Oleh: hurahura | 17 April 2017

Memori Masa Lalu Kumitir: Catatan Pasca Kasus Perusakan-Penjarahan Bata Kuno di Kumitir

Kumitir-yogi-1Situs Kumitir setelah penjarahan bata kuno (Foto: Yogi Mahadev)

Kumitir bukan tidak dikenal pada masa lampau, lebih-lebih pada masa kerajaan Majapahit atau negara Wilwatikta. Nama kumitir disebutkan setidaknya dalam beberapa bukti sejarah, misal saja yang paling terkenal adalah Nāgarakṛtāgama/Deśawarnana karya Prapañca, Pararaton, dan sebuah kidung yaitu Wargasari. Selain itu, sebaran tinggalan arkeologi pada wilayah ini jelas memperlihatkan eksistensi Kumitir pada masa lampau. Karakter alam Kumitir juga sangat penting untuk mendukung letak pusat kerajaan Majapahit secara geografis.

Nāgarakṛtāgama merupakan pujasastra anggitan Prapañca, seorang pujangga istana yang sekaligus menjabat sebagai pejabat keagamaan pada masa pemerintahan Rājasanagara (Hayam Wuruk). Sejak naskahnya ditemukan pada 1894 di Puri Cakranegara, Lombok, disusul penemuan naskah serupa pada 1978 di Klungkung dan Karangasem, Bali, Nāgarakṛtāgama menempati posisi penting dalam historiografi Majapahit. Kajian terhadap naskah ini tidak akan pernah berhenti sebab sampai sekarang, identifikasi yang diungkapkan Rakawi Prapañca yang ia selesaikan pada 1369 M itu belum memuaskan harapan rekonstruksi lengkap untuk sejarah dan kota Majapahit.

Meskipun begitu Nāgarakṛtāgama secara khusus memberikan gambaran kondisi ibukota kerajaan Majapahit pada paruh kedua abad ke-14 M. Uraiannya tak hanya pada gambaran fisik ibukota Majapahit yang syarat dengan kompleks-kompleks bangunan dengan batas-batas berupa pagar bata merah, fokus pada perjalanan Raja Hayam Wuruk dalam lawatannya ke daerah selatan dan timur (menuju lumajang) memberikan data menarik nama-nama daerah yang dilalui dalam perjalanan tersebut (toponim masa lalu). Tak hanya itu, uraian nama-nama tempat yang sebagian besar sudah dapat diperkirakan lokasinya pada masa sekarang mengandung informasi mengenai peran dan posisi daaerah-daerah itu. Kita sering menjumpai keterangan Prapañca tentang keberadaan bangunan suci baik dengan latar belakang siwa, buddha maupun karesiyan disertai namanya dan nama daerah tempat pendiriannya.


Bangunan suci pendharmaan

Kumitir disebutkan sebagai nama sebuah tempat dalam Nāgarakṛtāgama pupuh 41:4. Nama daerah ini disebut sebagai tempat berdirinya sebuah bangunan suci pendharmaan yang berlatar agama śiwa dengan arca śiwa yang indah. Beliau adalah Narasinghamurti yang meninggal setelah tahun 1268 M, tidak lama setelah Raja Singhasari ke-6 (berdasarkan analisis prasasti Mula-malurung 1255 M) yaitu Wisnuwardhana. Pupuh ini lebih lanjut memberikan keterangan bahwa bangunan suci tersebut dibangun oleh Bhre (Bhatāra i) Wĕngkĕr (bernama Wijayarajasa, paman raja). Baik Nāgarakṛtāgama maupun Praraton mengenal Narasinghamurti memiliki garis keturunan dari pendiri wangsa Rajasa atau Ken Angrok.

