Oleh: hurahura | 7 Juli 2011

Penerapan “Cultural Resource Management” dalam Arkeologi

Oleh: Bambang Sulistyanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional


Abstrak:

Cultural Resource Management (CRM) merupakan upaya pengelolaan sumber daya budaya yang memperhatikan kepentingan berbagai pihak. Konsep CRM dalam batasan luas menempatkan masyarakat sebagai bagian yang integral atau tidak terpisahkan dalam proses pengelolaan sumber daya arkeologi. Oleh karena itu, agar berbagai kepentingan tersebut dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik, maka kinerja CRM sudah pasti akan melibatkan banyak, pihak mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Kinerja CRM cenderung lebih menekankan pada upaya pencarian solusi terbaik dan adil agar kepentingan berbagai pihak dapat terakomodasi secara bijak.

Dalam konteks demikian, jelas perbedaan antara kinerja CRM dengan arkeologi. Perbedaan tersebut hadirnya dimensi-dimensi baru di dalam CRM yang tidak ada dalam kinerja arkeologi sebelumnya. Dimensi-dimensi yang dimaksud berkaitan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya eksternal di luar kepentingan arkeologi, seperti aspek ekonomi, pendidikan, kepariwisataan, masyarakat, serta aspek hukum aspek politis. Dengan perkataan lain kinerja CRM sangat peduli terhadap kepentingan stakeholders yang heterogen sifatnya. Konsep kinerja seperti ini kurang terlihat pada kinerja disiplin arkeologi pada umumnya yang cenderung lebih menekankan pada aspek pelestarian bendawi. Kinerja CRM tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian bendawi, tetapi juga memikirkan pemanfaatan dalam arti mampu memunculkan kebermaknaan sosial suatu warisan budaya di dalam kehidupan masyarakat. Menghadirkan kembali kebermaknaan sosial inilah yang sebenarnya merupakan hakekat kinerja CRM.

Kata kunci: Cultural Resource Management, hakekat, perbedaan kinerja, kepentingan eksternal dan kebermaknaan sosial.


Abstract

Application Cultural Resources Management in Archaeology as a Discipline

Cultural Resource Management (CRM) attempt to manage the related cultural resource in respect with the interest of many parties. In broader sense, CRM positioned the people as an integral part of the process of managing archaeological resources. In order to be able to wisely accommodate such interest and prevent the eruption of conflicts, it is necessary to involve many parties –in planning, implementing until evaluating– in the CRM performance. Therefore, the CRM performance tends to stress on the effort of problem solving and to seek the best and the most reasonable solution.

In regard to the above context it is obvious that there is a difference between the performance of CRM and archaeology in general. The performance differences between the two are noted on new dimensions developed in the CRM performance which cannot be found in that of archaeology. The new dimensions are related to external aspects of archaeological interests such as economy, education, tourism, community, politic and regulation. In other words, the CRM performance concerns with the heterogenic interest of stakeholders. Such concept of performance is not observable in the broad-spectrum of archaeological performance, which is likely to focus on the aspect of material culture preservation. Hence, the performance of CRM does not terminate at the preservation of material culture instead it also involves the benefiting of material culture in respect to the ability to disclose the social significance of cultural heritage in the life of the people, which is the essence of performance CRM.

Keywords: cultural resource management, meaning, performance differences, external interest, heterogenic interest, benefiting cultural heritage and social significance.


1. Pendahuluan

Kalau konsep Cultural Resources Managemen (selanjutnya disingkat CRM), diartikan terbatas pada upaya pelestarian seperti yang terjadi pada masa sekarang, Maka CRM sudah dilakukan sejak lama, bahkan telah dipraktikkan sejak manusia tertarik mengumpulkan dan meneliti benda-benda purbakala. Apabila CRM diberi makna baru, dalam arti bukan sekedar pelestarian arkeologi, tetapi terdapat kepentingan eksternal yang harus diperhatikan, maka CRM belum banyak menarik perhatian para peneliti Indonesia untuk mengkaji. Fenomena kurangnya perhatian peneliti masalah itu, terbukti dari minimnya penelitian dan tulisan-tulisan yang mengkaji masalah tersebut.

CRM pertama kali mulai dikenal di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1980-an. Di Indonesia bidang garapan ini baru muncul sekitar tahun 1990-an, ketika ilmu arkeologi dihadapkan pada persoalan pembangunan yang memerlukan bentuk pengelolaan yang merujuk langsung pada kepentingan pengembangan dan pemanfaatan. Sebagai bagian dari ilmu arkeologi, CRM merupakan upaya pengelolaan sumber daya budaya secara bijak dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan banyak pihak yang masing-masing pihak sering kali bertentangan. Kinerja CRM cenderung lebih menekankan pada upaya pencarian solusi terbaik dan terbijak agar kepentingan berbagai pihak tersebut dapat terakomodasi secara adil (Tanudirjo, 1998: 15).

Pengertian di atas, menyiratkan kinerja bidang ilmu arkeologi ini tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian maupun penelitian, tetapi juga memikirkan pemanfaatan dan pengembangan dalam arti mampu menentukan arah kemana sumber daya arkeologi akan diarahkan, sehingga ia tidak lagi terlihat seperti benda mati dalam kehidupan masyarakat, tetapi memiliki kebermaknaan sosial (Byrne, et al, t.t.: 25). Memunculkan kembali kebermaknaan sosial inilah yang sebenarnya merupakan hakekat kinerja CRM. Kinerja seperti itu dapat dianalogikan seperti kinerja pemulung, yaitu upaya pengelolaan guna mempertahankan sumber daya arkeologi dalam konteks sistem dengan menyodorkan “makna baru” sesuai dengan konteks sosialnya (Tanudirjo 2004: 6).

Konsep pengelolaan yang diterapkan di Indonesia selama ini masih menjadi monopoli pemerintah yang berorientasi pada pengelolaan situs sebagai entitas bendawi (Prasojo, 2000:153). Konsep pengelolaan seperti itu, mengakibatkan terciptanya kondisi kurang kondusif, yang pada akhirnya memicu konflik kepentingan (Sulistyanto, 2006:577). Besarnya porsi upaya perlindungan dan pelestarian daripada pengembangan dan pemanfaatan juga menyebabkan pengelolaan sumber daya arkeologi terbatas pada upaya penyelamatan situs sebagai benda mati (Sonjaya, 2005:113). Konsep pengelolaan yang demikian merupakan konsep yang tradisional yang di beberapa negara maju sudah ditinggalkan diganti dengan konsep warisan budaya sebagai entitas bendawi (Byrne dkk, t.t.: 55-60).

Dalam era reformasi dan otononmi daerah seperti sekarang ini, posisi CRM memiliki peranan penting dan strategis di dalam menata, mengatur dan mengarahkan warisan budaya yang akhir-akhir ini seringkali menjadi objek perselisihan atau konflik. Melalui pendekatan partisipatoris yang melibatkan berbagai pihak yang berkepetingan terhadap sumber daya arkeologi, CRM mampu memberikan solusi yang cukup bijak di antara pihak yang terlibat konflik. Arkeolog perlu mengembangkan model pengelolaan berwawasan CRM., karena objek kajiannya bukan benda mati, melainkan benda hidup yang berada di tengah-tengah masyarakat yang berubah-ubah dari waktu ke waktu. Tugas arkeolog adalah menemukan kembali makna budaya sumber daya arkeologi dan menempatkannya dalam konteks sistem sosial masyarakat sekarang.


2. Peristilahan CRM

Dalam berbagai kajian CRM seringkali ditemukan banyak istilah, tetapi secara substantif istilah-istilah tersebut sebenarnya memiliki arti yang sama. Banyaknya istilah yang dipergunakan untuk menyebut CRM dapat mengecohkan, bahkan dikawatirkan berdampak pada kesalahan dalam memposisikannya. Kerancuan tersebut dimulai dari pemakaian kata (ke) budaya (an) yang pengertiannya jelas lebih luas dari pengertian archaeology atau historic. Namun dalam kenyataan label manajemen sumber daya budaya digunakan dalam makna yang sama dengan conservation archaeology maupun historic preservation (Cleere, 1989:4). Istilah manajemen sumber daya budaya, yang merujuk pada istilah dalam bahasa Inggris Cultural Resource Management pertama kali mulai dikenal di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1980-an, sedangkan di Australia disebut Management of Heritage Place (Pearson dan Sulivan, 1995:4), sementara di Jepang lebih menekankan pada Preservation of Cultural Properties (Larsen, 1994: 37).

