Oleh: hurahura | 8 Maret 2016

Gunung Padang, Mitos Pseudosain, dan Karya Tulis

Daud-arisDr. Daud Aris Tanudirdjo, M.A. (Foto: ugm.ac.id)

Sokal (2004) menunjukkan bahwa postmodernisme merupakan penolakan eksplisit terhadap rasionalitas Masa Pencerahan, melalui wacana atau diskursus teoritikal atau bukan pada ranah pengujian data empiris, tetapi lebih berlandaskan pada anggapan relativisme budaya dan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan sain dianggap tidak berbeda dengan narasi, mitos atau konstruksi sosial lainnya.

“Kebenaran” tergantung pada kelompok sosial, sehingga lebih dinilai secara moral atau etik daripada data empiris atau pengetahuan yang ada. Sokal memberikan contoh beberapa. pendapat postmodernisme yang mencerminkan hal itu, di antaranya bahwa pengetahuan sain tidak ada kaitannya sama sekali dengan kenyataan alam; dunia alami tidak atau hanya sedikit berperan dalam menciptakan pengetahuan; atau sesungguhnya tidak ada baku mutu tentang apa yang rasional, karena yang ada adalah rasionalitas setempat. Postmodernisme melihat sain melegitimasi dirinya sendiri, dengan menghubungkan temuannya terhadap kekuasaan tertentu. Hubungan inilah yang sesungguhnya menentukan apakah suatu pengetahuan absah (valid) atau tidak.

Di tengah tawaran post-modernisme yang membuka peluang luas bagi relativisme, multivokalitas, pluralisme, dan pendekatan multi- maupun trans-disiplin itulah, pengetahuan yang digolongkan sebagai pseudosain menjadi semakin merebak luas. Istilah pseudosain sendiri pertama kali digunakan oleh sejarawan James Andrew pada 1796 untuk menyebut alkemia sebagai “pseudosain yang fantastik”. Sejak akhir abad ke-19, istilah ini banyak digunakan dengan kesan yang semakin “miring”. Meskipun demikian, batas antara sain dan pseudosain sebenarnya cukup tipis (Sokal, 2004; Raff, 2013; Hansson, 2014; Beyerstein, 1996). Dalam khasanah ilmu pengetahuan atau sain memang ada demarkasi (Hansson, 2014) yang membedakan antara bukan-sain, (non-science, misalnya agama dan metafisik) dengan tidak saintifik (unscientific; tidak mengikuti atau konflik dengan kaidah ilmiah).


Tidak ilmiah

Pseudosain adalah bagian kecil dari kelompok tidak ilmiah. Secara umum, pseudosain selalu memberikan kesan seolah-olah memiliki dasar-dasar penalaran yang sesuai dengan penalaran ilmu pengetahuan atau sain umumnya. Pseudosain juga cenderung menonjolkan metodologi yang canggih dan akurat, serta berada di bawah otoritas ilmu tertentu.

Sering kali sebagai pengganti otoritas, pseudosain mengaku temuannya berasal dari kearifan masa lampau yang hilang. Pelaku pseudosain biasanya menganggap dirinya seolah telah meruntuhkan teori lama dan temuan barunya itu seolah mampu menjawab aneka persoalan atau menjelaskan misteri yang selama ini belum terpecahkan.

Namun, kesan kehebatan temuannya itu sesungguhnya menyembunyikan sejumlah kelemahan, di antaranya tidak didukung data yang cukup kuat, menggunakan data dengan cara yang tidak tepat, atau data ditafsirkan sesuai dengan kerangka pikirnya. Pseudosain biasanya tidak mampu bersifat prediktif, pernyataan-pernyataannya sulit dikonfirmasikan, dan tidak mau mendengar pendapat yang menunjukkan kelemahannya.

