Oleh: hurahura | 28 September 2011

Hulu Keris Merekam Jejak Keberagaman

KOMPAS/RIZA FATHONI
Pengunjung mengamati koleksi hulu keris yang dipamerkan di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (8/7). Sekitar 150 hulu keris koleksi Aswin Wiryadi dari kawasan budaya Melayu, Jawa, dan Bali dipamerkan.

KOMPAS, Sabtu, 24 Sep 2011 – Keris merupakan senjata tikam tradisional Indonesia yang berbentuk khas. Berbeda dengan senjata lain, seperti tombak, belati, atau pedang, keris bukan sekadar alat untuk membunuh lawan. Benda ini sarat dengan nilai-nilai simbolik.

Nilai-nilai simbolik ini salah satunya diwujudkan pada hulu (gagang) keris. Beragam bentuk karya seni rupa pada hulu keris merekam jejak peradaban dan kebudayaan di masa lalu, seperti status sosial masyarakat pada masa itu, nilai-nilai yang mereka anut, serta mitos-mitos. Bahkan, melalui hulu keris bisa dikaji landasan kebudayaan pada masing-masing zaman.

Keris merupakan senjata yang dipakai sejak masa prasejarah, sebelum kebudayaan Hindu-Buddha masuk Indonesia. Karena itu, seni rupa pada hulu keris bentuknya sangat beragam. Keragaman dan keindahan hulu keris ini menarik sebagian kolektor keris menjadi kolektor yang khusus mengoleksi hulu keris.

Akan tetapi, sampai sekarang belum begitu banyak kolektor yang khusus mengoleksi hulu keris. Para ahli juga belum banyak yang tertarik mem-buat kajian ilmiah tentang hulu keris.

”Ahli arkeologi lebih sering melihat sejarah dari relief candi atau artefak lain. Mereka jarang yang mengkaji ragam hias pada hulu keris untuk mengungkap kebudayaan masa lalu,” tutur Toni Junus, kolektor hulu keris yang juga pelestari keris Indonesia, Jumat (23/9), di Jakarta.

Upaya untuk mengungkap simbol-simbol pada hulu keris ini masih sangat sulit dilakukan mengingat terbatasnya literatur atau dokumen tentang hulu keris. Deni Hermantono, kolektor hulu keris khas Cirebon yang juga pelestari budaya Cirebon, mengatakan, di Indonesia hanya ada dua buku yang khusus membahas soal hulu keris.

Sebagian besar literatur yang ada banyak mengungkap tentang bilah dan kerangka keris. ”Saya harus ’blusukan’ mencari para sesepuh di Cirebon yang mengerti budaya Cirebon agar bisa memahami ragam hias pada hulu keris koleksi saya,” kata Deni yang memiliki sekitar 200 hulu keris khas Cirebonan.

Hulu keris merupakan karya seni rupa yang bisa dinikmati secara terpisah dari keberadaan keris secara keseluruhan. Beberapa kolektor kini hanya mengoleksi hulu keris tanpa menyertakan bagian keris lain.


Sejak zaman Hindu-Buddha

Dalam buku Ragam Hulu Keris Sejak Zaman Kerajaan karya Suhartono Rahardjo disebutkan, pada awal kebudayaan Hindu-Buddha, keris mulai dikenal masyarakat. Bentuk kerangka dan hulu keris pada zaman itu bisa terlihat pada relief legenda Khrisnayana di Candi Penataran Blitar, Jawa Timur, yang berangka tahun 1415. Keris menyebar ke hampir seluruh Nusantara, sejalan dengan pengaruh Kerajaan Majapahit.

Zaman dulu, keris menunjukkan status sosial pemakainya. Oleh karena itu, hulu keris selalu dibuat paling indah dibandingkan dengan bagian keris lain. Pada saat keris diselipkan di pinggang, bagian yang paling terlihat adalah hulu keris. Kerangkanya tidak begitu terlihat karena sebagian tertutup pakaian. Hulu keris juga mewakili simbol-simbol yang ingin ditampilkan pemiliknya, seperti lambang kekuatan, sebagai penolak bala, simbol ketenangan, perlindungan, dan lain-lain.

Setiap daerah memiliki ciri khas hulu keris masing-masing sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakatnya. Hulu keris Madura, misalnya, memiliki ornamen dasar kembang temu (bunga tanaman jahe) dan ragam hias binatang, seperti kuda terbang, naga, burung, dan lain-lain. Adapun Cirebon dikenal memiliki desain hulu keris mega mendung, tumpal (batu karang), dan ornamen tumbuhan.

Menurut Toni, sebelum Islam masuk Nusantara sekitar abad ke-15, hulu keris berbentuk antrophormisme (menggambarkan arca berbentuk manusia atau makhluk yang dimitoskan memiliki kekuatan). Bentuk-bentuk arca itu, kata Toni Junus, masih bisa ditemukan pada keris-keris beberapa daerah di Sumatera, Cirebon, Madura, Bali, dan daerah Nusa Tenggara. Hulu keris Bali yang sangat dikenal adalah bali togogan. Ragam bali togogan ini menggambarkan bermacam karakter, seperti Dewa Indra, Ganesha, Jatayu, Durna, dan raksasa.

Koleksi hulu keris terpisah dari keris diperkirakan berkembang sejak zaman pemerintahan Paku Buwono X. Selain untuk cendera mata, keris koleksi Paku Buwono X digunakan untuk pajangan.

Hulu keris yang dibuat pada masa kini biasanya sudah keluar dari pakem. Sebagai bentuk ekspresi seni rupa, hulu keris memiliki pesan tersendiri. Hulu keris loro blonyo (pasangan suami istri duduk bersama) yang masih berkembang di Solo, misalnya, merupakan simbol keharmonisan rumah tangga.

Karena digemari, hulu keris sebagai koleksi ataupun pajangan ini masih diproduksi di Yogyakarta, Solo, Madura, Bali, dan Lombok. Bahkan, menurut Toni, hulu untuk golok dibuat di Banten.

Hulu keris dibuat dari bermacam material, seperti kayu, gading, emas, perak, bahkan gerabah. Perkembangan ragam hulu keris ini ada yang mengikuti pakem, tetapi ada pula yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan.


Dipengaruhi pertunjukan

”Perkembangan seni pertunjukan ikut memengaruhi ragam hias hulu keris. Hulu keris merupakan bagian dari aksesori pentas,” kata Toni.

Toni menduga, geliat seni pertunjukan yang hidup di kalangan rakyat di Cirebon mendorong kebebasan berekspresi para pembuat keris daerah tersebut sehingga Cirebon dikenal memiliki banyak ragam hulu keris dibandingkan dengan daerah lain. Hal yang sama terjadi di Bali.

Namun, ahli hulu keris lain memiliki pandangan berbeda. Suhartono dalam bukunya menyatakan, hulu keris berkembang pesat karena ada ”campur tangan” kerajaan atau keraton sebagai pusat kekuasaan dan kebudayaan. Kerajaan ini mengembangkan bentuk-bentuk hulu keris yang berbeda sebagai identitas wilayah kekuasaannya.

Ketika Islam masuk ke Nusantara, hulu keris mengalami perubahan bentuk mendasar. Hulu keris yang tadinya berupa arca menjadi bentuk sederhana, seperti ornamen tumbuhan, kaligrafi, untuk menyamarkan bentuk hewan dan manusia atau sekadar berbentuk batang melengkung sederhana.

Keragaman hulu keris menggambarkan betapa mudahnya bangsa ini berakulturasi dengan berbagai kebudayaan yang masuk Nusantara ini. (Lusiana Indriasari)


Tinggalkan komentar

Kategori