Khusus mengenai conservation archaeology dan historic preservation, pada hakekatnya keduanya meliputi tindakan yang tidak jauh berbeda, yaitu masalah pelestarian fenomena fisik yang bersifat budaya. Historic preservation berkaitan dengan budaya material dan lingkungan binaan yang masih berlangsung atau berfungsi sampai sekarang, misalnya bentang lahan atau elemen kota yang bernilai sejarah, maka conservation archaeology lebih cenderung berkenaan dengan budaya bendawi dan lingkungan binaan yang telah mati, misalnya reruntuhan candi atau permukiman kuno (Yuwono, 1982/1983: 35-36). Oleh karena itu, historic preservation lebih sering dipergunakan di kalangan arsitek dan perencanaan kota, sementara conservation archaeology biasa digunakan dikalangan arkeolog.

Penyebutan isilah CRM tidaklah seragam di kalangan ahli arkelogi walaupun mereka masih dalam satu kesatuan negara. Pakar arkeologi di Amerika misalnya, di samping sebagian menyebut Cultural Resource Management, sebagian ahli lain menggunakan nama Conservation Archaeology (Schiffer dan Gumerman, 1977:244) atau Arkeologi Konservasi. Sementara itu, beberapa pakar arkeologi mengaitkan pengelolaan sumber daya arkeologi dengan Salvage Archaeology dan Rescue Archaeology, walaupun istilah ini tidak banyak digunakan. Bahkan sebagian pakar arkeologi lainnya mensejajarkan istilah tersebut dengan Public Archaeology atau Arkeologi Publik, istilah yang dipopulerkan oleh C.R. McGimsey III dengan bukunya yang berjudul Public Archaeology ( Gimsey, 1972).

Pengertian arkeologi publik itu sendiri dalam pelaksanaannya masih terdapat beberapa perbedaan. Paling tidak terdapat tiga pengertian yang berbeda 1). Arkeologi Publik dipersamakan dengan Contract Archaeology atau (CRM), yaitu berkaitan dengan pengelolaan sumber daya budaya. Cakupannya menjadi cukup luas, mulai dari konservasi sampai dengan masalah hukum/perundangan. 2). Arkeologi Publik diartikan sebagai bidang kajian yang membahas mengenai mempresentasikan hasil penelitian arkeologi kepada masyarakat. Cakupan kajiannya menjadi lebih sempit, karena yang paling utama dikaji masalah publikasi hasil penelitian arkeologi. 3). Arkeologi Publik didefinisikan sebagai bidang ilmu arkeologi yang khusus menyoroti interaksi arkeologi dengan publik ( Prasodjo, 2004: 1).

Berdasarkan pandangan tersebut, saya lebih cenderung mengartikan arkeologi publik sebagai teori atau strategi tentang bagaimana cara supaya warisan budaya dapat dimanfaatkannya sekaligus dipahami maknanya oleh masyarakat. Oleh karena itu saya lebih sependapat dengan pandangan ketiga tersebut di atas, yaitu arkeologi publik adalah bagian dari CRM yang secara khusus mempelajari interaksi arkeologi dengan publik dan juga sebaliknya antara publik ke arkeologi. Dengan demikian, interpretasi bukan hanya disampaikan oleh kalangan arkeologi kepada publik, tetapi publik juga diharapkan memberikan respon dan masukan kepada kalangan arkeologi dalam proses interpretasi. Interpretasi dua arah ini penting artinya untuk membangun komunikasi secara strategis antara arkeolog sebagai ilmuwan dengan masyarakat sebagai pengguna warisan budaya.

Kecenderungan arkeologi publik sebagai teori, sudah pasti akan memiliki seperangkat instrumen seperti misalnya metode bagaimana cara mempresentasikan pengetahuan masa lampu yang menarik kepada publik, baik secara formal di sekolahan-sekolahan atau secara informal melalui pelatihan-pelatihan kepada masyarakat. Dalam konteks ini, arkeolog dituntut mampu menyampaikan presentasi secara efektif dan dengan cara yang menarik kepada publik sebagaimana layaknya seorang “juru dongeng”. Dalam arkeologi publik sangat diperlukan melibatkan masyarakat dalam proses interpretasi terhadap masa lalu yang diteliti, sehingga tidak ada penjelasan yang tidak dimengerti oleh publik karena dianggap rumit. Sebagaimana diungkapkan Davis (1997: 86) jika metodologi dalam penelitian arkeologi secara umum dipandu oleh tujuan penelitian, maka arkeologi publik harus dipandu dengan pemahaman tentang “what is you want to teach” dan “whom you will be teaching to” . Konsep arkeologi publik dalam batasan luas selalu akan menempatkan masyarakat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pengelolaan warisan budaya.

Berbeda dengan CRM di Amerika, beberapa arkeolog di Inggris cenderung menggunakan istilah Archaeological Heritage Management (Cleere, 1989) yang dapat diterjemahkan sebagai Manajemen Warisan Budaya Arkeologi. Perbedaan penggunaan antara istilah ‘sumber daya budaya’ di Amerika dan ‘warisan budaya arkeologi’ di Inggris merupakan perwujudan adanya dua latar belakang keilmuan yang berbeda. Paradigma dalam mengartikan disiplin ilmu arkeologi di antara kedua negara tersebut (Inggris dan Amerika) menjadi faktor penyebab munculnya perbedaan istilah. Di Amerika, arkeologi dianggap sebagai bagian dari antropologi yang secara umum diakui sebagai ilmu budaya. Sebagai konsekuensinya mereka menggunakan istilah ‘sumber daya budaya’ untuk menyebut ‘sumber daya arkeologi’. Fenomena ini berbeda dengan negara Inggris, mempunyai latar belakang historis yang meletakkan arkeologi di bawah ilmu sejarah, sehingga istilah arkeologi melekat dalam konsep pemikiran mereka. Oleh karena itu, para ahli arkeologi lebih cenderung melihat benda-benda arkeologi sebagai warisan masa lampau (heritage), sehingga mereka merasa lebih tepat kalau menggunakan istilah ‘warisan budaya arkeologi’.

Pengertian istilah yang berbeda tersebut, mengacu pada pengertian yang sama, yaitu kesadaran terhadap pentingnya upaya pelestarian sumber daya arkeologi, karena sifatnya yang tak-terperbaharui (non-renewable), terbatas (finite), tak dapat dipindahkan (non movable), dan kontekstual (contextual). Istilah pengelolaan sumber daya arkeologi, akan dipergunakan dalam tulisan ini, karena dipandang lebih bersifat ke-indonesia-an daripada istilah manajemen sumber daya arkeologi [1].


3. Pandangan Para Ahli Tentang CRM

Banyak peneliti mengidentikkan pengelolaan sumber daya arkeologi adalah cabang dari ilmu arkeologi atau merupakan spesialisasi dari ilmu arkeologi yang mempelajari korelasi antara masyarakat dengan warisan budaya. Namun ada pula yang menafsirkan CRM merupakan salah satu pendekatan arkeologi. Sebelum membahas lebih jauh tentang perbedaan kedua ilmu tersebut, penting disimak terlebih dahulu pandangan para ahli tentang pengelolaan sumber daya arkeologi atau sumber daya budaya. Pandangan para ahli ini penting dikemukakan guna memperoleh pemahaman adanya perbedaan dalam mengartikan sesuatu yang sebenarnya memiliki makna yang tidak jauh berbeda.

Pengelolaan sumber daya arkeologi atau CRM, adalah cabang arkeologi yang mempunyai kaitan dengan pengembangan kebijakan dan tindakan dalam hubungannya dengan pemeliharaan dan pemanfaatan sumber daya budaya. Sementara itu, definisi lain berpandangan, bahwa: Cultural resources management (CRM)? It is a broad term that includes all decision-making about archaeological and historic sites, from preservation to excavation to interpretation to the public (Laode, 2004:27).