Walaupun merasa mengubah pengetahuan lama, pseudosain jarang mampu memberikan penjelasan mengapa gagasan lama itu salah dan harus diganti. Padahal, gagasan lama itu telah didukung oleh banyak data yang terakumulasi cukup lama. Selain itu, di balik pernyataan temuan baru itu tidak jarang terdapat dorongan tidak-ilmiah, baik itu bersifat ideologis, politik, maupun finansial. Alih-alih melakukan kritik pada dirinya, pelaku pseudosain paling suka menganggap dirinya sebagai korban represi otoritas yang telah mapan. Mereka mengalami Galileo syndrome, yaitu merasa dihujat, dikucilkan, dan dihukum karena tidak sejalan dengan arus utama pengetahuan. Meskipun begitu, mereka yakin pada suatu saat pendapatnya terbukti benar.

Bagi para pelaku pseudosain, munculnya post-modernisme tentu ibarat “orang mengantuk disorong bantal’. Dengan memposisikan diri sebagai penghasil gagasan altenatif yang “tertindas”, kini bagi mereka seakan dibukakan ruang representasi yang semakin luas. Keberhasilan post-modernisme seakan menyeret pseudosain pada posisi yang hampir sejajar dengan sain umumnya.

Pelaku pseudosain acapkali menggunakan gagasan postmodernisme untuk menjustifikasi pendapatnya. Padahal, sesungguhnya kerangka pikir postmodernisme berbeda sama sekali dengan pseudosain. Bahkan Sokal (2004) menyatakan dengan tegas bahwa “Pseudoscience is not postmodernism”. Alasannya, pseudosain selalu mendaku bahwa pendapat atau pengetahuan yang diperoleh adalah objektif. Padahal, postmodernisme justru menyangkal adanya pengetahuan yang objektif.

Perbedaan lain, postmodernisme menuntut pikiran yang selalu kritis, bagi pseudosain hal itu tidak pernah terpikirkan. Mungkin memang benar bahwa postmodern tidak menciptakan pseudosain, tidak pula mempromosikannya. Namun, postmodernisme telah melemahkan landasan moral dan penalaran ilmiah yang selama ini dianut. Dengan begitu, postmodernisme telah membantu pseudosain untuk lebih berkembang. Apalagi, dengan misi multivokalnya, postmodernisme telah mengakui bahwa pseudosain layak untuk disuarakan juga. Meminjam kalimat Bertrand Russel, Sokal (2004) menyatakan bahwa postmodernisme “telah menciptakan lautan kegilaan yang sangat membahayakan kapal kecilrasionalitas manusia”.

Barangkali banyak orang mempertanyakan: mengapa kita harus peduli atau bahkan resah dengan semakin maraknya kehadiran pseudosain? Mengapa tidak kita biarkan saja pseudosain sama seperti suara-suara yang 1ain, agar cita-cita demokrasi dapat tercapai? Kiranya kita sudah sepakat bahwa demokrasi, kesetaraan, dan peduli pada ‘yang lain’ sangat perlu diperjuangkan. Namun, watak dari pseudosain tidaklah murni mencari pengetahuan baru yang lebih baik sebagaimana wacana postmodernisme Lyotard (1984). Tidak seperti postmodernisme yang akan mempertahankan keberagaman, pada saatnya pseudosain akan dapat menjadi hegemoni baru dalam wacana pengetahuan. Keadaan ini tentu akan menghilangkan cita-cita demokrasi dan kesetaraan. Apalagi, kini tanda-tanda itu telah tampak dari banyaknya pemikiran pseduosain yang merasuki kehidupan masyarakat melalui iklan konsumtif, pengobatan alternatif, saksi ahli dalam persidangan, kebijakan lingkungan, rasialisme, agama, dan tentu saja kemelencengan dalam pembelajaran ilmu pengetahuan itu sendiri.


Mempengaruhi kebijakan pemerintah

Perlu disadari, pseudosain kini telah mampu mengonstruksi pengambilan keputusan terkait kebijakan yang menentukan jalan dan arah kebudayaan kita mendatang (Sokal, 2004; Hansson, 2014; Rafl 2013). Di Indonesia, kita telah menyaksikan bersama bagaimana pseudosain telah mempengaruhi kebijakan pemerintah, setidaknya dalam kasus “blue energi” (air menjadi bahan bakar) dan situs Gunung Padang yang didaku sebagai piramida tertua di dunia dengan kandungan logam mulia ribuan kilogram.

