namun sementara ini belum ada bukti konkret yang mempertalikan langsung masyarakat Jawa Kuno dalam abad ke-8—10 di Jawa bagian tengah dengan masyarakat Jawa Kuno dalam kurun waktu sesudahnya di Jawa Timur.

Hal pertama yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat Majapahit tidak serta merta hadir dengan sendirinya dalam abad ke-14, lalu berkembang selama abad ke-15 dan runtuh dalam awal abad ke-16 M. Masyarakat Majapahit membawa kesinambungan sejarah dari masa-masa sebelumnya, minimal ketika pusat kerajaan telah berkembang di Jawa bagian timur.

Kedua tidak semua masyarakat Jawa Kuno yang hidup dalam era Majapahit terlibat dengan “peradaban Majapahit” yang merupakan the greater tradition. Tentunya ada sebagian masyarakat yang tidak turut campur atau tidak memahami secara intensif “peradaban Majapahit” yang sedang marak masa itu. Mereka adalah penduduk Majapahit yang tinggal di pelosok pedalaman yang sangat jauh dari pusat-pusat kekuasaan dan peradaban. Mereka ini sangat mungkin belum mengenal tulisan (non-literate society) yang hidup dalam sistem budaya bukan Hindu-Buddha yang dikembangkan oleh masyarakat kota, melainkan dalam sistem budaya ancestor worship dengan segala perniknya.

Masyarakat Majapahit yang terlibat langsung dalam the greater tradition pun tentunya terbagi lagi dalam berbagai golongan. Hal itu adalah bulir ketiga yang harus diperhatikan. Terbukti dalam uraian prasasti dan berbagai karya sastra terdapat pernyataan adanya caturwarna, walaupun ada pendapat bahwa hal itu hanya merupakan teori sebab kenyataannya tidak ketat dilaksanakan, namun tetap saja diperingati dalam sumber-sumber tertulis, jadi realitanya terdapat 4 warna (caturwarna) tersebut.

Bersamaan dengan berkembangnya kerajaan Majapahit dalam abad ke-14—15, di dunia umumnya dan juga Asia Tenggara khususnya telah berkembang atmosfir penjelajahan dan interaksi perdagangan yang meningkat antarkawasan. Dalam bulir keempat ini Majapahit harus dipandang sebagai salah satu segmen saja dalam sistem perdagangan di Nusantara. Kebetulan ia yang paling dominan, maka Majapahit merupakan salah satu segmen juga dalam interaksi niaga Asia Tenggara. Artinya pengaruh luar Jawa dan Asia Tenggara, hingga Cina telah hadir memperkaya peradaban Majapahit.

Demikianlah berdasarkan atas gambaran masyarakat Majapahit tersebut, terdapatlah sejumlah data yang berkenaan dengan Majapahit. Data yang berhubungan dengan masa Majapahit yang paling mudah untuk diamati, diukur, dan didokumentasi tentu saja bermacam peninggalan arkeologis yang masih bertahan hingga sekarang. Telah umum diketahui bahwa data arkeologis itu dapat berupa (a) monumen sakral, (b) arca, (c) relief (d) pecahan perabotan gerabah/keramik, (e) bagian bangunan profan, (f) fetur yang berupa saluran air, lorong air bawah tanah, “tempat sampah”, dan (g) lainnya.

Monumen sakral antara lain terdiri dari:

  1. Candi: Candi Jago, Panataran, Tegawangi, Bangkal, Kali Cilik, dan lainnya.
  2. Petirthaan: Tikus, Watu Gede, Banyu Biru, Panataran, dan lainnya.
  3. Goa Pertapaan: Selamangleng Tulungagung, Pasir, Tritis, dan lainnya.
  4. Pintu Gerbang: Jedong A & B, Wringin Lawang, Bajang Ratu, dan Dermo
  5. Punden berundak: puluhan punden berundak di Gunung Penanggungan dan Arjuno
  6. Candi Batur: Candi Kotes, Rambut Monte, Miri Gambar, Bhayalango, dan lainnya.