Definisi tersebut menganggap bahwa managemen sumber daya arkeologi merupakan bagian dari arkeologi yang berkaitan dengan kebijakan dalam upaya pelestarian warisan budaya untuk masyarakat. Menurut McGimsey dan Davis, manajemen sumber daya budaya ini lahir karena rasa keprihatinan melihat sifat sumber daya arkeologi yang rentan terhadap berbagai ancaman pembangunan:
“ ..karena sumber daya arkeologi bersifat tak teperbaharui untuk waktu tertentu, maka ada suatu kebutuhan yang mendesak untuk melestarikan (to conserve) dan mengelola (to manage) sumber daya yang terbatas itu agar terjamin pemanfaatannya selama mungkin ” (McGimsey dan Davis, 1997: 24)

Agak berbeda dengan pandangan itu, Schiffer dan Gummerman (1977: xix) menyamakan manajemen sumber daya budaya dengan Conservation Archaeology. Dengan tegas dinyatakan bahwa arkeologi konservasi adalah kinerja arkeologi yang mendasarkan pada tanggung jawab sebagai ahli arkeologi untuk bekerja dengan filosofi pengelolaan sumber daya arkeologi jangka panjang yang diarahkan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya bagi ilmu pengetahuan, sejarah dan masyarakat.

Lebih jauh menurut Timothy Darvil, filsafat yang mendasari CRM sebenarnya tidak ada, bidang garapan ini lahir karena refleksi atas keprihatinan terhadap situs-situs arkeologi sebagai sumber daya untuk dapat digunakan oleh umat manusia dalam berbagai tujuan, sehingga perlu ada upaya pelestarian yang bijak (Darvil, 1987: 4).

Pelopor manajemen sumber daya arkeologi, baik Fowler (1982: 2) maupun Plog (1978:422) memberikan pengertian yang lebih spesifik, mengutamakan pada aspek kepentingan pelestarian di satu pihak dan kesejahteraan masyarakat di pihak yang lain. Menurut Fowler manajemen sumber daya arkeologi, adalah suatu upaya penerapan kemampuan pengelolaan (merencanakan, mengatur, mengarahkan, mengendalikan, dan mengevaluasi) guna mencapai tujuan tertentu dalam upaya pelestarian melalui proses politis untuk kepentingan pencapaian pertumbuhan kesejahteraan masyarakat. Thomas King mengkaitkan CRM dengan berbagai kepentingan masyarakat dalam dunia modern yang selalu berubah. CRM merupakan proses perlindungan dan manajemen warisan budaya yang harus mempertimbangkan berbagai kebutuhan masyarakat yang memiliki sifat dinamis.

CRM is essentially, a procees by which the protection and management of the multitudinous but scarce elements of cultural heritage are given some consideration in a modern world with an expanding population and changing needs. Often equated with archaeology, CRM in fact should and does include a range of types of properties: cultural landscape, archaeological site, historical records, social institutions, expressive cultures, old building, religious beliefs and practice, industrial heritage, folklife, artifact and spiritual place (King, 2002:1).

Dari kutipan itu, diperoleh gambaran, bahwa CRM pada hakekatnya upaya pengelolaan untuk pelestarian dengan memperhatikan berbagai kepentingan. Guna memperoleh pemahaman menyeluruh terhadap persepsi tentang pengelolaan sumber daya arkeologi, perlu dikutip pernyataan dalam Symposium of International Committee on Archaeological Heritage Management (ICAHM) di Stockhlom, Swedia pada 1998 yang menyatakan bahwa

“The archaeological resource can be exploited for variety of purposes: academic, educational or recreational Such uses almost inevitably alter character of the site decay or destruction” (ICAHM, 1988:328)

Pernyataan tersebut menekankan, bahwa sumber daya arkeologi dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik akademik maupun pendidikan, dan kepariwisataan, namun pengelolaannya harus dilakukan secara hati-hati, karena dapat mengubah situs atau bahkan merusak.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan itu, Cleere (1989:7) menjelaskan, manajemen sumber daya arkeologi mempunyai dasar filosofi, bahwa kegunaan warisan budaya untuk jati diri (cultural identity) yang dikaitkan dengan fungsi pendidikan, manfaat ekonomis, dan fungsi akademis untuk menyelamatkan basis data tentang sumber daya tersebut. Sementara itu, Renfrew dan Bahn (1991:486) beranggapan, bahwa manajemen sumber daya arkeologi adalah upaya penyelamatan warisan budaya arkeologis melalui perlindungan situs dan arkeologi penyelamatan. Kegiatan tersebut dilaksanakan dalam kerangka pelaksanaan hukum yang berlaku. Pandangan itu sama yang dikemukakan Charman, bahwa dalam memahami manajemen sumber daya arkeologi (Archaeological Resources Management) yang terpenting adalah dalam menganalisis pembuatan keputusan politik terhadap kebudayaan dengan memperhatikan aturan-aturan hukum (Carman, 2001: 166).

Masalah pengelolaan sumber daya arkeologi bagi setiap bangsa memiliki spesifikasi dan latar belakang historis yang berbeda. Bagaimana pandangan para pakar Indonesia terhadap masalah pengelolaan sumber daya arkeologi? Dalam salah satu ceramahnya, Edi Sedyawati mengatakan, bahwa suatu hasil kebudayaan yang akan dimanfaatkan, atau ditingkatkan daya gunanya, memerlukan penanganan atau pengelolaan yang tepat, yang seefisien dan seefektif mungkin. Kebutuhan akan “ilmu” pemanfaatan itulah yang menumbuhkan apa yang disebut Cultural Resource Management. Lebih jauh Edi Sedyawati membedakan tiga tingkatan upaya berkenaan dengan sumberdaya budaya, yaitu: (1) upaya perolehan; (2) upaya perawatan atau pemeliharaannya; dan (3) upaya pemanfaatan untuk berbagai pemenuhan kebutuhan (Sedyawati, 2003: 7).

Sementara itu, dalam konteks menyoroti sistem perlindungan Cagar Budaya di Indonesia yang lebih cenderung dilaksanakan setelah tinggalan arkeologi dan situsnya terancam bahaya. Mundardjito menegaskan bahwa melalui kegiatan Cultural Resource Management memungkinkan para arkeolog melakukan penelitian serta perencanaan perlindungan situs (Mundardjito, 1996: 10). Arkeolog yang bekerja dalam CRM dapat merumuskan tujuan penelitian secara luas, menentukan skala prioritas, memberi petunjuk pelaksanaan ekskavasi dan preservasi secara tepat, serta memperhatikan keseimbangan antara proteksi, penelitian ilmiah, dan pengorbanan data arkeologi seminimal mungkin. Dengan demikian, masalah yang penting dan mendesak untuk diajukan di sini, bukan penting tidaknya sumber daya arkeologi perlu dilindungi, tetapi bagaimana strategi melindunginya secara tepat dan cepat dalam konteks akselerasi pembangunan nasional. Oleh karena itu, Mundardjito menghimbau kepada semua arkeolog untuk memikirkan metodologi arkeologi berwawasan CRM tersebut.

Berangkat dari pemikiran, bahwa warisan budaya memiliki publik yang jamak, dalam arti bukan arkeolog saja yang menghargai dan memanfaatkan warisan budaya, Daud Aris Tanudirjo memandang CRM tidak lain merupakan manajemen konflik. Dengan perkataan lain Cultural Resource Management merupakan upaya pengelolaan warisan budaya secara bijak dengan mempertimbangkan berbagai kepentingan banyak pihak yang masing-masing pihak sering kali saling bertentangan. Dengan demikian CRM cenderung lebih menekankan pada upaya pencarian solusi terbaik dan terbijak, agar kepentingan berbagai pihak tersebut dapat terakomodasi secara adil (Tanudirjo, 1998: 15).

Menyimak berbagai pandangan para ahli, maka dapat diperoleh gambaran, bahwa CRM bukan sekedar mempersoalkan pelestarian, melainkan lebih dari itu, merupakan upaya pengelolaan yang memperhatikan kepentingan banyak pihak. Konsep CRM dalam batasan yang luas, menempatkan masyarakat sebagai bagian yang integral atau tidak terpisahkan dalam proses pengelolaan sumber daya arkeologi. Oleh karena itu, agar berbagai kepentingan dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik, maka kinerja CRM dalam upaya pelestarian sudah pasti akan melibatkan berbagai pihak mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Keterlibatan berbagai pihak dalam proses pengelolaan warisan budaya tersebut, sangat penting direalisasikan karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Fakta sosial memperlihatkan, perbedaan kepentingan di antara berbagai pihak atau stakeholders seringkali menjadi salah satu faktor pemicu munculnya konflik pemanfaatan warisan budaya (Sulistyanto, 2008a: 387).

