Oleh: hurahura | 2 Mei 2016

Refleksi Hardiknas 2 Mei: Dulu, Raja Jawa dan Rakyatnya Wajib Menghormati Guru

Pambudi-1Foto 01: Prasasti Kalasan Tahun 700 Saka (778 Masehi) Berisi Penghormatan Kepada Guru
(Foto oleh Santiko, 2012)


A. Pendahuluan

Sebutan raja pastinya sudah tidak asing lagi terdengar di telinga masyarakat. Sebutan itu, baik dalam dongeng maupun cerita rakyat, sering diucapkan untuk menyebut seorang tokoh pemimpin sebuah kerajaan. Dalam dongeng, misalnya, ada tokoh raja singa yang menguasai hutan rimba, serta dalam cerita rakyat ada Raja Aji Saka yang membawa aksara hanacaraka ke tanah Jawa dan Raja Angling Darma yang bisa berbahasa binatang. Selanjutnya di dalam sejarah juga dikenal istilah raja. Pada pelajaran sejarah mulai dari tingkat sekolah dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi, tokoh raja diceritakan sebagai pemimpin kerajaan yang bijaksana, yang memiliki banyak prajurit, menguasai daerah yang sangat luas, selalu melakukan peperangan demi menjaga kedaulatan wilayahnya dari tangan musuh-musuh yang ingin menguasainya, mendirikan tugu-tugu prasasti sebagai tanda kemenangan dan pencitraan namanya, mendirikan bangunan-bangunan suci yang disebut dengan istilah candi sebagai tempat pemujaan kepada para dewa, serta ada yang bilang bahwa raja itu memiliki banyak istri. Cerita tentang raja-raja memang sangat populer, bahkan pada masa akhir Majapahit terdapat sebuah naskah kuno berupa prosa (gancaran) yang menceritakan tentang raja-raja mulai dari masa awal Kerajaan Singhasari sampai akhir Kerajaan Majapahit bernama Naskah Pararaton. Namun dari beberapa peristiwa sejarah di dalam kehidupan raja hal-hal di atas itulah yang banyak diketahui oleh masyarakat, khususnya di tanah Jawa.

Memang tidak salah juga memberikan tafsiran yang demikian, karena hal tersebut memang yang tertulis apa adanya dalam sebuah prasasti. Prasasti merupakan sumber data sejarah yang paling otentik untuk merekonstruksi sejarah karena ditulis sezaman dengan masa pemerintahan raja tertentu beserta peristiwanya, kecuali prasasti turunan atau tinulad (Sukendar dkk, 1999). Prasasti yang ditemukan di Jawa mayoritas menceritakan sebuah maklumat dari raja untuk menetapkan suatu wilayah menjadi berstatus sīma (perdikan) sekaligus menceritakan tentang peristiwa tertentu yang dialami oleh raja dan masyarakat yang mendapatkan status sīma (perdikan). Masih ada peristiwa yang patut dijadikan teladan dari kehidupan raja khususnya di Pulau Jawa pada masa lalu, namun belum banyak diketahui oleh masyarakat dan juga jarang ditulis dalam buku-buku pelajaran di sekolah maupun perguruan tinggi. Sikap yang patut diteladani dalam kehidupan Raja Jawa di masa lalu salah satunya yaitu menghormati guru. Begitu dekatnya para guru dalam kehidupan para raja, sehingga para raja selalu memberikan sikap bakti secara penuh sebagai tanda balas jasa kepada gurunya. Tidak hanya raja, bahkan masyarakat Jawa Kuno baik yang hidup di lingkungan desa-desa (wanwa) dan di lingkungan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan) juga wajib menghormati guru.

Dalam artikel ini akan dibahas mengenai bukti peristiwa sejarah dari seorang raja di tanah Jawa yang menghormati gurunya dan terekam dalam sumber data sejarah. Selanjutnya juga akan diuraikan mengenai pentingnya kewajiban menghormati guru dalam kehidupan masyarakat masa Jawa Kuno. Hal ini akan menjadi kajian yang menarik dalam rangka memberikan wawasan tentang sikap menghormati para guru dari masa Jawa Kuno dan nantinya akan dapat diteladani oleh masyarakat pada masa dewasa ini. Ternyata dahulu menghormati para guru sangat penting dilakukan oleh seorang raja yang tidak hanya berperang maupun mencari legitimasi politik saja, serta seluruh rakyatnya juga diwajibkan untuk menghormati guru. Hal ini sekaligus sebagai penunjang pendidikan budaya dan karakter bangsa, yang merupakan konsep pendidikan yang berupaya untuk mengembangkan nilai-nilai budaya dan karakter bangsa pada diri para peserta didik sehingga memiliki nilai dan karakter yang sesuai dengan dirinya, serta mampu menerapkan nilai-nilai tersebut di dalam kehidupannya (Hasan dkk, 2010:4). Menghormati guru termasuk nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Nusantara, khususnya masyarakat masa Jawa Kuno.