Narasinghamurti atau Mahesa Cempaka merupakan anak dari Mahesa Wonga Tĕlĕng, yang lahir dari perkawinan antara Ken Angrok dan Ken Dedes. Beliau mempunyai nama lain yaitu Nararya Waning-Hyun dalam keterangan yang didapatkan dalam Pararaton dan prasasti Mula-Malurung (1255 M). Mahesa Cempaka yang didharmakan di Kumitir menurut Nāgarakṛtāgama mendampingi Raja Wisnuwardhana sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Jabatan ini tidak ditemukan selain saat Wisnuwardhana dinobatkan sebagai Raja, kemungkinan besar bahwa jabatan ini merupakan jabatan politis karena Mahesa Cempaka yang merupakan sepupunya itu juga memiliki hak terhadap takhta Singhasari. Lebih lanjut para ahli sering menganggap fenomena ini sebagai penyatuan dan deklarasi damai dari garis keturunan yang berbeda dalam keluarga kerajaan Singhasari yang sebelumnya sering terjadi konflik perebutan kekuasaan. Anggapan ini berdasarkan informasi dari kedua sumber terkenal yang menggambarkan hubungan kedua saudara satu ibu Ken Dedes ini  “kadi naga loro salêng” atau “bagaikan dua ekor naga dalam satu liang” dalam Praraton sedangkan Nāgarakṛtāgama menyebutkannya bagaikan Kresna dan Baladewa (dua saudara akrab dalam Mahabharata). Singkatnya,  Narasinghamurti ini mempunyai anak yang bernama Dyah Lembu Tal, ayah Raden Wijaya, jadi tokoh ini tidak lain adalah kakek dari Raden Wijaya (Raja Kṛtarajāsa) pendiri kerajaan Majapahit.

Sedangkan dalam Pararaton ditemui perbedaan nama Kumitir yang disebutkan sebagai Kumĕpĕr, Narasinghamurti atau Mahesa Cempaka meninggal dan didharmakan di Kumĕpĕr dan sebagian abunya ditempatkan di Wudi-Kuncir, menurut Praraton. Tidak jelas dimana letak Wudi-Kuncir ini, seperti pada kebiasaan seorang raja yang didharmakan di dua atau lebih tempat yang berbeda kemungkinan letak Wudi-Kuncir ini harus dicari diluar/selain di wilayah Kumitir dan sekitarnya. Karena dharmanya yang lain di Kumĕpĕr memiliki kemiripan dengan nama Kumitir seperti yang dijelaskan dalam Nāgarakṛtāgama, besar kemungkinan bahwa tidak lain yang dimaksud dalam Pararaton itu adalah Kumitir yang namanya masih dikenali hingga sekarang.


Kidung Wargasari

Sebuah kidung lain yang memberikan informasi mengenai nama Kumitir yang sepertinya tidak boleh dilewatkan adalah kidung Wargasari, kidung ini pernah diuraikan secar singkat oleh S.O. Robson (1979) dalam tulisannya “Notes On The Early Kidung Literature.” Karya sastra kidung memang banyak memasukkan adegan cerita diluar nalar yang lebih dapat diistilahkan sebagai cerita mistis, tetapi adegan dalam cerita kidung ini tentunya terispirasi dari lingkungan asli dan itulah kenapa kita masih bisa menemui nama-nama tempat dan beberapa peristiwa masa lampau yang terbukti bisa dipertanggungjawabkan sebagai data dalam penelitian masa lampau.

Kidung Wargasari yang menyebutkan nama daerah Kumitir ini secara ringkas menceritakan kisah perjalanan seorang tokoh yang bernama Wargasari bersama Narawati, kekasihnya. Wargasari adalah seorang pemuda dari (Desa?) Wĕwĕntih yang ditugaskan oleh neneknya untuk memperdalam ilmu agama kepada kakeknya yaitu Rakawi Padlĕgan di Majapahit. Berangkatlah ia meninggalkan Wĕwĕntih menuju ke arah utara, setelah melewati beberapa desa dan bermalam disana pada suatu pagi Wargasari mendengar kokok ayam jantan yang setelah dia ikuti berada di sebuah tempat yang bernama Sapukul/Sagada. Di desa tersebut akhirnya Wargasari menikah dengan Wedarasmi dengan persetujuan orang tuanya, sepuluh hari setelah pernikahan itu Wargasari datang ke sebuah tempat suci (darma) yang bernama panilĕman dan bertemu dengan Narawati yang selanjutnya diketahui sebagai adik dari istrinya, Wedarasmi. Di tempat itu Wargasari takjub oleh kecantikan Narawati, hingga selanjutnya dalam melanjutkan perjalanannya menuju Majapahit Wargasari membawa serta Narawati secara diam-diam karena sudah terlanjur jatuh hati pada adik istrinya itu.