Pertanyaannya, apakah kita akan membiarkan perjalanan kebudayaan kita dibimbing oleh buah-buah pikiran pseudosain? Relakah arah kebudayaan kita dipandu oleh mitos-mitos baru yang tidak pernah secara terbuka diwacanakan dalam suasana lebih dialektis? Dan, apakah buah-buah pikiran pseudosain akan menghantarkan kebudayaan kita menjadi sarana untuk lebih memanusiakan diri kita?

Dalam konteks situasi seperti dijelaskan di atas itulah, sesungguhnya pertanyaan refleksif yang saya ajukan pada awal presentasi ini menemukan relevansinya. Dimana kita sekarang? Apa peran yang sedang kita jalankan dalam situasi seperti ini? Apakah kemajuan yang kita capai memang mengarah pada tujuan-tujuan kita atau justru membawa kita melenceng jauh? Sebenarnya, bukanlah kewenangan saya untuk menjawab pertanyaan ini unfuk kita semua.

Namun, harus saya akui sejujurnya bahwa ada kekhawatiran pribadi yang besar saat melihat dan terlibat dalam sistem dan kebijakan perguruan tinggi di Indonesia. Semakin nyata di benak saya bahwa pendidikan tinggi kita dibiarkan terbawa oleh arus kuat globalisasi yang agaknya menyeret tujuan pendidikan kita melenceng dari tujuan semula.

Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pemerintah lndonesia diberi mandat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Mandat ini dituangkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang bertujuan mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif. mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Pada kenyataannya, kini kebijakan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi memberikan dorongan yang amat besar agar universitas di Indonesia mencapai ranking yang cukup bergengsi di dunia. Begitu banyak sumberdaya dan energi yang dikerahkan untuk mencapai itu. Bahkan, kinerja perguruan tinggi juga diukur dari ranking dunia itu. Di sini, tampak bagaimana para pengambil kebijakan pendidikan telah dikonstruksi oleh mitos-mitos baru pseudosain tentang keberhasilan pendidikan.

Mengapa saya katakan demikian? Pertama, seperti dalam pseudosain, proposisi bahwa universitas ranking atas berkinerja lebih baik dari ranking bawah tidak bisa difalsifikasi. Sebaliknya, proposisi itu tidak juga dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris. Karena itu, tolok ukur ranking perguruan tinggi adalah pseudosain yang tidak dapat dilegitimasi.

Kedua, kita lupa apa yang dinyatakan oleh Lyotard bahwa kebenaran pengetahuan seharusnya justru ditentukan oleh legitimasi lokal. Artinya apabila tujuan pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, menjadi sangat tidak tepat jika kita menggunakan ukuran ranking dunia. Semestinya, untuk mengukur tercapai atau tidaknya tujuan pendidikan kita, legitimasinya ada di Indonesia sendiri. Untuk itu, kita sendiri yang semestinya mengembangkan tolok ukur kita sendiri, bukannya justru menggunakan tolok ukur orang lain.

Kalau kita tidak ingin terjebak untuk merujuk mitos-mitos pseudosain seperti saya tuduhkan di atas, Kemenristekdikti seharusnya sudah mencoba melakukan konfirmasi : apakah perguruan tinggi dengan ranking dunia yang tinggi memang menunjukkan kinerja tinggi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia? Yang saya takutkan adalah justru sebaliknya. Banyak perguruan tinggi yang terlalu suntuk mengejar ranking tinggi, sehingga mereka lupa tujuan utama mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal yang sama akan dapat terjadi ketika kinerja perguruan tinggi diukur dengan jumlah lulusan yang banyak dengan predikat cum laude atau berindeks prestasi tinggi. Tidak sedikit perguruan tinggi yang lalu lebih memilih memberikan nilai tinggi pada mahasiswa agar tercapai kinerja yang tinggi. Mereka lupa dengan esensi standar sebagai tolok ukur kualitas hasil pendidikan. Akibatnya, dapat saja terjadi perguruan tinggi yang memiliki kinerja bagus, temyata menghasilkan lulusan yang kurang berkualitas.