B. Pembahasan

1. Menghormati Guru Dilakukan oleh Raja
Guru merupakan seorang tokoh yang berperan dalam memberikan pengetahuan sekaligus mendidik para siswanya sehingga dapat tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang luhur, santun, dan berakhlak mulia. Guru wajib menjadi teladan untuk para siswa yang dibimbingnya, beliau adalah tokoh yang mampu menuntun para siswa ke jalan yang benar. Karena tugas yang mulia itulah, hingga masa kini kedudukan guru dalam kehidupan masyarakat selalu menjadi tokoh yang terpandang. Dalam sumber data tekstual dari masa Jawa Kuno, terdapat beberapa istilah untuk menyebut tokoh guru, yaitu “ācārya, guru, dewaguru, dan mahaguru” (Zoetmulder, 1982). Selain itu istilah lain untuk menyebut tokoh guru dalam masa Jawa kuno yaitu “rama atau pita”, yang berarti ayah (Zoetmulder, 1982). Namun antara ācārya dan dewaguru digunakan untuk penyebutan tokoh guru dalam lingkungan yang berbeda. Sebutan ācārya lebih identik untuk menyebut para guru yang berada di lingkungan istana yang mendidik para putra-putri raja, sedangkan dewaguru lebih identik untuk menyebut para guru yang berada di pusat-pusat pendidikan keagamaan masa Jawa Kuno atau disebut dengan istilah maṇḍala atau kadewaguruan berlokasi di tempat-tempat terpencil, seperti lereng gunung, puncak bukit, tengah hutan, tepi pantai. Para dewaguru di maṇḍala atau kadewaguruan membimbing para sisya (siswa) dari beberapa jenjang yaitu ubwan dan manguyu dalam jenjang atas, sedangkan kaki dan endang yang masih menempuh jenjang bawah (Santiko, 1986: 151-161). Segala aturan maupun nasehat dari para dewaguru wajib dipatuhi oleh seluruh sisya (siswa) yang dibimbingnya. Hal ini akan dibahas lebih jelas pada sub-bab selanjutnya.

Sikap penghormatan terhadap guru yang dilakukan oleh raja, tertulis dalam prasasti dari masa Mḍang (Mataram Kuno) yaitu Prasasti Śankhara dari abad VIII Masehi. Prasasti tersebut yang menceritakan tentang ayah Śankhara yang sangat patuh kepada gurunya. Menurut Boechari dalam Hardiati dkk (2010) mengenai ayah Śankhara yang dimaksud dalam prasasti tersebut yaitu Raja Sanjaya, sedangkan Śankhara sendiri yaitu Rakai Panangkaran. Selanjutnya Raja Rakai Panangkaran sendiri juga mengeluarkan prasasti yang menceritakan tentang sikap menghormati para guru, yaitu yang tertulis secara jelas dalam Prasasti Kalasan yang ditemukan di sekitar halaman Candi Kalasan, Yogyakarta. Prasasti Kalasan ditulis menggunakan aksara Pra-Nagari berbahasa Sansekerta dari tahun 700 Saka atau 778 Masehi (lihat foto 01 di atas).

Prasasti Kalasan menceritakan tentang para guru Raja Śailendra yang memerintahkan untuk membangun sebuah bangunan suci yang indah sebagai tempat pemujaan Dewi Tara di daerah bernama Kalasa. Bangunan tersebut dapat didirikan oleh raja-raja Sailendra atas persetujuan Mahārāja Dyāh Pancapana Panamkarana (Rakai Panangkaran) keturunan dari Dinasti Sanjaya. Selanjutnya juga didirikan sebuah bangunan untuk para bhiksu yang dimuliakan dan ahli dalam ajaran Buddha Māhayana berupa sebuah Vihara. Bangunan suci untuk pemujaan Dewi Tara dan bangunan untuk para bhiksu (vihara) didirikan oleh para ahli bangunan milik kerajaan. Dengan didirikannya bangunan untuk para bhiksu (vihara) tersebut, kelebihan yang didapatkan yaitu segala pengetahuan suci, hukum sebab-akibat, dan kelahiran tiga dunia sesuai dengan ajaran Buddha dapat difahami. Dengan demikian dapat ketahui bahwa pendirian bangunan vihara tersebut adalah sebagai tempat pendidikan Agama Buddha Mahayana. Tujuan Rakai Panangkaran menyetujui pendirian bangunan suci untuk pemujaan Dewi Tara disebutkan dalam baris enam Prasasti Kalasan yaitu untuk menghormati guru pada tahun yang telah berjalan 700 Saka atau 778 Masehi (= śakanŗpakālātītair varṣaśataiḥ saptabhir mahārājaḥ akarod gurupūjārthaṃ tārābhavanaṃ paṇamkaraṇaḥ) (Hardiati dkk, 2010; Santiko, 2012:5-7).