Dalam konteks demikian, Macleod (1977: 64-70) menekankan setidaknya terdapat tiga kelompok yang perlu dilibatkan dalam pemanfaatan sumber daya arkeologi, yaitu kalangan akademisi, pemerintah, dan masyarakat. Kelompok akademik sebagai lembaga ilmiah, jelas sangat diperlukan dalam pengkajian ilmiah guna mengungkapkan pengetahuan budaya masa lampau. Mereka memiliki kewajiban yang tidak ringan yaitu, mengkaji, meneliti, guna menemukan pengetahuan baru, sekaligus menyajikannya untuk masyarakat melalui berbagai media. Selain itu, mereka juga memiliki tanggung jawab membantu pemerintah dengan memberikan saran dan pertimbangan dalam pengelolaan sumber daya arkeologi, sekaligus mengusulkan prioritas kebijakan dalam pemanfaatannya.

Sementara itu, pemerintah merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab dan kekuasaan penuh untuk mengatur dan mengkoordinir pengelolaan sumber daya arkeologi. Oleh karena itu, pemerintah memiliki mandat yang sah untuk menetapkan perangkat hukum (per-undang-undangan) sekaligus menyelenggarakan kontrol atau pengawasan dalam pelaksanaannya. Perangkat hukum ini sangat penting, sebagai legalitas dalam upaya pelestarian dan pemanfaatannya. Sebagai konsekuensi tanggungjawab tersebut, pemerintah wajib menyelenggarakan program-program pendidikan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap warisan budaya seperti pameran atau penyebarluasan hasil-hasil penelitian.

Masyarakat pada hakekatnya, adalah pemegang penuh hak atas pemanfaatan sumber daya arkeologi. Merekalah pada dasarnya yang akan memberikan makna sumber daya arkeologi tersebut, baik untuk identitas, media hiburan atau hobi, sarana rekreasi, dan kepariwisataan. Namun demikian, sumber daya arkeologi dapat pula dimaknai secara berbeda sesuai dengan orientasinya, misalnya untuk media pendidikan atau ilmu pengetahuan, bahkan sebagai peneguhan jatidiri bangsa (Macleod, 1977:65, Cleere, 1989: 7 -10) [2].

Terdapat beberapa pandangan mengapa kepentingan masyarakat perlu diutamakan. Schiffer dan Gummerman (1977:244-245) misalnya beranggapan, bahwa antara masyarakat dengan warisan budaya seringkali memiliki keterikatan batin yang kuat, sehingga warisan budaya merupakan lambang eksistensi mereka, jatidiri bahkan simbol peneguhan rasa kebangsaan. Sementara itu, Cleere menilai masyarakat perlu diutamakan, karena besarnya peranan mereka terhadap pengelolaan sumber daya arkeologi. Mereka adalah pembayar pajak terbesar dan hasil dari pungutan pajak tersebut untuk membeayai berbagai aktivitas pengelolaan sumber daya arkeologi. Di samping itu, masyarakat juga menjadi konsumen utama di berbagai tempat wisata yang tidak lepas dari pungutan retribusi (Cleere, 1989:10) wajarlah jika hasil-hasil dari pengelolaan sumber daya arkeologi itu dikembalikan kepada masyarakat baik dalam bentuk moril maupun materiil. Dengan demikian pengelolaan sumber daya arkeologi pada hakekatnya berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.


4. CRM Sebagai Model Penelitian Terapan

Menyimak paradigma arkeologi, sebagaimana dikemukakan oleh Binford (1972: 78 104) yang kemudian diulas oleh Mundardjito (2002: 16-17), model penelitian CRM ini tidak termasuk dalam kriteria seperti yang dikemukan oleh pakar arkeologi pembaharuan tersebut [3]. Berdasarkan sasaran penelitian yang lebih cenderung mengkaji interaksi antara warisan budaya dengan masyarakat dan sebaliknya, interaksi antara masyarakat dengan warisan budaya, maka penelitian CRM lebih tepat disebut sebagai penelitian yang bersifat terapan (Beerling dkk, 1986: 142, Rangkuti: 1996:52-60), yaitu suatu jenis penelitian yang lebih menekankan pada aspek manfaat untuk memenuhi kebutuhan praktis manusia.

Berbeda dengan penelitian terapan (applied research), dalam konsep ilmu murni (pure sciences), penciptaan teori-teori dasar merupakan tujuan yang pokok, sementara kemungkinan pemanfaatannya dalam kehidupan praktis merupakan persoalan lain, karena dianggap berada di luar relevansi ilmu-ilmu murni. Di pihak lain, ilmu terapan lebih cenderung terfokus pada relevansi teori-teori dasar, dengan pemanfaatan di bidang terapan tertentu. Posisi antara ilmu murni dan ilmu terapan, tidak dapat dipisahkan secara tegas. Keberadaan kedua jenis ilmu ini saling terkait, keberadaan yang satu menopang keberadaan yang lain. Ilmu murni dengan teori-teori dasarnya, mendasari perkembangan ilmu terapan. Sebaliknya, tanpa kehadiran ilmu terapan, ilmu murni kehilangan maknanya, karena terlepas dari kebutuhan praktis manusia (Dunn, 2003: VII – XII). Dengan perkataan lain, seorang sarjana arkeologi, di samping harus menghasilkan pengetahuan, juga dituntut mampu menghubungkan antara pengetahuan dengan tindakan.

Tidak jauh berbeda dengan pandangan di atas, perbedaan antara penelitian murni dengan penelitian terapan menurut Ignas Kleden (1988: 60-63) bukanlah terletak pada ketat atau longgarnya prosedur ilmiah yang ditempuhnya, melainkan pada sifat sasarannya. Penelitian murni mempunyai sasaran ke dalam yaitu meningkatkan dan mengembangkan ilmu, sedangkan penelitian terapan mempunyai sasaran keluar yaitu bagaimana hasil-hasil penelitian yang dicapainya mampu membantu siapa saja yang berkepentingan, baik itu muncul dari struktur sosial maupun yang diakibatkan oleh perubahan sosial. Dari aspek namanya ”penelitian terapan” sebenarnya sudah menunjuk dirinya sebagai suatu penelitian yang bersifat policy oriented. Namun demikian seperti halnya penelitian murni, penelitian terapan tetap dituntut dan tunduk kepada prosedur dan syarat-syarat ilmiah, karena ada suatu korelasi lurus antara pertanggungjawaban metodologis ilmiah dengan pemanfaatan hasil-hasil penelitian. Artinya, semakin hasil penelitian dapat dipertanggunjawabkan secara metodologis ilmiah, akan semakin bermanfaat guna menyusun kebijakan atau acuan untuk suatu problem solving. Oleh karena itu dapat dipahami, jika di negara-negara berkembang penelitian terapan lebih banyak dilakukan dibandingkan dengan penelitian murni (Nazir: 1988:30-31).

Dari uraian tersebut, dapat diperoleh pengertian, bahwa walaupun penelitian CRM tidak untuk menghasilkan teori, hukum-hukum, atau aksioma-aksioma, tetapi peneliti tetap dituntut untuk melakukan prosedur ilmiah, karena penelitian ini berkaitan langsung dengan kepentingan hidup masyarakat. Peneliti harus mampu memilih dan mempergunakan teori-teori, hukum-hukum, dalil-dalil dan aksioma-aksioma, serta metode yang relevan dengan masalah penelitian. Kekeliruan dalam memilih metode akan mengakibatkan masalahnya tidak akan terselesaikan, bahkan justru akan memunculkan masalah-masalah baru. Dengan demikian, sejak awal peneliti harus menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah berkaitan langsung dengan harkat orang banyak. Pertanggungjawaban penelitian terapan tidak hanya dari segi ilmiah, tetapi juga secara sosial, bahkan juga moral berdasarkan norma-norma kemasyarakatan dan kemanusiaan (Nawawi, 2005: 1-7)

Penelitian CRM dalam konteks penelitian terapan, pernah dilakukan oleh Fakultas Ilmu Budaya jurusan arkeologi UGM pada tahun 2004 di Kecamatan Ponjong, Kab. Gunungkidul, DIY. Sekitar 70-an gua prasejarah di Kecamatan Pojong, telah terjadi benturan kepentingan dan terancam rusak karena penambangan fosfat, batu kapur, dan kalsit. Untuk menemukan resolusi konflik kepentingan, penelitian ini memerlukan waktu tiga tahun yang terbagai atas tiga tahapan, yaitu (1) identifikasi masalah dan potensi, (2) penyusunan model solusi, dan (3) pemantauan dan evaluasi. Model penelitian yang dikembangkan, masyarakat diberi peran yang lebih besar untuk menentukan cara pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya arkeologi di daerahnya. Pemerintah tidak lagi ditempatkan sebagai penentu kebijakan, tetapi lebih banyak berperan sebagai fasilitator (Tanudirjo, dkk, 2004: 19).

