Oleh: hurahura | 9 Februari 2014

”Kota Tua” di Balik Bukit

Situs Muara JambiKOMPAS/HERU SRI KUMORO

Pengunjung melihat Candi Gumpung di kompleks Candi Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Desember lalu.

Kompas, Sabtu, 8 Februari 2014 – Sejak dulu, bukit-bukit kecil yang menjulang kerap mengundang tanya. Salma (80), warga Desa Muaro Jambi, Kecamatan Maro Sebo, Muaro Jambi, Provinsi Jambi, pernah meyakini ada sesuatu yang tersembunyi. Keyakinannya itu benar. Akhirnya, gundukan yang dikelilingi kebun duku dan durian miliknya menyingkap sebuah ”kota tua”.

”Bukit-bukit itu kami sebut menapo (tumpukan bata yang membentuk struktur candi),” ujar Salma, saat mengenang bukit-bukit kecil tersebut pada akhir Januari lalu. Rahasia bukit kecil terungkap setelah Salma menikah dan punya anak. Pada 1970-an, sejumlah petugas arkeologi dari Jakarta mengupas dan memugar gundukan besar dan luas yang tak jauh dari kebunnya di Desa Muaro Jambi.

Hasilnya, bangunan bata megah berukuran 17 meter x 17 meter, yang dinamai Candi Gumpung, berdiri. Rangkaian pemugaran terus berlanjut hingga menjadi kompleks Candi Muaro Jambi yang terdiri dari Candi Gumpung, Candi Tinggi, Astano, Kembar Batu, Kedaton, Koto Mahligai, dan Teluk. Namun, tak semua candi utuh. Kompleks candi ini terletak sekitar 35 kilometer sebelah utara Kota Jambi. ”Ternyata benar, ada banyak candi di desa kami. Tidak sia-sia kami menjaganya selama ini,” ujarnya.

Selama ini, masyarakat Desa Muaro Jambi sangat menjaganya hingga kemegahan di balik bukit kecil itu tersingkap. Suatu kali, Salma mencangkul hingga kedalaman 1 meter. Tiba-tiba ia mendapat patung perunggu berbentuk anjing di dekat salah satu menapo. Tak hanya itu. Beberapa kali Salma menemukan uang kuno berbentuk koin dengan lubang di tengahnya. Gerabah dan pecahannya juga diperolehnya saat berkebun.

Pelestarian Cagar BudayaKOMPAS/IRMA TAMBUNAN

Candi Gumpung merupakan bagian dari Kawasan Cagar Budaya Muaro Jambi yang dicalonkan sebagai warisan dunia atau world heritage. Situs ini memerlukan pelestarian yang terpadu dengan masyarakat, lingkungan, dan budaya setempat.

Bata-bata tua yang tercecer di antara menapo ditatanya kembali. Tak jarang, jika kelelahan berkebun, Salma tertidur. Ia juga selalu mengingat pesan orangtua untuk tidak bertindak gegabah, seperti buang air kecil, meludah, dan bertindak atau berucap tak senonoh di sekitar menapo. ”Bukan karena percaya mistis. Orangtua kami yakin menapo-menapo itu adalah peninggalan suci pada masa lalu. Harus dihormati,” ujarnya.

Penghormatan masyarakat selama turun-temurun terhadap menapo dinilai kalangan arkeolog sebagai bentuk pelestarian terhadap situs. Itu sebabnya di hamparan seluas 3.100 hektar di sepanjang tepian Sungai Batanghari, ratusan candi dan menapo yang tertimbun tanah nyaris tak terganggu.

Sejak awal, upaya rekonstruksi sejarah mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Puluhan warga bahkan terlibat saat proses ekskavasi dan pemugaran. Setelah proyek selesai, mereka bergantian menjaga dan memelihara situs.


Kekaguman dunia

Kemegahan Muaro Jambi dalam kuatnya ikatan dengan masyarakat lokal mengundang kekaguman dunia. Kawasan tersebut berpeluang menjadi warisan budaya dunia. Muaro Jambi ternyata 20 kali lebih luas daripada Candi Borobudur di Jawa Tengah dan dua kali lebih luas daripada kompleks Candi Angkor Wat di Kamboja. Kompleks Candi Muaro Jambi pun sempat disebut sebagai kawasan candi terluas di Asia Tenggara.

Tak heran jika Prof Masanori Nagaoka, Programme Specialist for Culture UNESCO, saat mengunjungi Muaro Jambi empat tahun silam, mengagumi kompleks ini. ”Situs itu masih sangat asli,” katanya.

Keberadaan candi-candi di kawasan tersebut tetap asri meski dipugar para arkeolog. Kondisi bangunan dan lingkungannya relatif terawat dan memberikan kesan hubungan harmonis antara masyarakat dan situs. ”Saya belum melihat potensi yang dapat menjadikan situs ini gagal sebagai warisan dunia,” kata Masanori dalam catatan komentarnya.

Singkat kata, di kawasan tersebut, manusia, lingkungan, dan budaya tetap terjaga orisinalitasnya sehingga Muaro Jambi masih tampak seperti masa kejayaannya pada abad VII hingga XIV atau pada masa Melayu Kuno. Bahkan, saat pembangunan pabrik karet dan sawit serta penimbunan batubara marak tiga-empat tahun terakhir, hanya sebagian kecil menapo yang tergerus atau tertimbun genangan logam batubara.

”Hingga kini, masyarakat masih memegang nilai-nilai lama dan filosofi yang menjaga keaslian situs,” ujar Abdul Hafiz, Ketua Dwarapalamuja, lembaga pelestari situs Muaro Jambi, yang juga pemandu wisata di situs Muaro Jambi.

Muaro Jambi juga merupakan universitas bagi ribuan biksu. Mereka tidak hanya datang untuk mendalami agama, tetapi juga ilmu kedokteran, logika, filosofi, dan tata bahasa. Lana Atisya adalah salah seorang biksu muda asal India yang bersekolah di Muaro Jambi selama 12 tahun sebelum kembali ke India. Ada juga Pendeta I-Tsing asal China yang membuat catatan saat singgah. ”Ribuan orang belajar dalam bangunan bertembok. Masyarakatnya ikut menyiapkan makanan dan ikut belajar. Keharmonisan tumbuh di Muaro Jambi,” tulis Masanori.


Ibu kota Melayu

Di bukunya mengenai naskah Melayu tertua, ahli filologi Uli Kozok menyatakan, Muaro Jambi selama berabad-abad pernah menjadi ibu kota Melayu. Peneliti Belanda, Schnitger, menyebut bangunan Muaro Jambi sebagai bagian dari sebuah kota yang besar. Situs ini juga tak kalah dengan Muara Takus di Riau, Padanglawas di Sumatera Utara, atau Bumiayu di Sumatera Selatan. Demikian pula McKinnon yang menilai Muaro Jambi merupakan situs terbesar di Sumatera.

Winston Mambo, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Jambi, membenarkan hal itu. ”Kompleks candi ini memang sangat megah,” ujarnya. (Irma Tambunan)


Tanggapan

  1. Reblogged this on eman salawe.

  2. ternyata di jambi ada candi jg ya


Tinggalkan komentar

Kategori