Sebenarnya sikap patuh dan menghormati para guru banyak dilakukan oleh raja-raja di tanah Jawa pada masa lalu. Namun sumber data dari masa Jawa Kuno yang menyebutkan mengenal hal itu masih cukup terbatas. Dari beberapa prasasti yang sampai saat ini ditemukan, hanya Prasasti Kalasan (700 Saka atau 778 Masehi) yang secara jelas menyebutkan pendirian bangunan suci untuk pemujaan Dewi Tara (Tarabhavanam) dan sebuah bangunan untuk para bhiksu (Vihara) sebagai tempat pendidikan Agama Buddha Mahayana sebagai wujud sikap Raja Sri Maharaja Rakai Panangkaran dalam menghormati para guru. Sebenarnya para brahmana juga dianggap seperti guru. Mereka berperan dalam memimpin upacara-upacara keagamaan demi keselamatan raja beserta rakyatnya. Para brahmana juga merupakan guru spiritual bagi raja dan masyarakat pada masa Jawa Kuno. Oleh karena itulah mereka sering diberitakan mendapatkan anugerah berupa hak-hak istimewa maupun hadiah dari raja, misalnya dalam Prasasti Dinoyo I (682 Saka atau 760 Masehi) yang menceritakan tentang Raja Gajayana yang membuat bangunan suci untuk Rsi Agastya sekaligus bangunan untuk para pendeta brahmana. Selanjutnya Raja Rakai Watukura Dyah Balitung (889 – 910 Masehi) dalam beberapa prasastinya juga diberitakan telah memberikan hadiah-hadiah kepada para kalangan agamawan. Prasasti-prasasti lainnya dari abad VIII sampai XV Masehi masih banyak yang memberitakan tentang pemberian anugerah berupa hadiah maupun hak-hak istimewa dari raja kepada para brahmana, namun dalam karya tulis ini kedua contoh yang telah disebutkan di atas sudah cukup untuk mewakili.

2. Menghormati Guru Wajib Dilakukan oleh Para Sisya (Siswa) di Maṇḍala atau Kadewaguruan
Menghormati guru pada masa Jawa Kuno ternyata tidak hanya dilakukan oleh para raja saja, namun juga wajib dilakukan oleh para sisya (siswa) yang belajar di pusat pendidikan keagamaan yang disebut dengan istilah maṇḍala atau kadewaguruan. Beberapa inskripsi pendek maupun naskah kuno telah menceritakan tentang ajaran menghormati guru di lingkungan maṇḍala atau madewaguruan. Salah satu inskripsi yang berisi tentang petuah untuk menghormati guru yaitu Inskripsi Kebun Karet Tulungagung yang berada di kawasan Kebun Karet, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Tulungagung (lihat foto 02). Penulis melalukan survei di tempat tersebut pada tanggal 12 April 2015 bersama teman-teman pelestari sejarah dan budaya dari Tulungagung yang terdiri dari Bapak Bambang Eko Hariadi bersama si kecil Rafi Karim, Mas Yoni Sawatara, dan Mas Widjatmiko. Batu yang dijadikan media penulisan inskripsi tersebut berbahan andesit, kondisinya masih sangat baik dan berada di tepi sungai alam pada lembah. Berdasarkan lokasinya yang berada di sebuah lembah dalam hutan atau lereng sebuah bukit yang sangat jauh dari keramaian, maka dapat diidentifikasi bahwa lokasi tersebut dahulu merupakan sebuah kadewaguruan.

Pambudi-2

Foto 02: Inskripsi Kuadrat dari Kebun Karet Karangrejo, Tulungagung
Berisi Ajaran untuk Jujur dan Peduli Terhadap Rama (Guru)
(Foto oleh Aang Pambudi Nugroho, 2015)

Aksara yang tertulis di permukaannya hanya pada satu bagian sisinya. Aksara tersebut tertulis timbul atau disebut dengan aksara kuadrat. Berdasarkan gaya penulisannya, aksara tersebut mirip dengan Prasasti Lucem (Pohsarang) dari tahun 934 Saka atau 1012 Masehi. Dengan demikian diperkirakan inskripsi tersebut ditulis sekitar abad XI-XII Masehi. Hasil alih aksara dari inskripsi tersebut, yaitu “Jatyahatrama” yang kalau dijabarkan lebih jelas berasal dari kata “jati – ahat – rama”, yang berarti “kejujuran (dan) kepedulian (kepada) ayah” (Zoetmulder, 1982). Berdasarkan hasil alih aksara dan terjemahan tersebut dapat diidentifikasi bahwa Inskripsi Kebun Karet Tulungagung berisi tentang anjuran untuk selalu berkata jujur dan peduli terhadap guru. Menariknya lagi adanya istilah “rama” yang berarti ayah. Hal ini membuktikan bahwa para guru dalam sebuah lingkungan pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan) dianggap sebagai ayah. Anggapan tersebut berdasarkan adanya peranan dari para guru dalam mengasuh para sisya (siswa) yang bagaikan orang tua khususnya ayah dalam mengasuh anaknya. Selain dalam Inskripsi Kebun Karet Tulungagung, istilah ayah untuk menyebut para guru dalam lingkungan pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan) terdapat dalam Inskripsi Jombok, Trenggalek. Dalam inskripsi tersebut pada baris kedua disebut dengan istilah “pita”, yang juga berarti ayah (Zoetmulder, 1982). Hasil penelitian tentang inskripsi tersebut saat ini belum diterbitkan.