Berbeda dengan model pengelolaan yang selama ini diterapkan, model CRM yang dikembangkan di Gunungkidul, menerapkan konsep arkeologi untuk masyarakat. Dalam kontek penelitian ini, masyarakat dilibatkan, bahkan diberi peran yang lebih besar dalam pengelolaan sumber daya arkeologi di daerahnya. Pihak pemerintah tidak lagi ditempatkan sebagai penentu kebijakan, tetapi sebagai fasilitator. Secara akademik, penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model pengelolaan sumberdaya arkeologi yang lebih tepat-guna dan diterima oleh masyarakat. Secara praktis penelitian bertujuan untuk membantu pemerintah (daerah maupun pusat) dan masyarakat Gunungkidul untuk menyelesaikan konflik kepentingan sumber daya arkeologi di daerah tersebut.

Konflik pemanfaatan warisan budaya pada gua-gua hunian prasejarah di Gunung Kidul misalnya, bukan sekedar dilatarbelakangi oleh terbatasnya pemahaman masyarakat akan arti penting warisan budaya sehingga masyarakat melakukan penambangan fosfat, batu kapur, dan kalsit, melainkan sudah menyangkut tiga problematik mendasar (1) perbedaan persepsi dalam pemanfaatan situs-situs gua hunian prasejarah, (2) perbedaan kebutuhan antara kebutuhan dasar (mata pencaharian) dan kebutuhan ilmu pengetahuan, dan (3) perbedaan dalam cara-cara mencapai tujuan masing-masing.

Dari aspek pelaku, konflik ini telah melibatkan berbagai kebijakan stakeholders. Penelitian CRM di Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul berhasil mengidentifikasi dari 10 pihak yang terlibat dalam pemanfaatan, lima pihak di antaranya terlibat konflik. Pihak tersebut adalah pihak arkeologi konflik dengan pihak pertanian yang dilatarbelakangi oleh cara pandang yang berbeda terhadap potensi kandungan tanah dalam gua. Pihak arkeologi juga konflik dengan para penduduk penambang maupun investor penambangan, karena secara langsung, penduduk penambang dan investor ini yang dianggap merusak sumber daya arkeologi. Sementara itu, mayoritas masyarakat (non-penambang) terlibat konflik juga dengan minoritas penduduk penambang yang dilatarbelakangi oleh perbedaan dalam melihat cara-cara pemanfaatannya (Tanudirjo dkk, 2004: 49).

Uraian di atas memperlihatkan pentingnya penelitian CRM dalam upaya memecahkan permasalahan sosial yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Apalagi pada era reformasi dan otonomi daerah seperti sekarang ini, sumber daya arkeologi seringkali menjadi objek perselihan dalam pemanfaatannya. Melalui hasil peneltiannya, peneliti perlu cepat bertindak dan mampu mencarikan jalan keluar yang terbaik (win-win solution) agar kepentingan berbagai pihak (yang bertentangan) dapat terakomodasi. CRM memungkinkan menjawab permasalahan sosial-arkeologi, karena model yang dikembangkan tidak semata-mata ditujukan sebagai resolusi konflik, tetapi sekaligus juga merupakan upaya pemberdayaan masyarakat setempat (Sulistyanto, 2008: 16-30).


5. Perbedaan CRM dengan Ilmu Arkeologi

Permasalahan yang muncul kemudian adalah apa perbedaan CRM dengan disiplin arkeologi ? Daud Aris Tanudirjo telah memberikan jawaban secara konkrit di hadapan para peserta Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi yang diselenggarakan oleh Puslitbang Arkenas di Trowulan, Mojokerto. menurutnya ada dua hal perbedaan mendasar. Pertama, dalam CRM muncul dimensi-dimensi baru yang tidak ada dalam kinerja arkeologi pada umumnya. Dimensi-dimensi baru yang dimaksud berkaitan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya eksternal di luar kepentingan arkeologi, seperti aspek ekonomi, pendidikan, kepariwisataan, masyarakat, serta aspek hukum dan bahkan aspek politis. Hadirnya dimensi-dimensi baru tersebut tidak dapat dilepaskan dari aktivitas arkeologi pada masa sebelumnya. Oleh karena itu, CRM menurut Daud Aris Tanudirjo dapat dipandang sebagai hasil suatu refleksi perjalanan panjang kinerja arkeologi hingga dasawarsa 1970-an Perbedaan kedua, kinerja CRM sangat peduli terhadap kepentingan stakeholders yang heterogen sifatnya. Kinerja CRM berupaya agar berbagai kepentingan dapat terakomodasi tanpa mengurangi makna sumber daya arkeologi (Tanudirjo, 2004: 1-11).

Secara teknis menurut saya, setidaknya ada dua perbedaan lain yang perlu diperhitungkan, yaitu kemampuan memimpin orang lain (human skill) dan kemampuan konseptual (conseptual skill). Pengelolaan sumber daya arkeologi di dalam kinerja CRM dituntut dapat mendayagunakan seluruh potensinya termasuk pemberdayaan manusianya. Dalam hal ini, seorang arkeolog tidak hanya dituntut menguasai objek garapannya, melainkan dituntut pula untuk dapat memimpin orang lain, mengkoordinasikan, mendelegasikan wewenang dan memotivasi, sekaligus berperan sebagai pengendali untuk mencapai visi yang sama. Selain itu, seorang arkeolog di dalam kinerja CRM, harus memiliki kemampuan konseptual agar dapat melihat serangkaian kegiatannya secara komprehensif (Handoko, 1998: 6, Haryono, 2005:12-16). Perbedaan kinerja antara arkeologi pada umumnya dengan CRM dapat diringkas dalam diagram 1 di bawah.


Selama ini, kedudukan kajian CRM dalam hubungannya dengan Arkeologi sebagai ilmu masih sering dipermasalahkan. Pada awal kemunculannya, CRM lebih dipandang sebagai bagian dari penerapan Arkeologi, terutama hanya berkaitan dengan upaya pelestarian arkeologi. Hal ini disebabkan, sejarah munculnya CRM lebih banyak didorong oleh pemenuhan perundangan yang mensyaratkan adanya kegiatan penelitian arkeologi, terutama di situs yang terkena dampak kegiatan pembangunan, sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah federal Amerika melalui Undang-Undang Perlindungan Sejarah Nasional (National Historic Preservation Act) tahun 1966 (Neumann and Sanford, 2001: 1-24). Oleh karena itu, dapat dipahami jika kegiatan CRM tidak jarang dipandang kurang bersifat akademis dan bukan kajian ilmiah. Apalagi, pencantuman kata ‘manajemen’ hampir selalu diasosiasikan dengan kegiatan praktis dan teknis, sehingga diasumsikan tidak melibatkan kerangka teoritis tertentu.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dalam dua dasawarsa terakhir ini pandangan CRM telah mengalami perubahan yang mendasar. CRM tidak sekedar dipandang hanya merupakan bagian dari upaya pelestarian benda dan situs arkeologi. Lebih dari itu, CRM dianggap justru merupakan bagian yang paling penting dalam kajian arkeologi. Hodder menunjukkan bahwa cara kerja CRM yang kini telah berkembang tidak saja memperlihatkan kebutuhan fungsional untuk pengelolaan sumber daya budaya secara sistematis dan efisien, tetapi juga dilatarbelakangi oleh paradigma ilmiah sebagaimana yang dianut dalam arkeologi prosesual. Dengan demikian, kajian-kajian CRM harus menjadi bagian dari wacana teoritis Arkeologi (Hodder, 1999: 170).