Arca-arca dirinci menjadi:

  1. Arca-arca dewa: arca-arca yang sepenuhnya menggambarkan dewata seperti “Reco Penganten” yang menggambarkan Siwa dan Parwati dari Tulungagung.
  2. Arca perwujudan: adalah arca-arca beratribut dewa namun digambarkan tanpa dinamika seperti orang orang yang telah meninggal, misalnya arca-arca perwujudan yang dilengkapi dengan garis-garis sinar Majapahit.
  3. Arca tokoh manusia, sangat jarang namun dijumpai pula, umumnya tokoh pendeta atau kaum agamawan.

Relief terdiri dari:

  1. Relief cerita yang masih berada di dinding bangunan suci, misalnya relief cerita Ramayana di Candi Induk Panataran, relief Parthayajna di Candi Jago, dan relief Sudhamala di Candi Tegawangi.
  2. Relief hias yang masih terletak di bagian bangunan tertentu, misalnya relief Hare yang terdapat di bagian kaki Candi Sanggrahan, suluran raya di pipi tangga Candi Jago, dan relief sulur-suluran di bingkai atas pendopo teras II Candi Panataran.
  3. Relief cerita atau hias yang sudah terlepas dari konteks bangunannya, misalnya relief yang menggambarkan keadaan kompleks bangunan, alam lingkungan, dan tokoh-tokoh yang sekarang disimpan di Pusat Informasi Majapahit.

Mengenai pecahan benda-benda terakota, gerabah, dan keramik banyak dijumpai di berbagai situs masa Majapahit, baik yang berupa situs bangunan suci ataupun situs lainnya. Pecahan benda terakota, wadah pecah belah dan keramik Cina paling banyak didapatkan di situs Trowulan yang dikenal sebagai situs bekas kota kerajaan Majapahit. Melalui kajian terhadap fragmen terakota dapat ditafsirkan bermacam bentuk aktivitas yang berkenaan dengan pecahan benda-benda terakota yang berhasil direkonstruksi tersebut.

Bagian bangunan yang umum dijumpai adalah batu-batu umpak yang terdapat di bawah tiang. Batu umpak berfungsi sebagai alas tiang yang menopang struktur bangunan besar. Hal itu dapat dilihat dari ukuran batu umpaknya, jika batu umpak itu besar maka tiang yang berdiri di permukaan batu itu pun besar. Apabila batu umpak tersebut berhias relief, sangat mungkin bangunan yang menggunakannya dahulu merupakan bangunan penting, bangunan milik bangsawan, atau kerabat raja.

Selain batu umpak, di situs Trowulan juga dijumpai hamparan jubin segi 6 yang dijumpai hanya sebagian dalam kotak galian. Hal itu menujukkan adanya bentuk rumah yang lantainya “sudah mendarat” di tanah, sementara tafsiran bahwa rumah yang menggunakan jubin segi 6 di Trowulan itu adalah milik bangsawan atau bagian dari keraton. Selain jubin juga dijumpai bagian pentup atap bangunan seperti genting pipih yang bentuknya seperti sirap, ukel (hiasan di sudut bubungan atap), balok-balok batu memanjang sisa anak tangga, dan sebagainya.

Data fetur yang sangat menyita perhatian para ahli arkeologi yang menelaah zaman Majapahit adalah hadirnya jalur-jalur “kanal” di situs Trowulan. Jaringan “kanal” itu saling memotong mengarah ke utara-selatan membentuk sumbu X-Y, ada juga beberapa “kanal” yang mengarah ke mata angin sekunder. “Kanal-kanal” itu mempunyai kelebaran dan kedalaman yang bervariasi, mungkin aslinya tidak demikian, namun karena aktivitas pertanian maka kelebaran dan kedalaman kanal itu lalu menjadi bertambah.