Masih mengenai anggapan bahwa para guru dianggap sebagai ayah bagi para sisya (siswa) selain disebutkan dalam inskripsi batu juga disebutkan pada Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular dari masa pemerintahan Majapahit. Keterangan tersebut terdapat pada pupuh IV:19, sebagai berikut:

“Tuwin rakwa haneka dharmma karêngő de sang mahābhikṣuka,
wṛddhyānak putu yogya yeka pasunggeng mattā pitānindita,
widhyāgocara kīṛṇna śīṣya pasunggeng ḍang gurwanantākrama,
dharmmādeśana śuddhalakṣaṇa tapānun dāna ring rāt kabeh” (Mastuti & Brahmantyo, 2009:24)

Terjemahan bebas dari pupuh di atas yaitu selanjutnya ada sebuah ajaran yang didengar dari seorang biksu besar. (Beliau berkata) bahwa membesarkan anak cucu adalah kewajiban yang pantas dilakukan oleh orang tua bersifat tidak tercela. Tempat belajar yang dipenuhi oleh para siswa adalah tugas sang guru menjadi teladan selamanya. Memberikan ajaran merupakan tanda kemurnian dari tapa seseorang dalam memberi segala persembahan kepada dunia (Nugroho, 2015:307).

Kalimat yang terdapat dalam isi pupuh Kakawin Sutasoma di atas memberikan informasi yang lebih jelas lagi mengenai tokoh guru dalam masa Jawa Kuno yaitu tidak hanya dianggap sebagai orang tua (ayah) yang membesarkan anaknya mulai dari kecil hingga dewasa, bahkan guru juga harus menjadi teladan selamanya. Hal ini mengingatkan pada kata-kata orang Jawa, yaitu bahwa “guru iku digugu lan ditiru (guru itu diikuti dan dicontoh)”. Salah satu inskripsi dari lingkungan keagamaan (maṇḍala) yang juga berisi tentang petuah bahwa para guru harus dapat dijadikan teladan ditemukan di sebelah timur kawasan Gunung Semeru, yaitu Inskripsi Pasrujambe II. Inskripsi ini ditemukan di Desa Pasrujambe, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, yang berdasarkan bentuk dan gaya aksaranya berasal dari masa akhir Majapahit (Abad XV Masehi) (lihat Transkripsi 01). Isi dari Inskripsi Pasrujambe II berbunyi dan terjemahannya (Soekarto, 1986:43), sebagai berikut:

“Iki pangestu (ini restu [dari] )
Yang mami. Guru gu (Dewaku. [bahwa] guru gu-)
Ru yenarabi de (ru kalau menikah supaya)
N kadi boting aka (seperti beratnya angka)
Sa lawan prtiwi (sa dan bumi)
Papa kabuktihi” ([apabila tidak dilakukan] kesenggaraan akan terjadi)

Pambudi-3

Transkripsi 01: Inskripsi Pasrujambe II Berisi Petuah Para Guru
Harus Menjadi Teladanan
(Transkripsi oleh Soekarto K. A, 1986)

Kalimat yang terdapat dalam isi Inskripsi Pasrujambe II di atas memberikan informasi bahwa keteladanan para guru di sebuah lingkungan pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan) yang diibaratkan bagaikan langit (akasa) dan bumi (prtiwi), yang apabila dikomparasikan dengan Naskah Kunjarakarna yang merupakan sastra kuno yang ditulis di lingkungan pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan), langit (akasa) bagaikan kepala dan bumi (prtiwi) bagaikan badan (Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Timur, 1977:86). Dengan demikian makna dari kata akasa (langit) dan prtiwi (bumi) adalah simbol kesempurnaan. Karena apabila kepala tanpa badan atau badan tanpa kepala, maka makhluk hidup terlihat kurang sempurna. Apabila kita hubungkan dengan isi Inskripsi Pasrujambe II, keteladanan dari para guru di lingkungan tersebut yaitu keteladanan dalam kesetiaan hidup dengan istrinya atau hidup berumah tangga setelah mereka menikah.