Lebih jauh Hodder melihat prosedur CRM selama ini cenderung terstandardisasi dengan cara-cara baku dengan menggunakan kerangka pikir positivis. Cara itu memungkinkan penerapan prosedur kerja fungsional dan efisien, tetapi bersifat linear dan hanya ditentukan oleh para manajer sumber daya. Dalam konteks Arkeologi pasca-prosesual, Hodder juga menyarankan agar prosedur CRM dapat mewadahi proses interpretasi dan reinterpretasi. Dalam proses itu, semua pihak harus dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, yang ia sebut sebagai metode partisipasi (Hodder 1999: 171).

Berkaitan dengan kedudukan teori dalam CRM, beberapa ahli (Carman et al., 1995 2-5) menyatakan, bahwa selama ini banyak orang memiliki perspektif yang salah tentang hubungan antara arkeologi dengan manajemen dalam konteks CRM. Kesalahan dalam penafsiran tersebut, berdampak pada pembedaan antara arkeologi yang akademis (academic archaeology) dengan arkeologi yang bekerja di lapangan (field archaeology). Sementara itu, banyak ahli masih enggan untuk mengakui, bahwa masalah manajemen merupakan bagian yang penting dalam penelitian arkeologi. Padahal, sepanjang sejarah Arkeologi, manajemen sudah menjadi bagian penting dan mendasar dalam kinerja arkeologi. Persoalan itu mendorong beberapa ahli membahas secara khusus hubungan teori-teori Arkeologi dalam dunia akademik dengan CRM. Dalam pertemuan tahunan Theoretical Archaeology Group tahun 1991 di Leiscester dan tahun 1992 di Southampton misalnya, masalah ini dibahas secara khusus. Salah satu pendapat yang cukup mengejutkan mengatakan, bahwa sebenarnya “teori manajemen adalah teori arkeologi”, Management theory is archaeological theory” (Carman et al., 1995 2-5).

Menurut beberapa peneliti dari Cambridge, persoalan ini sebenarnya tidak sekedar masalah bagaimana melaksanakan pengelolaan, tetapi lebih menyangkut apa makna budaya dari tinggalan arkeologi (Carman et al., 1995: 1). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa CRM bukan hanya masalah bagaimana praktek mengelola tinggalan arkeologi, tetapi lebih berkaitan dengan persoalan peran dan makna arkeologi dalam konteks sistem budaya masa kini. Karena itu, CRM justru menjadi bagian dari wacana teoritis arkeologi.

Berdasarkan uraian tersebut, dapat diperoleh gambaran, bahwa bagian yang terpenting dalam CRM adalah penentuan nilai penting (value, significance). Pada tahap ini, peran teori menjadi sangat penting sebagai kerangka pikir untuk menentukan dan mengevaluasi nilai penting suatu sumber daya budaya. Dalam konteks ini, ternyata banyak teori tentang nilai penting yang mengakibatkan perbedaan untuk menentukannya. Apalagi, dalam konteks CRM, pandangan tentang nilai penting itu harus diletakkan dalam hubungan dengan masyarakat luas (Carman et al. 1995). Oleh karena itu dapat dipahami, salah satu persoalan yang hampir selalu muncul dalam CRM adalah perbedaan dalam memberikan nilai penting dalam memaknai sumber daya arkeologi.

Berkaitan dengan masalah tersebut, Firth (1992 : 56-57) dengan tepat memperlihatkan adanya pertentangan sistem pemaknaan (conflicting value system), terutama antara yang “arkeologis” dan yang “bukan arkeologis”. Sarjana ini, menunjukkan di lingkungan arkeologi terdapat pemaknaan yang saling bertentangan. Apabila dicermati, penelitian ilmiah arkeologi (scientific value) pada dasarnya adalah “merusak” atau paling tidak mengurangi sumber daya budaya yang ada. Hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan keinginan kuat untuk melestarikan sumber daya itu sendiri (conservation value). Sementara itu, nilai penting ilmiah dan nilai penting pelestarian tersebut, juga bertentangan dengan nilai penting bukan arkeologi yang biasanya lebih dilandasi oleh nilai penting komersial. Nilai komersial inilah yang sering melandasi kinerja para pencari harta karun, pengangkatan kapal karam, penggalian liar, dan pencurian benda cagar budaya sebagaimana terjadi diberbagai situs di Indonesia. Semua sistem pemaknaan yang saling bertentangan itu memang nyata ada di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Perbedaan dalam memaknai sumber daya arkeologi inilah merupakan salahsatu faktor yang seringkali memunculkan konflik kepentingan di berbagai situs di Indonesia dan ini menjadi tugas arkeolog untuk menyelesaikannya.

Permasalahan berikutnya yang mengemuka dalam diskusi-diskusi tentang hubungan CRM dan teori arkeologi adalah masalah manajemen. Banyak model manajemen yang dapat ditawarkan untuk mengelola sumber daya budaya (Carman et al., 1995 :9-10). Model manajemen yang berhasil, tentu saja tergantung pada situasi dan kondisi yang ada di lingkungan sumber daya budaya tersebut, termasuk jenis dan ciri sumber daya budaya yang akan dikelola, keadaan masyarakatnya, serta sumber daya pendukung lain yang tersedia. Malcolm Cooper (1992: 76-78) menawarkan model manajemen yang menarik dan tampaknya sangat tepat untuk digunakan dalam berbagai kasus konflik di berbagai situs di Indonesia.

Cooper (1992: 76-78) sebenarnya meminjam model pengelolaan organisasi yang dikembangkan Harvard University sekitar tahun 1920 hingga 1930-an. Menurut model ini, keberhasilan suatu organisasi dalam mengelola kelembagaan tidak hanya ditentukan oleh kemampuan mewujudkan kondisi kerja yang baik, tetapi lebih dari itu disebabkan oleh pemahaman para pengelola terhadap faktor manusianya. Faktor manusia yang dimaksudkan antara lain motivasi atau norma-norma yang dianut oleh kelompok (baik itu berupa nilai budaya, sikap, kebutuhan, dan harapan). Gagasan ini kemudian menghasilkan aliran manajemen hubungan manusia (“human relations” school of management). Aliran ini meyakini, bahwa model manajemen yang berhasil adalah manajemen pendekatan kemanusiaan dengan cara-cara yang dapat memperkaya peran setiap pihak yang terlibat (stakeholders). Dalam konteks ini sangat penting diperhatikan kebutuhan akan rasa diterima (acceptance), kedudukan (status), dan dihargai (recognition) setiap pihak yang terlibat dalam pengelolaan warisan budaya. Untuk itu, perlu terlebih dahulu dikenali struktur dan kegiatan yang telah berlaku selama ini dan sejauh mana keadaan ini telah memberikan hasil. Sebagai langkah selanjutnya, perlu dirumuskan langkah-langkah untuk mengubah hubungan-hubungan maupun peran pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan.

Demikian kinerja CRM menurut pemahaman baru tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian secara fisik, tetapi juga memikirkan keterkaitannya dengan pemanfaatan bagi kehidupan masyarakat sekarang, baik menyangkut kepentingan akademis, sosial, ekonomis maupun ideologis. Dalam konteks demikian itulah menurut Pearson dan Sullivan ( 1995:7-11) terdapat empat tahapan atau langkah teknis kinerja CRM (lihat diagram di bawah).


Langkah pertama adalah mengidentifikasi yang meliputi pendugaan nilai penting dan pendugaan hambatan dan peluang pengelolaannya. Identifikasi warisan budaya dilakukan baik terhadap masalah bentuk, karakter situs, sebaran, maupun batas wilayah situs sesuai dengan potensi yang dikandung oleh warisan budaya tersebut. Di samping itu perlu diperhatikan pula, kondisi sosial, budaya, dan ekonomi masyarakat setempat dan interaksi mereka dengan warisan budaya, guna pemahaman terhadap hambatan ataupun peluang dalam pengelolaannya. Kedua, penentuan rancangan kebijakan. Merupakan langkah penetapan tujuan pelestarian berdasarkan kajian langkah sebelumnya mengenai pendugaan nilai penting dan pendugaan peluang serta hambatannya. Ketiga, strategi pelaksanaan pengelolaan merupakan implementasi dari kebijakan yang sudah dirumuskan sebelumnya. Tahap ini dapat dilakukan misalnya bagaimana menata warisan budaya agar menarik wisatawan tanpa mengurangi nilai penting yang dikandungnya. Tahap empat, monitoring pelaksanaan. Merupakan tahap pemantauan sekaligus berfungsi pengevaluasian atas manajemen atau pengelolaan yang telah dilakukan. Oleh karena itu, tahap ini sudah harus ditetapkan sistem, tolok ukur yang dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menilai kriteria berhasil tidaknya.


