Oleh: hurahura | 22 Desember 2012

Samarang NIS, Stasiun Tertua di Indonesia

Tjahjono-4Stasiun Samarang NIS (Koleksi Museum Tropen)

Siang itu begitu terik, matahari terasa menyengat kepala. Sementara genangan air akibat rob dan curah hujan malam sebelumnya, masih terlihat membasahi Jalan Ronggowarsito setinggi mata kaki. Wilayah ini memang terletak tidak jauh dari garis pantai Semarang atau satu kilometeran dari Stasiun Tawang. Meskipun begitu, sekelompok peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional (Pusarnas), dibantu peneliti lintas ilmu dan lintas kota, tetap saja menyusuri lorong-lorong sempit di antara rumah-rumah kumuh di Kampung Sporland.

“Ini bekas stasiun lama Samarang NIS,” kata Tjahjono Rahardjo, penggila kereta dari Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) yang juga dosen di Unika Soegijapranata Semarang. NIS merupakan singkatan dari Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij, sebuah perusahaan swasta yang pertama kali membangun jaringan kereta api di Semarang pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Stasiun Samarang NIS merupakan stasiun tertua di Semarang, juga tertua di Indonesia. Stasiun itu mulai dibangun tanggal 16 Juni 1864, ditandai dengan pencangkulan pertama oleh Gubernur Jendral Baron Sloet van de Beele. Pembangunan jalur itu melalui besluit nomor 1 tahun 1862, sementara pembebasan tanahnya berdasarkan staatsblad nomor 135 tahun 1865 yang diperbarui lagi dengan staatsblad nomor 132 tahun 1866. Peluncuran kereta dilakukan tanggal 10 Agustus 1867, merentang sepanjang 25 kilometer dari Semarang ke Tanggung melalui Halte Alastua dan Brumbung.


Stasiun Tambaksari

Menurut sumber lain, stasiun tertua di Semarang bernama Tambaksari. Identifikasinya mirip Stasiun Semarang NIS, misalnya terletak sekitar satu kilometer dari Kota Lama dan tidak jauh dari pelabuhan.

Bahkan ada sumber yang menyebutkan bahwa stasiun pertama di Semarang bernama Kemijen. Stasiun itu terletak di dekat persilangan jalur rel milik NIS dan SJS (Samarang Joana Stoomtram Maatschappij). Oleh sementara orang Stasiun Kemijen sering kali disamakan dengan Stasiun Samarang Gudang, yang sampai sekarang masih terlihat sisa-sisanya meskipun sudah dikepung air.

Pusarnas-cooltextYang menjadi pertanyaan, di mana sebenarnya lokasi yang tepat dari stasiun tertua itu? Apakah benar bernama Samarang NIS, Tambaksari, ataukah Kemijen? Sayang saat ini sisa-sisa bangunan stasiun sulit dilacak. Kendati demikian, jejak bangunan stasiun masih terekam di peta Semarang tahun 1866. Stasiun pertama itu disebutkan dengan nama berbeda. Uniknya, Stasiun Tambaksari, Stasiun Kemijen, dan Stasiun Samarang NIS itu sama-sama terletak di wilayah yang dulunya disebut Tambaksari, sekarang Kelurahan Kemijen.

Namun nama Stasiun Kemijen diragukan Tjahjono. Mungkin, katanya, penyebutan ini salah kaprah dari nama Halte Kemijen yang dibangun oleh perusahaan SJS. Halte ini kecil dan terbuat dari kayu, terletak tidak jauh dari Stasiun Samarang NIS. Halte Kemijen berada pada jalur Semarang-Demak. Jalur itu berhenti operasi tahun 1986. Bahkan, menurut sejumlah pensiunan pegawai kereta api, Stasiun Kemijen lebih mirip rumah sinyal.


Amblas

Semua bangunan yang terletak di gang sempit di RT 2 RW 3 Kelurahan Kemijen, rata-rata telah amblas sekitar tiga meter. Genteng yang tadinya tidak mudah disentuh orang, kini justru tingginya lebih rendah daripada orang dewasa. “Bangunan di sini mulai amblas sekitar tahun 1990-an,” kata Ramelan (84), pensiunan pegawai kereta api. Padahal, itulah sisa-sisa bangunan stasiun tertua.

Ramelan sendiri tinggal di situ sejak zaman penjajahan Jepang. Karena itu kawasan RW 3 Kelurahan Kemijen ini juga dinamakan Kampung Sporland, salah kaprah dari Spoorlaan (jalan kereta api). “Dulu stasiun digunakan untuk KA barang dan KA penumpang. Sejak Jepang masuk ke Indonesia, stasiun tidak difungsikan lagi. Malah dihuni oleh para pensiunan pegawai KA,” jelas Ramelan.