Selain tertulis dalam bentuk inskripsi pendek, ajaran menghormati guru pada masa Jawa Kuno juga divisualisasikan dalam sebuah panil relief di bangunan pendapa teras berada di lingkungan pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan). Pendapa teras tersebut salah satunya di Situs Jawar yang berada di kawasan lereng Gunung Semeru bagian barat daya, Kecamatan Ampel Gading, Kabupaten Malang. Pada pendapa teras tersebut terdapat beberapa panil relief, di antaranya yaitu: panil relief motif daun, motif bunga teratai, motif anyaman, serta motif relief cerita binatang. Menurut Dipodjojo (1983:4) relief cerita binatang berfungsi untuk pendidikan moral kepada masyarakat. Dalam konteksnya pada sebuah situs tempat pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan), relief cerita binatang berfungsi sebagai visualisasi ajaran kesusilaan atau tata susila yang merupakan salah satu materi pelajaran yang diajarkan oleh dewaguru kepada para sisya (siswa) di tempat tersebut. Ajaran ini merupakan tingkat dasar dari ajaran-ajaran lainnya (Santiko, 2012:129). Ajaran tata susila tersebut terdiri dari sepuluh macam kesusilaan atau lebih dikenal dengan istilah daśaśila. Dalam Kitab Wṛhaspatitattwa (LXI:10) daśaśīla terdiri dari ahiŋsā (tidak membunuh atau melakukan kekerasan), brahmacarya (mempraktikkan ajaran suci), sayta (setia, tulus, dan jujur), awyawahārika (tidak ikut campur dalam perkara), astainya (tidak mencuri), akrodha (tidak marah), guruśuśrūṣa (kepatuhan terhadap guru), śoca (kesucian), āhāralāghawa (tidak menipu), apramāda (tidak mabuk) (Zoetmulder, 1982:203). Kewajiban menghormati guru termasuk salah satu nilai dari ajaran daśaśila, yaitu guruśuśrūṣa yang berarti kepatuhan terhadap guru.

Ajaran menghormati guru dalam panil relief di bangunan pendapa teras Situs Jawar divisualisasikan pada relief dengan kode J-73 dalam adegan Raja Aridarma menghadap seorang Brahmana penjelmaan Nagaperta untuk mendapatkan pelajaran tentanng ilmu bahasa binatang (lihat foto 03). Cerita tersebut terdapat dalam naskah cerita binatang Tantri Kamandaka. Secara singkat dalam naskah tersebut diceritakan ada seorang raja bernama Aridarma yang akan dibunuh oleh Nagapertala karena anaknya yang bernama Nagagini mengadu telah disakiti oleh Raja Aridarma. Namun setelah mendengar dan mengetahui bahwa ucapan anaknya itu tidak benar, maka untuk menebus kesalahannya Nagapertala merubah wujud menjadi seorang brahmana datang ke istana dan mengajak pergi Raja Aridarma. Brahmana Nagapertala mengatakan hal yang sebenarnya kepada Raja Aridarma dan meminta maaf atas ketidaktahuannya, dan akan memberikan ilmu bahasa binatang untuk menebus kesalahannya. Setelah memberikan ilmu kemudian berpesan bahwa ilmu bahasa binatang tersebut pantang diajarkan atau diberikan kepada siapapun tanpa terkecuali. Sampai gara-gara ilmu tersebut, Dewi Mayawati istri dari Raja Aridarma yang marah karena tidak dipenuhi keinginannya memiliki ilmu tersebut rela menerterjunkan dirinya ke dalam kobaran api (Mardiwarsito, 1983:105-113). Cerita tersebut memiliki makna sesuai dengan salah satu ajaran daśaśīla, yaitu guruśuśrūṣa (kepatuhan terhadap guru). Hal ini berdasarkan sikap dari tokoh Raja Aridarma dalam cerita di atas, yang menunjukkan kepatuhannya kepada Brahmana Nagapertala sebagai gurunya, dia sampai rela kehilangan istrinya (Nugroho, 2015:354). Adanya penggambaran cerita tentang Raja Aridarma yang pantang untuk memberikan kepada siapapun ilmu bahasa binatang sesuai dengan apa yang tertulis dalam Naskah Tantri Kamandaka, hal itu sebagai sikap untuk menghormati petuah dan ajaran yang diberikan oleh gurunya yaitu Brahmana Nagapertala.

Pambudi-4

Foto 03: Panil Relief Adegan Cerita Aridharma Menghadap Brahmana Nagapertala
di Situs Jawar, Kecamatan Ampel Gading, Malang
(Foto oleh Aang Pambudi Nugroho, 2015)

Sumber data arkeologi yang telah disebutkan di atas baik berupa inskripsi pendek maupun panil relief cerita binatang berasal dari lingkungan pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan), keduanya sama-sama berfungsi sebagai media visualisasi ajaran kesusilaan di lingkungan tersebut terutama yang berkaitan dengan kewajiban menghormati guru. Adanya visualisasi tersebut diharapkan para sisya (siswa) dapat selalu mengingat dan tidak melupakan petuah-petuah maupun nasehat yang merupakan sebuah ajaran-ajaran dari gurunya.

