Oleh: hurahura | 9 September 2011

Dokter Jawa dan Kaum Nasionalis

Warta Kota, Kamis, 8 September 2011 – Keputusan pemerintah kolonial mendirikan sekolah kedokteran STOVIA tahun 1875 sebenarnya tidak cocok dengan beleid kolonialisme Belanda pada umumnya. STOVIA adalah bentuk campur tangan langsung Batavia dalam bidang pendidikan calon dokter.

Liesbeth Hesselink, seorang sejarawan Belanda, pernah meneliti hal demikian. Menurut Radio Nederland Siaran Indonesia, hasil penelitian Hesselink itu diterbitkan menjadi sebuah buku tentang Dokter Jawa dan politik kesehatan kolonial Hindia Belanda dari tahun 1850 sampai 1915. Buku ini merupakan disertasinya untuk memperoleh gelar doktor dalam ilmu sejarah pada Universiteit van Amsterdam. Menurut Hesselink, ada keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan para dokter Jawa bersikap nasionalis. Salah satunya adalah perbedaan tingkat gaji antara dokter Jawa dengan dokter Eropa.

Mengapa dokter Jawa digaji lebih rendah dari dokter Belanda? Hesselink menegaskan, waktu itu orang berpendapat, orang Eropa butuh uang lebih banyak ketimbang orang Indonesia. Lagi pula, orang-orang Indonesia yang menjalani pendidikan dokter di Belanda, tidak banyak jumlahnya. Karena itu mereka mendapat pekerjaan dan gaji yang sama dengan dokter Belanda. Tetapi mereka tidak ditempatkan di Jawa, melainkan harus ke Banda, Papua, dan tempat-tempat terpencil lain.

Ini dianggap sebagai diskriminasi dan menyebabkan ketegangan. Ketegangan itu menyebabkan lulusan STOVIA menjadi nasionalis. Para dokter Jawa ini kemudian mendirikan Boedi Oetomo, organisasi pribumi pertama di Hindia Belanda. Mereka melakukan protes dengan sopan. Hal ini karena ketika berada di Belanda, mereka tidak mengalami diskriminasi dibandingkan dengan ketika mereka kembali ke kampung halaman.

Mereka mendirikan organisasi untuk memperbaiki posisi mereka dan memperjuangkan kepentingan mereka. Mereka menempuh jalan yuridis untuk memperoleh persamaan hak dengan dokter Belanda, misalnya menulis surat permohonan untuk menjadi penilik kesehatan. Kalau ditolak, mereka terus mengirim surat lagi. Dengan cara inilah mereka berupaya memperoleh persamaan hak dengan dokter Belanda.

Upaya tersebut boleh dikatakan sia-sia, karena sampai menjelang Perang Dunia II, perbedaan tingkat gaji itu masih tetap ada. Tak pelak lagi, perbedaan dan diskriminasi terhadap inlanders atau pribumi memang merupakan jantung kolonialisme.

Menariknya berkat pendidikan dokter Jawa STOVIA, maka lahirlah kalangan nasionalis yang justru berjuang menuntut kemerdekaan Indonesia. Ternyata, menurut Hesselink, dengan membuka pendidikan Dokter Jawa, pemerintah kolonial Hindia Belanda telah menggali lubang kubur sendiri bagi kolonialisme mereka di Indonesia. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Tinggalkan komentar

Kategori