Mencerdaskan kehidupan masyarakat

Kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia yang juga berpotensi menyuburkan pseudosain adalah pemberian insentif yang besar demi obsesi meningkatkan publikasi di jurnal terakreditasi atau berindeks internasional, khususnya Scopus. Semua perguruan tinggi seakan berlomba untuk sebanyak-banyaknya mempublikasikan karya staf pendidik mereka di jurnal. Dengan demikian, penemuan dan pengetahuan baru yang ilmiah cenderung hanya diketahui oleh rekan selingkungnya (peer). Semua itu hanya berputar di sekitar dan di dalam menara gading.

Hampir dipastikan, masyarakat luas tidak akan mengakses penemuan baru yang ilmiah. Sebagai gantinya, masyarakat akan menyerap lebih banyak pengetahuan pseudosain. lni sejalan dengan pendapat Sokal (2004) yang menyatakan bahwa masyarakat merasa “doing real science is difficult”. Karena itu, mereka lebih memilih mengonsumsi pemikiran dan pengetahuan yang mudah dicerna, tampak ilmiah, dan dipahami sebagai hasil penemuan baru yang revolusioner. Semua itu dapat diperoleh dalam pseudosain. Karena itu, kini makin banyak keputusan yang diambil berdasarkan pengetahuan pseudosain daripada kajian ilmiah. Untuk menghindari gejala ini semakin luas, sebaiknya akademisi tidak hanya berpikir untuk menerbitkan karyanya dalam jurnal akademis, tetapi dalam bentuk karya tulis ilmiah populer yang berpotensi lebih besar mencerdaskan kehidupan masyarakat. Dengan begitu, kita juga akan memperkecil kemungkinan pengetahuan pseudosain menjadi dasar pikir yang mengarahkan kebudayaan kita ke depan.

Akhirnya, setiap orang dari kita boleh mempertanyakan pada diri sendiri: sebenarnya untuk apa kita memproduksi dan mereproduksi pengetahuan? Menurut Lyotard (Frederick, 1984), dalam kondisi postmodern, kerja ilmiah sebenarnya tidak untuk menghasilkan model pengetahuan yang mantap atau mendeskripsikan ulang realita di luar sana, tetapi kerja untuk sekadar menambah lebih banyak pekerjaan, atau menghasilkan lebih banyak pengetahuan ilmiah baru, dan memastikan bahwa kita akan selalu memiliki gagasan baru. Apakah etos seperti itu yang kini mendorong kita? Atau, kita sebenarnya sedang berperan sebagai para pelaku pseudosain yang menciptakan pengetahuan dengan tujuan ideologis, sosial, atau finansial? Jawaban atas pertanyaan ini, niscaya akan mempengaruhi jalannya kebudayaan kita di masa mendatang.

Sebagai penutup perbincangan ini, ada baiknya saya ingatkan kembali cerita tentang karya genius Isaac Newton. Pemikiran Newton tentang gravitasi yang ditulis dalam Principia pernah diserahkan kepada para ahli fisika di Cambridge University, setelah Newton wafat. Pemikiran Newton tidak diterima, sehingga semua berkasnya dikembalikan ke keluarganya. Berkas-berkas itu sempat berada di gudang keluarga.

Sekitar tahun 1930an keluarganya mulai menjual berkas-berkas itu di tukang loak dan setelah Perang Dunia II muncul di toko buku antik. Baru di toko antik itulah, karya-karya Newton dikenali oleh para ilmuwan di zaman itu. Mereka mulai menganalisis isinya dan menyusunnya menjadi karya monumental dalam bidang fisika. Noam Chomsky (2011) mengatakan kejadian seperti itu banyak dialami oleh para ilmuwan yang gagasannya luar biasa. Karyanya tidak ditemukan di jurnal-jurnal bermartabat, tetapi justru di tengah masyarakat. Barangkali moral yang hendak disampaikan adalah berkarya dalam dunia ilmu pengetahuan atau sain tidak dapat dipisah dari kondisi keadaan sosial dan budaya masyarakat. (Daud Aris Danudirdjo)

Diringkas dari Pidato Ilmiah Rapat Senat Terbuka
Dalam Rangka Dies Natalis ke-70 FIB UGM
Yogyakarta, 3 Maret 2016
Judul Asli:
Refleksi Kebudayaan: Dari Postmodernisme Hingga Pseudosain


Tinggalkan komentar

Kategori