3. Menghormati Guru Wajib Dilakukan oleh Masyarakat Masa Jawa Kuno
Masyarakat masa Jawa Kuno yang tinggal di suatu daerah desa (wanwa atau thani) dahulu juga diwajibkan untuk menghormati para guru. Adanya aturan tersebut seperti yang harus ditaati dan telah tertulis dalam beberapa prasasti dari masa Jawa Kuno, khususnya dari masa pemerintahan Raja Balitung (Mdang/Mataram Kuno) sampai Raja Krtajaya (Kerajaan Kaḍiri). Aturan tersebut tertulis dalam prasasti pada bagian sapatha (kutukan) yang dikenal dengan istilah “pañca mahātāka”, berarti lima dosa besar. Beberapa prasasti masa Jawa Kuno yang menyebut istilah “pañca mahātāka” di antaranya yaitu Prasasti Candi Asu (796 Saka atau 874 Masehi), Prasasti Mantyasih (829 Saka atau 907 Masehi), Prasasti Gulunggulung (851 Saka atau 929 Masehi), Prasasti Waharu (851 Saka atau 929 Masehi), Prasasti Jru-jru (852 Saka atau 930 Masehi), Prasasti Siman atau Paradah (865 Saka atau 943 Masehi), Prasasti Blota (angka tahun sudah aus, dari masa Raja Siṇḍok), Prasasti Cane (943 Saka atau 1021 Masehi), Prasasti Patakan (angka tahun sudah aus, dari masa Airlangga), Prasasti Pikatan (1038 Saka atau 1116 Masehi), Prasasti Jaring (1103 Saka atau 1181 Masehi), dan Prasasti Lawadan (1127 Saka atau 1205 Masehi) (Brandes, 1913). Perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam pañca mahātāka secara lengkap tertulis dalam Prasasti Mantyāsih terdiri atas:

(1) Membunuh seorang brahmana
(2) Melakukan lamwukanyā (pemerkosaan?)
(3) Durhaka pada guru
(4) Membunuh janin
(5) Berhubungan dengan orang yang melakukan kejahatan tersebut di atas (Trigangga, 2003:48).

Berdasarkan isi pañca mahātāka dalam Prasasti Mantyāsih di atas dapat diketahui bahwa perbuatan durhaka pada guru termasuk salah satu dosa besar, dan terdapat dalam urutan ketiga. Oleh karena itu masyarakat masa Jawa Kuno diharapkan tidak melakukan hal itu dan pantang untuk melanggar aturan tersebut, seta sangat diwajibkan untuk menghormati para guru dalam kehidupannya. Salah satu sumber data tekstual dari masa Jawa Kuno yang juga secara jelas menyebutkan tentang dilarangnya berbuat durhaka pada seorang guru tertulis dalam Prasasti Wuraṇḍungan (865 Saka atau 943 Masehi). Dalam prasasti tersebut pada baris 6a tertulis, yaitu:

“…..mangkana parananyu pinghe wahuta anakwanua tkaring putu buyut goleng anggas sakulagotra wargga mwang santānanyu yan langghana ring sang hyang ājñāhaji tan kna ng sama sadlāhaningdlāba yan bwat karmma knanyu jaḥ tasmāt karmma kadi pāpa ning tan bhakti maguru….” (Brandes, 1913:107).

Terjemahan bebas dari isi Prasasti Warandungan di atas yaitu: …. demikianlah para pejabat dari bagian desa (anakwanwa) sampai (keturunannya dari) cucu (putu), buyut, goleng anggas, segaris keturunan keluarga masyarakat dan keturunan selanjutnya apabila melanggar perintah raja tidak berbeda dengan suatu tindakan orang (yang) selamanya berbuat tindakan dosa seperti tidak berbakti saat berguru.

Menarik dari isi Prasasti Warandungan tersebut yaitu keterangan bahwa tidak berbakti kepada guru sama seperti melanggar perintah raja, dan hal itu adalah sebuah perbuatan dosa yang sangat dilarang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa posisi guru dalam masyarakat masa Jawa Kuno sangat dijunjung tinggi seperti seorang raja selaku pemimpin politik pemerintahan dalam kerajaan. Selain sebagai seorang pengajar, Guru juga dianggap sebagai tokoh keagamaan atau spiritual. Keberadaan seorang guru tidak hanya di istana maupun tempat pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan) saja, namun guru juga hadir di tengah kehidupan masyarakat di suatu desa (wanwa) yang disebut dengan istilah gurudeśa (Zoetmulder, 1982:321). Tugas dari seorang gurudeśa diduga sebagai seorang penasehat bagi masyarakat yang memiliki masalah baik pribadi maupun sosial. Hal ini yang pada perkembangannya disebut sebagai dukun atau orang-orang pintar di desa-desa sampai masa dewasa ini dan mereka selalu dikunjungi oleh masyarakat sesuai dengan keperluan masalah yang ingin dikonsultasikan kepada sang gurudeśa.

4. Menghindari Guru yang Berbuat Tidak Benar
Dalam bab sebelumnya telah dibahas mengenai kewajiban menghormati guru baik dilakukan oleh raja maupun rakyatnya. Selanjutnya dalam pembahasan ini akan disampaikan tentang adanya anjuran untuk menghindari guru yang dianggap tidak baik dan berada di jalan yang salah dalam kehidupan masyarakat masa Jawa Kuno. Mengenai peristiwa salah satunya terdapat dalam Prasasti Śankhara yang menurut Buechori dalam Santiko (2012:4) menceritakan tentang ayah Śankhara (Raja Sanjaya) yang jatuh sakit selama delapan hari kemudian meninggal. Karena hal itu kemudian Śankhara (Rakai Panangkaran) menjadi takut kepada guru yang dianggap tidak benar (anŗtaguru) lalu meninggalkan Agama Siwa dan memeluk Agama Buddha Mahayana.