Di dekat situs Candi Surawana Kediri juga dijumpai sumur-sumur kuna dengan kedalaman sekitar 7 m. Hal yang menarik adalah bahwa antara sumur-sumur yang menukik dalam menembus tanah itu terdapat saluran air bawah tanah (tunnel) yang saling menghubungkan sumur. Di lorong air itu dapat dimasuki oleh orang dewasa dengan badan yang agak dibungkukkan, di beberapa tempat di dalam tunnel itu terdapat rongga yang lebih lebar dan tinggi, membuat orang yang memasukinya dapat menegakkan badannya, sejenak beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan menyusuri tunnel itu hingga muncul ke sumur berikutnya. Di beberapa tempat dalam lorong air bawah tanah itu terdapat percabangan menghala ke arah lainnya, dengan demikian terciptalah jaringan lorong bawah tanah yang cukup luar biasa dalam masanya. Menilik struktur bata yang memperkuat dinding lorong di beberapa tempat, terutama di ruang besar tempat istirahat, dapat diketahui bahwa lorong itu mungkin dibuat dalam era Majapahit, sebab bentuk, ukuran, dan jenis bahannya serupa dengan bata-bata zaman majapahit yang terdapat di situs Trowulan.

Demikian beberapa macam data arkeologis yang umumnya menjadi bahan kajian arkeolog apabila menelaah peradaban masa Majapahit. Sebenarnya masih banyak data lainnya yang belum dapat diketahui secara pasti jenisnya, namun yang jelas merupakan artefak fisik yang bersifat artifisial.

Selain data kebendaan terdapat juga data lain yang juga penting, yaitu sumber-sumber tertulis. Sumber tertulis yang dipandang penting, bersifat otentik, ditulis dalam masa sezaman dengan peristiwanya, adalah prasasti. Prasasti tertua yang berhubungan dengan kerajaan Majapahit adalah Prasasti Kudadu ditorehkan pada lempeng-lepeng tembaga, bertarikh 1216 Saka (1294 M) yang dikeluarkan oleh raja pertama Majapahit Krtarajasa Jayawardhana, dari raja yang sama dikeluarkan juga Prasasti Sukamerta (1296 M) dan Balawi (1305). Uraian mengenai sepak terjang raja pertama pendiri Majapahit tersebut diuraikan secara panjang lebar dalam kitab Pararaton dan Kidung Harsyawijaya dengan julukan Raden Wijaya.

Raja Jayanagara mengeluarkan prasasti penting, yaitu Tuhanyaru yang berkronologi 1245 Saka (1323 M), isinya antara lain perihal perumpamaan raja dan para mentrinya sebagaimana halnya sistem bangunan suci. Prasasti lainnya ditemukan di daerah Blitar oleh karena itu dinamakan Prasasti Blitar yang bertarikh 1246 Saka (1324 M).

Masa pemerintahan Ratu Tribhuwanottuggadewi Jayawisnuwarddhani menerbitkan prasasti antara lain: Prasasti Geneng, batu, masih di lokasinya di daerah Blitar berangka tahun 1251 Saka (1329 M), Prasasti Palungan, batu, di Museum Nasional, berangka tahun 1252 Saka (1330 M), dan prasasti Kandangan, batu, bertarikh 1272 Saka (1350 M), pada tahun yang sama ia mengundurkan diri dari tahta dan Majapahit selanjutnya diperintah oleh Rajasanagara (1350—1389 M)

Masa Hayam Wuruk banyak prasasti yang diterbitkan, antara lain Prasasti Gajah Mada, batu, di Museum Nasional bertarikh 1273 Saka (1351 M). Walaupun terbit atas nama Mpu Mada, namun dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Berturut-turut menyusul Prasasti Canggu, lempeng tembaga, 1280 Saka (1358 M); Prasasti Biluluk, tembaga, tahun 1288 Saka (1366 M); Prasasti Bungur (Gedangan), tembaga, tahun 1289 Saka (1367 M); Prasasti Ambetra, tembaga, tahun 1295 Saka (1373 M), Prasasti batu Gadang, di Museum Pusat Jakarta, bertarikh 1385/1386 M, dan lainnya lagi.