Dalam perjalanan Wargasari bersama Narawati mendaki sebuah bukit dan menemukan sebuah Desa Saren di arah utara yang dari tempat itu ia sudah dapat melihat Bubat (lapangan bubat). Disebutkan bahwa daerah tinggi itu bernama Sajabung, Wargasari melanjutkan perjalanan menuju Lĕmah Tulis yang ia ketahui sebagai tempat tinggal kakeknya Rakawi Padlĕgan. Selanjutnya ia melewati banjaran Gĕtas menuju ke Kumitir, setelahnya Wargasari menuju arah utara melewati pekarangan paminggir, mungkin saja tanah lapang pinggiran kota Majapahit dan akhirnya sampai juga di Lĕmah Tulis pada senja hari. Yang menarik perhatian adalah nama-nama tempat yang dilalui oleh Wargasari dalam perjalanannya, saat berada di Sajabung yang dapat diidentifikasikan dengan Desa Lebak Jabung, Wargasari menuju ke arah utara mungkin melewati jalan  Desa Dinoyo dan Sumengko sekarang melewati Banjaran Gĕtas, saat ini menjadi Dusun Getas Desa Tampungrejo Kec. Puri di sisi timur kali Brangkal (sebelah timur Desa Kumitir).

Perjalanan Wargasari kemudian dapat diidentifikasikan menuju arah barat ke Desa Kumitir, kemudian menuju ke Lĕmah Tulis. Tempat terakhir yang menjadi tujuan Wargasari ini dalam Calon Arang merupakan tempat tinggal pendeta Buddha terkenal yaitu Mpu Bharada pada masa Airlangga. Sepeninggal Mpu Bharada kitab Calon Arang menerangkan bahwa Lĕmah Tulis diwarisi oleh murid beliau dengan nama Murare, nama ini mengingatkan pada kuburan Wurarê yang menjadi tempat pentahbisan arca Buddha Mahāksobhya oleh Raja Kṛtanagara yang disimbolisasikan sebagai pemersatu wilayah dan penangkal bahaya, mungkin saja anggapan ini bisa ditarik menjadi salah satu alasan pemilihan lokasi ibukota Majapahit pada masa sesudahnya. Arca ini ditemukan di dusun Kedungwulan Desa Bejijong, Trowulan yang juga membuat Maclaine-Pont dalam rekonstruksi kota Majapahitnya pada 1926 mengidentifikasikan Lêmah Tulis berada di wilayah ini.

Demikian berdasarkan identifikasi kidung Wargasari lokasi Kumitir berada di timur pusat kota Majapahit yang sesuai dengan letak Desa Kumitir sekarang. Mengenai persoalan mengapa Wargasari tidak langsung mengarah ke barat menuju Lĕmah Tulis atau Kedungwulan, Bejijong sekarang melainkan memilih menyisir ke arah pinggiran batas kota kerajaan Majapahit adalah hal yang lain, tetapi penjelasan ini menguntungkan kita untuk mengetahui lokasi Kumitir pada masa itu. Meskipun identifikasi Kumitir menunjukkan bahwa wilayah ini merupakan wilayah luar atau batas ibukota Majapahit seperti yang juga diungkapkan oleh Hadi Sidomulyo yang menguraikan batas-batas kota Majapahit pada 2007, Kumitir jelas mengandung memori masa lalu yang penting.


Waduk kuno

Selain menjadi tempat didharmakannya Narasinghamurti, kakek Raja Kṛtarajāsa (Raden Wijaya) pendiri kerajaan Majapahit yang berperan dalam pendamaian perebutan kekuasaan yang terjadi di Singhasari abad ke-12 M, Kumitir yang berada tepat di ujung kipas alluvial jatirejo memiliki peran penting secara geografis. Kumitir telah dicatat oleh peneliti terdahulu dalam OV 1926 memiliki sebuah waduk, waduk itu merupakan salah satu dari enam buah waduk kuno lain yaitu waduk Baureno, Keraton, Temon, Domas, dan Kedungwulan. Sekarang kondisinya banyak yang sudah tidak tampak lagi, kecuali waduk Kumitir yang berada pada areal sawah sebelah timur laut candi Tikus, penduduk sekitar menamakannya “Rowo Kumitir” karena sampai sekarang wilayah ini masih tergenang air.