Dalam sebuah naskah kuno yang ditulis pada masa pemerintahan Raja Krtanagara Kerajaan Singhasari menjadi seorang guru atau dewaguru dalam sebuah tempat pendidikan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan) pantang terkena daśamala (Piageud, 1960:88), yaitu sepuluh perbuatan tidak benar yang dalam Kitab Ślokântara (LXXXIV:13), terdiri dari tandri (malas), kleda (ragu-ragu atau tidak tegas), lêja (marah?), kuhaka (menipu), metraya (berkata kasar dan memaksakan kehendak?), megata (memutuskan hubungan persaudaraan), rāgastri (memiliki nafsu kepada wanita), kuṭila (berbuat curang atau tidak jujur), bhakṣabhuwana (serakah dan ingin berkuasa), kumburu (menghasut) (Zoetmulder, 1982:202).

Selanjutnya dalam Kakawin Sutasoma yang ditulis oleh Mpu Tantular dari masa Majapahit dalam pupuh (IV:6-7) diceritakan adanya seorang pandita guru yang memiliki banyak murid, wanita-wanita cantik, pertapa, dan juga janda dari para prajurit yang gugur dalam pertempuran. Pandita guru tersebut pura-pura mengajarkan dharmma, namun yang dilakukannya malah mengajak bersenggama. Dalam baris selanjutnya diceritakan bahwa perbuatan yang demikian itu akan menyebabkan bencana, meskipun benar kalau murid harus mematuhi guru seperti mematuhi orang tuanya sendiri. Namun kalau guru bertindak jahat maka yang terjadi hanyalah kekeringan, hujan turun salah musim, gagal panen, sepuluh penjuru mata angin dilanda ketakutan, kejahatan terjadi di mana-mana, dan wabah penyakit tanpa akhir (Mastuti & Brahmantyo, 2009:16-17). Adanya guru atau dewaguru yang memiliki sifat-sifat buruk seperti yang telah tersebut di atas dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno wajib untuk dihindari. Meskipun wajib mematuhi perintahnya namun kalau berbuat jahat maka tidak perlu diteladani. Karena tidak sepantasnya dilakukan dan hanya akan membawa kepada perbuatan dosa dan sebuah bencana.


C. Penutup

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap menghormati guru pada masa Jawa Kuno wajib dilakukan oleh masyarakat dari seluruh lapisan dan golongan. Masyarakat masa Jawa Kuno menurut Casparis (1985:58) terdiri dari golongan yang tinggal di istana, luar istana yaitu di desa atau wanwa, serta yang tinggal di lingkungan keagamaan berada di tengah hutan atau lereng gunung. Semua golongan masyarakat tersebut wajib menghormati guru, hal ini didukung dengan hasil kajian terhadap sumber tekstual baik naskah kuno, prasasti, maupun inskripsi dari masa Jawa Kuno yang telah dibahas satu persatu dalam karya tulis ini. Menghormati guru pada golongan masyarakat dari kalangan istana, misalnya pernah dilakukan oleh Raja Sanjaya dan anaknya yaitu Rakai Panangkaran sama-sama memiliki sikap hormat dan patuh kepada guru. Hal ini juga tertulis dalam Kakawin Sutasoma sebagai karya sastra yang digubah di lingkungan keraton, juga menyinggung tentang pentingnya menghormati guru. Aturan menghormati guru dari golongan masyarakat yang tinggal di lingkungan keagamaan (maṇḍala atau kadewaguruan), dibuktikan dalam Inskripsi Kebun Karet Tulungagung dan relief cerita Raja Aridarma dari Situs Jawar di Ampelgading, Malang. Selanjutnya aturan menghormati guru juga tertulis dalam prasasti masa Jawa Kuno dari masa Balitung (Kerajaan Mḍang atau Mataram Kuno) sampai Krtajaya (Kerajaan Kaḍiri).

Pentingnya menghormati pada masa Jawa Kuno, yaitu karena guru dianggap sebagai ayah atau orang tua yang harus dipatuhi dan dihormati oleh anak didiknya. Selain itu karena guru adalah orang yang mampu diteladani, khususnya dalam mencapai sebuah kesempurnaan hidup di dunia maupun di akhirat. Orang yang tidak berbakti kepada guru sama dengan tidak berbakti kepada raja, dan itu termasuk dalam lima dosa besar (pañca mahātāka). Namun harus diwaspadahi tentang adanya ajaran dari seorang guru yang tidak benar, dan itu wajib untuk dihindari karena hanya akan membawa manusia pada perbuatan dosa dan jalan tidak benar.