Dalam masa pemerintahan raja-raja pengganti Hayam Wuruk juga banyak dikeluarkan prasasti. Beberapa prasasti penting antara lain Prasasti Selamandi, lempeng tembaga, tahun 1316 Saka (1395 M); Prasasti Waringin Pitu, lempeng tembaga, tahun 1369 Saka (1447 M); Prasasti Pamintihan (Sendang Sedati), lempeng tembaga, tahun 1395 S (1473 M); dan Prasasti Jiyu, batu, tahun 1408 S (1486 M).

Selain sumber data tertulis berupa prasasti, terdapat pula sumber data lainnya yang berupa karya sastra. Mengenai karya sastra sebagai sumber tertulis bagi kajian peradaban Majapahit, sebenarnya dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:

  1. Karya sastra yang memuat data utama kajian Majapahit
  2. Karya sastra yang mengandung data pendukung

Ad 1. Karya sastra yang memuat data utama kajian Majapahit, termasuk ke dalam jenis ini adalah kakawin Nagarakrtagama dan serat Pararaton yang memuat uraian sejarah dan aspek-aspek kebudayaan sezaman. Dari masa yang agak muda terdapat sejumlah sastra kidung yang settingnya tentang Majapahit pula, misalnya kidung Sunda, Harsyawijaya, Ranggalawe, dan Sorandaka. Walaupun nillai historisnya perlu dicermati secara hati-hati, namun kidung-kidung juga merupakan sumber data tentang Majapahit.

Ad.2 Karya sastra jenis ini uraian kisahnya bukan tentang peristiwa-peristiwa dalam zaman Majapahit, namun merupakan gubahan para pujangga Majapahit yang mengacu kepada cerita-cerita India. Termasuk ke dalam kelompok ini adalah kakawin Sutasoma, Arjunawijaya,Kunjarakarna, Siwaratrikalpa, dan kisah-kisah Panji. Jenis kidung yang juga masuk dalam kelompok ini antara lain Sudhamala dan Sri Tanjung,

Apabila penelisikan tentang peradaban majapahit hendak dilakukan secara seksama, sebenarnya cukup banyak data yang tersedia. Hanya saja sebagaimana hakekat data arkeologi yang sifatnya terbatas, maka tafsiran-tafsirannya pun niscaya tidak akan sempurna. Ketidaksempurnaan itu dikarenakan beberapa sebab yang akan diuraikan di bagian berikut.

III

Dalam melakukan tafsiran terhadap data arkeologi terdapat beberapa kondisi yang dihadapi oleh para peneliti. Hal itu akan membawa kepada hasil interpretasi dan kesimpulan yang berbeda-beda dari suatu kajian. Apabila data yang dijadikan bahan kajian cukup tersedia, instrumen metodologinya memadai, dan juga penelitinya sendiri mampu untuk melakukan interpretasi dengan dukungan seperangkat pengetahuan dan pengalaman ilmiahnya, maka penelitian itu akan menghasilkan sesuatu yang berharga dan sesuai dengan harapan semula. Sebaliknya jika data, metodologi, dan kemampuan si peneliti sendiri kurang, maka hasilnya akan tidak memuaskan.

Pernah dikemukakan bahwa terdapat 3 kondisi dalam kaitan antara kajian data arkeologi dan data Filologi. Keadaan itu adalah (a) apabila kedua data itu jelas dan saling mendukung, hasil kajian cenderung memuaskan dalam lingkup arkeologi-sejarah, (b) jika hanya data arkeologi saja yang jelas, dan tidak didukung data filologi, hasil kajian merupakan tafsiran-tafsiran arkeologis, (c) jika arkeolog mengetahui terdapat data filoliogis, namun dengan data arkeologis di lapangan belum ada kesesuaian (Munandar 2004: 22—24). Selanjutnya apa bila hubungan antara peneliti, data arkeologi, sumber tertulis, dan kemampuan peneliti untuk menghasilkan interpretasi kajian digambarkan dalam bagan-bagan, terlihat sebagai berikut:


Kondisi seperti terlihat dalam bagan A itu merupakan penelitian ideal yang menyenangkan bagi si peneliti (arkeolog). Akan tetapi keadaan seperti itu sangat jarang terjadi.