Perhatian terhadap waduk-waduk kuno pada bekas ibukota kerajaan Majapahit di Trowulan telah menarik beberapa ahli untuk menelitinya. Salah satu yang terbaik adalah yang telah dilakukan pada 1983 oleh Karina Arifin. Berdasarkan tinjauan geomorfologi diketahui bahwa waduk-waduk kuno memiliki peran penting sebagai pengendali banjir dan penyaring sedimen yang datang dari arah selatan (pegunungan Arjuno, Welirang dan Anjasmoro). Karakter dari bentukan kipas alluvial yang memungkinkan banyak sedimen mulai dari yang paling kasar sampai lempung halus jauh lebih cepat tertransportasi, akibatnya trowulan sangat potensial menumpuk semua sedimen-sediman tersebut. Meskipun ada keuntungan di satu sisi bahwa fenomena alam ini mengakibatkan melimpahnya sumber air, tingginya muka air tanah dan melimpahnya bahan baku untuk membangun bangunan bata (lempung). Posisi Welirang yang berada agak sedikit ke selatan dibanding kedua gunung yang sejajar lain (Arjuno dan Anjasmoro) juga seakan akan memberikan pintu masuk terutama saat terjadi bencana gunung api, terlebih ada potensi bencana masa lalu dari letusan gunung Arjuno atau bahkan gunung Anjasmoro yang material sedimennya banyak mengubur wilayah trowulan sekarang.

Peran Waduk Kumitir jika dilihat dari posisinya menurut Karina Arifin memliki fungsi menampung luberan air dari waduk Baureno yang berada di selatannya. Waduk Baureno yang memiliki penampang terbesar ini menampung air dengan sedimen-sedimen besar yang memungkinkan waduk-waduk setelahnya termasuk Kumitir memperoleh tangkapan yang lebih baik. Waduk itu pun berfungsi lebih baik untuk distribusi air ke lahan-lahan pertanian maupun menuju waduk lainnya karena ada indikasi waduk kumitir  berhubungan/dihubungakn oleh jalur kecil (sungai) menuju waduk Keraton yang lokasinya berada di utara Gapura Bajangratu.

Sekarang ini Desa Kumitir masuk dalam administrasi Kecamatan Jatirejo, Mojokerto yang berada tepat di selatan Kecamatan Trowulan. Desa ini terdiri dari tiga dusun dengan kenampakan pemukiman memanjang arah barat-timur dengan batas timur jalan raya Brangkal-Jatirejo yang membujur utara-selatan yang jika diteruskan ke selatan bisa mencapai lereng Anjasmoro di Kecamatan Wonosalam, Jombang. Sebelah selatan pemukiman desa terdapat lahan pertanian luas dengan lahan makam dan sebagian besarnya dimanfaatkan sebagai lahan pembuatan bata (linggan/tobong). Sekitar kurang dari dua minggu yang lalu di area inilah sumber dari berita mengegerkan yaitu kasus perusakan dan penjarahan bata kuno yang dipercaya sebagai peninggalan kerajaan Majapahit.

Jika menelusuri desa ini pada area yang disebutkan sebagai lahan pertanian luas di atas, selain tobong pembuatan bata dan bekas perusakan bata kuno sebenarnya banyak sekali sebaran tinggalan arkeologis yang jenisnya sangat beragam. Lokasi-lokasi makam desa, makam keramat dan punden dusun yang berupa arca, sumur kuno, sebaran bata kuno dan batu candi masih dapat dijumpai pada area yang luas. Pertanyaan tentang dimana letak dharma atau candi Narasinghamurti yang dibangun oleh Bhre Wengker (Wijayarajasa) dan dimana letak waduk kuno Kumitir nampaknya akan segera terjawab pada area ini. Memang lokasi yang dirusak dan dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu sangat padat tinggalan arkeologis terutama bata kuno. Sebelah selatan sampai utaranya masih terlihat tatanan bata kuno serupa yang membentuk sebuah tatanan atau struktur. Kiranya Kumitir memang sebuah wilayah kuno yang menjadi batas sebelah timur ibukota Majapahit yang penting, karena memiliki karakter tinggalan (warisan budaya) yang kompleks mulai dari pemukiman kuno, bangunan suci hingga sarana pendukung seperti waduk. Akhir kata selamat menyambut Hari Warisan Dunia, World Heritage Day 18 April, semoga yang terbaik untuk warisan budaya kita yang senantiasa kita harapkan.


Daftar Pustaka

Arifin, Karina. 1983. “Waduk dan Kanal di Pusat Kerajaan Majapahit Trowulan-Jawa Timur.” Skripsi UI. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Maclaine-Pont, H. 1926. “Eenige Odheidkundige Gegevens omtrent den middeleeuwschen bevloeiingstoestand van de zoogenaamde Woeste Gronden van de Leiden van Trik.” OV Eeerste en Tweede Kwartaal 1926:101-129.

Robson, S.O. 1995. Deśawarnana (Nāgarakṛtāgama) by Mpu Prapañca Translated by Stuart Robson. Leiden: KITLV Press.

************

Penulis: Yogi Pradana


Tinggalkan komentar

Kategori