Karya tulis ini masih merupakan karya kecil yang banyak kekurangan. Dengan demikian diharapkan adanya penelitian lebih lanjut tentang sikap patuh dan menghormati guru pada masa Jawa Kuno. Penulis berharap akan ada para peneliti lain yang tertarik dalam menulis karya tulis yang memiliki manfaat dalam menumbuhkan sikap keteladanan bagi masyarakat pada masa dewasa ini. Jadi sejarah tidak hanya mengukir cerita para raja dan prajuritnya saja yang selalu berperang dan kemudian menang, akhirnya mendirikan tugu kemenangan sebagai ajang pencitraan. Lebih bijaknya sejarah juga mengkaji tentang peristiwa maupun aspek lain dari kebudayaan masa lalu yang dapat memberikan keteladanan khususnya bagi peserta didik tingkat Sekolah Dasar sampai tingkat Sekolah Lanjutan Atas.


Daftar Pustaka

Atmojo, S.K. 1986. “Mengungkap Masalah Pembacaan Prasasti Pasrujambe,” Berkala Arkeologi, VII (1): 39-55.

Brandes, J.L.A. 1913. Oud Javaansche Oorkonden (OJO), Verhadelingen van het Bataviaasch Genootschap van kunsten en Wetenschappen (VBG), Dell. L, Batavia Albrecht & Co, ‘s Hage M. Nijhoff.

De Casparis, J. G. 1985.” Sedikit Tentang Golongan-golongan di dalam Masyarakat Jawa Kuno,” Amerta II (6): 54-59.

Dipodjojo, A.S. 1983. Cerita Binatang dalam Beberapa Relief pada Candi Sojiwan dan Mendut. Yogyakarta: Lukman Offset.

Hardiati, E.S., Djafar H., Soeroso, Ferdinandus, P.E.J., & Nastiti, T.S. 2010. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Hasan, S.H., Wahab, A. A., Mulyana, Y., Hamka, M., Kurniawan, Anas, Z., Nurlaili, L., Listiyani, M., Jarwadi, Chatarina, M., Waluyo, H., Wirantho, S. A., Paresti, S., Ismail, B., & Indarti, E. 2010. Bahan Pelatihan: Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan NilaiNilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum.

Mardiwarsito, L. 1983. Tantri Kāmandaka: Naskah dan Terjemahan dengan Glosarium. Flores: Nusa Indah.

Mastuti, D.W.R. & Bramantyo, H. 2009. Kakawin Sutasoma: Mpu Tantular (S.O. Robson, N. Magetsari, H. Santiko, P. Wahyono, & R.P. Soejono, Eds.). Depok: Komunitas Bambu.

Nugroho, A.P. 2015. Pesan Moral Edukatif Relief di Maṇḍala Kadewaguruan pada Situs Jawar di Ampel Gading, Malang Masa Majapahit (Abad XIV-XV Masehi). Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Fakultas Ilmu Sosial UM.

Pigeaud, Th.G.Th. 1960. Java in the 14TH Century a Study in Cultural History: The Nagarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 A.D (Volume I). The Hague: Martinius Nijhoff.

Tim Penulisan Naskah Pengembangan Media Kebudayaan Jawa Timur. 1977. Naskah Lama Daerah Jawa Timur Kunjarakarna 1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Trigangga, 2003. Tiga Prasasti Batu Jaman Sindok. Jakarta: Museum Nasional.

Santiko, H. 1986. “Mandala (Kadewaguruan) pada Masyarakat Majapahit,” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IV (hlm. 149-169). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Santiko, H. 2012. “Agama dan Pendidikan Agama pada Masa Majapahit,” Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, XXX (2):123-133.

Santiko, H. 2012. Dua Dinasti di Kerajaan Matarām Kuna: Tinjauan Prasasti Kalasan. Makalah Seminar Internasional Epigrafi dan Sejarah Kuno Indonesia di Universitas Indonesia, 5 Desember 2012.

Sukendar, H., Simanjutak, T., Eriawati, Y., Suhadi, M., Prasetyo, B., Harkantiningsih, N., & Handini, R. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Zoetmulder, P.J. 1982. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Terjemahan Darusuprapta &
Sumarti S. 1994. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

*******

Pambudi-5Sang Pahlawan Bagi Penulis, Almarhum Kakek Canggah Murdi (kiri) dan  Almarhum Kakek Buyut Kasrianto (kanan)

Artikel ini ditulis dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2016. Sekaligus untuk mengenang jasa almarhum Kakek Canggah Murdi yang dulu pernah menjadi Kepala Sekolah di masa pendudukan Jepang dan almarhum Kakek Buyut Kasrianto yang juga menjadi Kepala Sekolah pada masa Orde Baru. Mereka berdua itulah bagi penulis merupakan pahlawan tanpa tanda jasa yang juga pernah ikut berjuang dalam mencerdaskan anak bangsa di negeri ini.

Aang Pambudi Nugroho
Komunitas Jawa Kuno Sutasoma
Email: aangpambudinugroho@gmail.com


Tinggalkan komentar

Kategori