Sebenarnya dulu pemerintah Hindia Belanda membangun beberapa kincir angin di sekitar pantai untuk menyedot air. Namun, entah sejak kapan, kincir-kincir tersebut justru rusak oleh air laut. Kini sisa-sisa kincir susah dilacak. Karena ketiadaan kincir itulah, sedikit demi sedikit tanah-tanah di sekitar pantai mulai amblas.

Masnohadi (75), mantan kondektur KA mengatakan, dia menghuni salah satu bangunan di sana sejak 1953. Hampir setiap lima tahun dia merombak bangunan tersebut sehingga hanya menyisakan sedikit ciri fisik sebuah stasiun. Beberapa lubang ventilasi di dalam rumah ini, dirombak agar angin yang masuk tidak terlalu besar.

Tak jauh dari lorong, menurut Ramelan, belasan tahun yang lalu masih tampak sisa-sisa rel. Namun sekarang, seperti halnya rumah-rumah warga, keberadaan rel sudah di dalam tanah. Para arkeolog tidak mungkin melakukan ekskavasi karena padat dan sempitnya ruangan di lahan tersebut. Untuk mendapatkan artefak-artefak lain juga sulit sekali karena sudah dijarahi masyarakat.


Yakin

Beberapa komponen bangunan jelas mencirikan peninggalan lama. Tjahjono semakin yakin bahwa itulah sisa-sisa bangunan stasiun pertama. “Dari hasil pengamatan saya dan dibandingkan dengan foto-foto lama koleksi Koninklijk Instituut voor Taal- Land- en Volkenkunde (KITLV), terdapat ciri yang cukup unik pada bangunan yang diduga bekas stasiun itu. Yang sangat membantu adalah koleksi foto JA Meesen yang menyebutkan, “…het eerste station van de Nederlandsch Indische Spoorwegmaatschappij, gebouwd 1867 (…stasiun pertama NIS dibangun tahun 1867),” kata Tjahjono. Ornamen-ornamen tersebut berupa tiang penyangga, besi lengkung, ventilasi berbentuk lingkaran, dan pintu yang melengkung di bagian atasnya.

Tjahjono-3Sisa-sisa besi lengkung sesuai dengan foto lama (Koleksi Tjahjono Rahardjo)

Dari sinilah Tjahjono menyimpulkan bahwa Stasiun Samarang NIS merupakan stasiun tertua sekaligus pertama di Indonesia. Menurut peta-peta lama yang ditumpangkan pada foto satelit Google Earth, hasilnya menunjukkan bahwa stasiun itu terletak di ujung jalan Ronggowarsito (Spoorlaan).

Penelitian arkeologi melalui Tekskavasi (ekskavasi melalui teks dan peta) juga menguatkan pendapat Tjahjono. Pendekatan yang digunakan adalah arkeologi sejarah (historical archaeology). Menurut Sonny Wibisono, arkeolog Pusarnas yang menjadi ketua tim, penelitian seperti ini masih tergolong baru di Indonesia. “Tekskavasi masih memungkinkan untuk masa lalu yang tidak terlalu jauh dari masa kini,” kata Sonny.

Stasiun Samarang NIS adalah stasiun ujung (terminus, kopstation) berbentuk U. Satu sayap adalah gudang barang, sedangkan sayap yang lain stasiun penumpang. Pada masa kemudian Stasiun Samarang NIS dirobohkan untuk memasang rel menuju ke Stasiun Tawang. Bangunan yang tersisa hanya gudang barang sehingga dikenal sebagai Stasiun Samarang Gudang.

Stasiun ini merupakan stasiun gudang terbesar. Pada awalnya stasiun ini terdiri atas delapan jalur dan berdekatan dengan Stasiun Kemijen. Setelah banjir rob melanda daerah ini, maka Stasiun Semarang Gudang lambat laun tidak difungsikan. Menurut informasi warga, pada tahun 1978 di sebelah selatan bangunan Semarang Gudang berderet beberapa lintasan rel yang masih digunakan. Terakhir jalur Samarang Gudang ke pelabuhan dipakai tahun 1985. Stasiun ini terakhir beroperasi pada tahun 2008.

Stasiun Samarang NIS didirikan karena pemerintah kolonial Belanda membutuhkan jalur dan sarana transportasi yang cepat, masal, dan efisien untuk mengangkut hasil perkebunan seperti kopi, tembakau, teh, dan gula. Juga hasil hutan seperti kayu jati. Ketika itu usaha perkebunan dan hasil bumi mulai berkembang pesat di daerah pedalaman. Sebelum ada kereta, komoditas dagang itu diangkut dengan pedati. (Djulianto Susantio)

Kmj-1Bagian dari bangunan stasiun sudah amblas sekitar tiga meter

Kmj-2Stasiun Samarang Gudang sekitar 300 meter dari Stasiun Samarang NIS selalu tergenang rob


Tinggalkan komentar

Kategori