6. Penutup

CRM tidak hanya mempersoalkan pelestarian semata, melainkan lebih dari itu merupakan upaya pengelolaan yang memperhatikan kepentingan banyak pihak. Konsep CRM dalam batasan yang luas menempatkan masyarakat sebagai bagian yang integral dalam proses pengelolaan sumber daya arkeologi. Oleh karena itu, agar berbagai kepentingan tersebut dapat terakomodasi dan tidak menimbulkan konflik, maka kinerja CRM sudah pasti akan melibatkan banyak pihak mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasi. Keterlibatan berbagai pihak dalam proses pengelolaan warisan budaya tersebut, sangat penting direalisasikan karena masing-masing pihak memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Fakta sosial memperlihatkan, perbedaan kepentingan di antara berbagai pihak atau stakeholders ini seringkali menjadi salah satu faktor pemicu munculnya konflik pemanfaatan warisan budaya.

Perbedaan mendasar antara CRM dengan ilmu arkeologi pada umumnya adalah muncul dimensi-dimensi baru dalam CRM yang tidak ada dalam kinerja arkeologi pada umumnya. Dimensi-dimensi baru yang dimaksud berkaitan dengan berbagai kepentingan yang sifatnya eksternal di luar kepentingan arkeologi atau peneliti arkeologi, seperti aspek ekonomi, pendidikan, kepariwisataan, masyarakat, serta aspek hukum dan bahkan aspek politis. Kinerja CRM sangat peduli terhadap kepentingan stakeholders yang heterogen sifatnya. Konsep kinerja seperti ini kurang terlihat pada kinerja disiplin arkeologi pada umumnya yang cenderung lebih menekankan pada aspek pelestarian bendawi. Kinerja CRM tidak hanya berhenti pada aspek pelestarian bendawi, tetapi juga memikirkan pemanfaatan dalam arti mampu memunculkan kebermaknaan sosial suatu warisan budaya di dalam kehidupan masyarakat. Menghadirkan kembali kebermaknaan sosial inilah yang sebenarnya merupakan hakekat kinerja CRM.

Memperhatikan sasaran kinerja CRM yang lebih menekankan interaksi antara warisan budaya dengan masyarakat, maka penelitian CRM lebih tepat disebut sebagai penelitian terapan. Walaupun demikian, kinerja CRM tetap dituntut untuk melakukan prosedur ilmiah. Peneliti harus mampu memilih dan menerapkan teori-teori, serta metode yang relevan dengan permasalahan. Kekeliruan dalam memilih metode dan teori akan mengakibatkan masalah tidak terselesaikan, bahkan justru akan memunculkan masalah-masalah baru. Dengan demikian, sejak awal peneliti harus menyadari bahwa apa yang dilakukan adalah berkaitan langsung dengan harkat orang banyak. Pertanggungjawaban penelitian CRM tidak hanya dari segi ilmiah tetapi juga secara sosial, bahkan juga moral.

Dalam era reformasi dan otonomi daerah seperti sekarang ini, CRM memiliki peranan strategis. Melalui pendekatan partisipatoris (partisipatory research) CRM mampu menyodorkan resolusi konflik. Arkeolog perlu mengembangkan model pengelolaan berwawasan CRM, untuk menemukan kembali makna budaya dan menempatkan dalam konteks sistem sosial masyarakat sekarang.

Catatan:
[1] Sebagaimana yang dikemukakan oleh Scovill (1977:45) yang dimaksud dengan sumber daya arkeologi (archaeological resources) adalah semua bukti bukti fisik atau sisa sisa benda materi (cultural debris) yang telah ditinggalkan oleh masyarakat masa lampau pada suatu bentang lahan tertentu. Selain itu kata sumber daya arkeologi yang digunakan dalam penulisan ini juga merujuk langsung kepada pengertian Benda Cagar Budaya dan atau situs sesuai dengan pengertiannya dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

[2] Hubungan resiprokal antara kalangan akademik, pemerintah, dan masyarakat telah dibahas secara jelas dan disertai dengan pengembangan modifikasi diagram mengenai keterkaitan antara ketiga stakeholders tersebut. Hal ini periksa lebih jauh Daud Aris Tanudirjo dkk 1993/1994. Laporan Penelitian Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat: Studi Kasus Manajemen Sumber Daya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: PAU-SS Universitas Gadjah Mada. Tidak terbit.

[3] Tujuan umum arkeologi yang disepakati oleh para ahli sebagaimana dikemukan oleh Binford yakni; 1) rekonstruksi sejarah kebudayaan; 2) rekonstroksi cara cara hidup; dan 3) penggambaran proses budaya (Binford, 1972: 78 104).


DAFTAR PUSTAKA

Beerlings, dkk, 1986. “Pengantar Filsafat Ilmu” Jakarta.

Binford, Lewis. 1972. An Archaeolical Perspective. New York: Seminar Press.

Byrne, Denis, Helen Brayshaw, Tracy Ireland. t.t. Social Significance. A Discussion Paper. NSW National Parks & Wildlife Service, Research Unit, Cultural Heritage Devision.

Carman J. et al. 1995. “Introduction ; Archaeological Management“ , dalam Copper, M.A. et al (ed), Managing Archaeology. London:Routledge. Hal. 1-15.

————–, 2001 Archaeology and Heritage: An Introduction. New York: Continuum.

Cleere, Henry. F. 1989. “Introduction: the rationale of archaeological management”, dalam Henry F. Cleere (ed.), Archaeological heritage management in the modern world, hal. 5- 10. London: Unwin-Hyman.

Cooper, M.A. 1992 Copper, M.A. et al (eds.), Managing Archaeology. London:Routledge: 71-88

Daldjoeni, N. 2003. Geografi Kota dan Desa. Bandung: P.T. ALUMNI

Darvill, Timothy. 1987. Ancient Monuments in the Contryside: An Archeological management review”. London: (English Heritage Archaeo-logical report No. 5) Historis Building and Monuments Commission for England.

Davis, Karen Lee. 1997. “Site without Sight: Interpreting Closed Excavation”, dalam Presenting Archaeology to the Public. John H. Jameson Jr. (ed.). California: Altamira Press. pp. 84-98

Dunn, William N, 2003. Analisis Kebijakan Publik . Yogyakarta: Hanindita Graha. Terjemahan dari buku asli Public Policy Analysis, an Introduction.

Firth, A. 1992. “Ghosts in the machine”, dalam Copper, M.A. et al (ed.), Managing Archaeology. Routledge. Pp. 51-66

Fowler, D, 1982. “Cultural Resource Management”, dalam M.B. Schiffer (ed.) Advances in Archaeological Method and Theory, vol. 2. New York: Academic Press.

Handoko, T. Hani. 1998. ”Sumber daya Budaya di Mata Manajemen”, Artefak No. 19. Yogyakarta, HIMA Fakultas Sastra UGM: 5-7.

Haryono, Timbul. 2005. ”Pengembangan dan Pemanfaatan Aset Budaya dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah”, Buletin Cagar Budaya No. 4, Mei: 12 -16. Jakarta: Asdep Urusan Kepurbakalaan dan Permuseuman

Hodder. I. 1999. The Archaeological Process: An Introduction. London, Blackwell.

ICOMOS, ICAHM. 1988. “Archaeology and Society, Large Scale Operations Essays from Their Possibilities and Problems”. Presented at Symposium on International Committee of Archaeological Heritage Management, Stockholm, 12-16 September.

King, Thomas F. 2002. Thinking About Cultural Resource Management: the Edge. California.: Walnut Creek California: Altamira Press

Kleden, Ignas. 1988. Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Cet. 1. Jakarta: LP3ES.

Laode, Mohamad Aksa. 2004. “Perencanaan Untuk Pengelolaan Sumber Daya Budaya di Kawasan Situs Ke’te Kesu” Tanatoraja, Sulawesi Selatan”, Tesis pada Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

Larsen, K.E., 1994. Architectural Preservation in Japan Trodhei., Tapir Publisher for ICOMOS International Committee.

Mac Leod, Donald G. 1977. “Peddle or Perish: Archaeological Marketing from Concept to Product Delivery”, dalam Schiffer M.B. dan G.J. Gumerman (ed.). Concervation Archaeology., hal. 63-72. New York: Academic Press.

McGimsey, Charles R.1972 Public Archaeology. New York: Seminar Press.