Dalam bagan B terbayangkan terjadi apabila si arkeolog hanya menghadapi data arkeologi saja. Dukungan sumber tertulis tidak ada atau sangat minim, sehingga tafsiran yang ada pun lebih berdasarkan kepada kajian arkeologi semata-mata.


Bagan C memperlihatkan jika seorang arkeolog mengetahui data berdasarkan sumber tertulis, misalnya dari uraian kakawin Nagarakrtagama, namun belum ada kecocokan dengan penelitian di lapangan.


Adapun Bagan D memperlihatkan jika seorang peneliti yang kurang siap melakukan penelitian di lapangan atau situs tertentu. Secara memadai ia tidak dilengkapi dengan perangankat teori, metode penelitian situs, wawasan tentang suatu situs masih terbatas, dan informasi yang dimilikinya tentang situs tersebut pun sangat sedikit. Dengan demikian walaupun ia memiliki data arkeologi cukup kaya, didukung data sumber tertulis yang berlimpah, namun jika bekal kognisi si peneliti terbatas, maka hasil interpretasinya pun tidak memuaskan.

IV

Pada dasarnya dalam kajian arkeologi terdapat semacam axioma bahwa apa yang merupakan data arkeologi, tidak semua dapat digunakan dalam penelitian, ada yang dipakai ada yang ditinggalkan. Lalu data yang terpakai itu tidak semua sesuai dengan maksud kajian tertentu, ada yang tidak sesuai terpaksa harus diabaikan. Tahap selanjutnya data terpilih yang sesuai dengan maksud kajian tertentu tidak semua dapat dipahami, ada juga yang tidak dapat dipahami, dan terakhir apa dapat dipahami itu ada yang mungkin berguna, ada juga yang tiada berguna.

Jadi penelitian arkeologi yang sangat bersandarkan kepada data itu sebenarnya bersandarkan pada sejumlah data yang terbatas, apa yang menjadi ranah kajian arkeologi sebenarnya wilayah sempit yang sangat memerlukan kepiawaian penelitinya sendiri. Apabila penelitinya tidak cermat, tidak mampu melakukan komparasi, dan tidak mempunyai wawasan luas perihal fenomena arkeologi sejenis di situs lain, niscaya penelitian arkeologi akan kering dan dangkal.

Jika kajian arkeologi dikembalikan kepada pendapat Linton yang menyatakan adanya covert culture dan overt culture, konsep budaya seperti itu niscaya sukar diterapkan. Kajian tentang masa lalu sebenarnya kajian yang relatif jauh dari kebenaran, apalagi masa lalu yang cukup jauh di belakang masa sekarang, hampir semua kajian itu menjadi “tertutup kabut” lapisan zaman yang menutupinya. Apa yang ditemukan arkeolog sebagai suatu overt culture dari peradaban Majapahit, sejatinya tidaklah demikian, sebab apa yang dimaksud dengan overt culture arkeologi berbeda dengan yang dimaksud Linton. Temuan arkeologi sangat perlu penanganan secara khusus.


PUSTAKA ACUAN

KOENTJARANINGRAT, 1985a, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

——————————, 1985b, “Persepsi tentang Kebudayaan Nasional”, dalam Alfian (editor), Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Halaman 99—141.

LINTON, RALPH, 1984, The Study of Man (Antropologi: Suatu Penyelidikan tentang Manusia), diterjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Firmansyah. Bandung: Jemmars.

MUNANDAR, AGUS ARIS, 2004, Sang Tohaan, Persembahan Untuk Prof. Dr.Ayatrohaedi. Beberapa Kajian Pernaskahan dari Perspektif Arkeologi. Bogor: Akademia.

NAKADA, KOZO, 1982, An Inventory of The Dated Inscriptions in Java. Tokyo: The Toyo Bunko.


Tinggalkan komentar

Kategori