McGimsey, C. dan H. Davis (ed.). 1977. The Management of Archaeological Resource, the Airlie House Report. Special Publication of the Society for American Archaeology.

Mundardjito. 1996a. “Pendekatan Integratif dan Partisipatif dalam Pelestarian Budaya”. Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Sastra UI tanggal 7 Oktober 1995. Dipublikasikan pada Jurnal Arkeologi Indonesia 2. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesial: 123-135.

————–, 2002. Pertimbangan Ekologis Penempatan Situs Masa Hindu- Budha di Daerah Yogyakarta . Jakarta: Wedatama Widyasastra-Ecole francaise d’Extreme-Orient

Nawawi, Hadari. 2005. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nazir, Moh. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Neumann, T.W dan R.M. Sanford. 2001. Cultural Resources Archaeology : An Introduction. Altamira Press

Pearson, M. Dan Sulivan, S., 1995. Looking after Heritage Place. Melbourne Carlton-Victoria: University Press.

Plog, Fred. 1978. “Cultural Resorces Management and the New Archaeology”. dalam Redman (ed), Social of Archaeology, Archaeology Ol 27 No. 4. New York.

Prasodjo, Tjahyono. 2004. “Arkeologi Publik”, makalah dalam rangka Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi Tingkat Dasar di Trowulan.

Rangkuti, Nurhadi. 1996. ”Arkeologi Terapan dan Masa Depannya di Indonesia”.. Pertemuan Ilmiah Arkeologi VII.: 52-60 Proyek Penelitian Arkeologi Jakarta. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Renfrew, C. dan P. Bahn. 1991. Archaeology: theories, methods and practice. London: Thames and Hudson. of Chicago Press.

Schiffer, Michael. B. dan George .J. Gummerman (ed). 1977. Conservation Archaeology, A Guide for Cultural Recources Management Studies. New York: Academic Press.

Scovil, Gordon dan Anderson. 1977. “Guidelines for the Preparaon of Statemens of Environmental Impact on Archaeological Resources”, dalam M.B. Schiffer dan G.J. Gummerman (ed). Conservation Archaeology. New York: Academic Press.

Sedyawati, Edi. 2003. “Warisan Budaya Intangible yang ‘tersisa’ dalam yang Tangible. Ceramah Ilmiah Arkeologi, dalam rangka mengantar Purnabhakti Prof. Dr. Edi Sedyawati. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. 18 Desember.

Sonjaya, Jajang Agus, 2005. Pengelolaan Warisan budaya di Dataran Tinggi Dieng, Tesis Jurusan Arkeologi UGM, Yogyakarta. Belum diterbitkan.

Sulistyanto, Bambang. 2006. “The pattern of conflict of benefeting in Indonesia”, dalam: Truman Simanjuntak. Muhammad Hisyam,

Bagyo Prasetyo, Titi Surti Nastiti, (red.), Archaeology; Indonesian Perspective; R.P. Soejono’s festschrift, hlm 577-594 Jakarta: LIPI Press.

—————. 2008a. Resolusi Konflik dalam Manajemen Warisan Budaya Situs Sangiran. Disertasi pada Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Belum terbit.

—————, 2008b. “Pemberdayaan Masyarakat, Sebagai Pertanggungjawaban Sosial Arkeolog”, dalam Kresno Yulianto (red.). Dinamika Permukiman dalam Budaya Indonesia, hal. 16-30. Bandung: IAAI Komda Jawa Barat – Banten.

Tanudirjo, Daud Aris. et al. 1993/1994. Laporan Penelitian Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat. Studi Kasus Manajemen Sumber Daya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.

————–, 1998, “Cultural Resource Management sebagai Manajemen Konflik”. Buletin Artefak No. 19. HIMA Fakultas Sastra UGM. Hal. 14 – 18.

————–, 2004a. “Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi: Sebuah Pengantar”. Makalah pada Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi di Trowulan, Mojokerto 27 Agustus – 1 September 2004.

————–, 2004b. “Pengembangan Model Resolusi Konflik dalam Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi di Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, DIY” Laporan belum diterbitkan. Yogyakarta: Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.

Yuwono, Martono, 1982/1983. “Masalah Pelestarian Lingkungan Hidup Manusia Suatu Pendekatan”, Pemugaran. Analisis Kebudayaan. Tahun III/1. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


Tanggapan

  1. Cukup menarik, sayang sudut pandang hanya dari sisi arkeologi, sehingga sumber daya budaya hanya dilihat dari aspek budaya materi (tangible), padahal ada aspek non-materi (intangible) dalam sumber daya budaya. Alasan ini yg menyebabkan saya lebih suka menggunakan istilah warisan budaya (cultural heritage) mengingat hanya manusialah yg mampu mengubah lingkungan alam menjadi lingkungan budaya (mis, dari hutan menjadi sawah, kemudian ada sistem organisasi managemen pengairan, pemasaran, dst) dan selanjutnya lingkungan budaya tersebut akan diwariskan kepada generasi berikutnya. Selanjutnya para generasi pewaris tersebut yg akan memberikan makna baru terhadap warisan budaya tersebut. Dalam hal ini pemaknaan baru juga melibatkan aspek kenangan bersama (collective memory), yg ditunjang oleh aspek intangible, misal, satu keluarga berwisata ke malioboro, (bapak, ibu, kakek, nenek, anak, keponakan & saudara lainnya). Saat si anak sudah dewasa dan ayah ibu sudah meninggal trus dia datang sendiri ke malioboro kemudian mencium bau pecel lele dari warung lesehan, suara penyanyi kroncong melantunkan lagu persis sama dengan lagu yg didengarkan saat ia pertama kali ke malioboo beserta keluarga besarnya dahulu, maka ingatannya terpicu ke masa menyenangkan di masa lalu, dan kenangan semacam ini memicu dia untuk sesekali menikmati kenangan bahagia itu, Sangat besar kemungkinan bahwa dia sesudah berkeluarga akan mengajak anak istrinya dan menceritakan kenangan bahagia di malioboro dengan almarhum ayah, ibu, kakek dan nenek. kepada anak istrinya. Di lain pihak, anak dan istrinya juga memiliki kenangan terhadap malioboro yang tentu saja dapat sama atau tidak sama tergantung dari aspek yang mampu menyebabkan melekatnya ingatan tersebut. Ringkasnya, warisan budaya tidak hanya berupa budaya materi/artefak (tangible heritage) tapi juga budaya non materi (intangible heritage/tarian, lagu, aroma masakan, dst) dan kedua aspek ini baru dapat dilestarikan jika ada collective memori sebagai pengikatnya. Mengingat memori terhadap warisan budaya sering tidak sama, maka tidak heran jika setiap kali muncul konflik dalam pengelolaan warisan budaya. Sebagai contohnya, malioboro adalah warisan budaya yg mungkin dari sudut pandang arkeologi (bukan warisan budaya), tetapi kalau ada perseorangan atau institusi yg akan menghilangkan malioboro maka pasti semua pihak akan memprotesnya. Ringkasnya pengelolaan warisan budaya harus lebih ditekankan pada aspek aksi sosial (heritage as social action), artinya tidak mungkin untuk mempertahankan dan membakukan pemaknaan tunggal terhadap warisan budaya (apalagi pemaknaan hanya dari pihak arkeologi atau bahkan pemerintah), hal ini karena budaya bersifat dinamis dan pewaris warisan budaya bukan hanya bersifat pasif terhadap warisan budayanya, mereka juga akan memberikan makna baru terhadap warisan budayanya sesuai dengan konteks sosial, politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan. Ah …. hampir terlupa di beberapa daerah warisan budaya secara jelas mash digunakan dan diwarisi secara sah oleh para keturunannya, misalnya warisan budaya yang dimiliki oleh masyarakat adat. Secara hukum memaksakan proyek cagar budaya tanpa melibatkan mereka dan memaksakan kehendak karena menganggap mereka secara ilmu pengetahuan “tidak tahu apa-apa” adalah melanggar hak asasi manusia dan hukum. Analoginya mudah saja, anda punya rumah warisan orang tua,dan sah secara hukum, tiba-tiba saja ada seseorang yg memaksa diri membangun rumah tersebut (menurutnya 1000 kali lebih baik dan lebih bagus dari rumah anda sebelumnya), bagaimana perasaan anda ? apakah harga diri anda tidak terluka ?


Tinggalkan komentar

Kategori