Oleh: hurahura | 25 Februari 2010

Arkeologi Bawah Air di Indonesia

OLEH DJULIANTO SUSANTIO

Sejak lama perairan Indonesia selalu menjadi ladang perburuan liar harta karun. Pada mulanya hanya penyelam tradisional dan nelayan lokal yang melakukan pencurian. Tetapi kemudian berbagai sindikat internasional ikut terlibat di dalamnya. Mereka menggunakan kapal besar lengkap dengan berbagai peralatan canggih.

Penjarahan ribuan potong keramik antik dan berbagai harta karun dari kapal der Geldermalsen di Perairan Riau dan kapal Flor de Mar di Selat Malaka pada 1980-an, seakan membuka lembaran hitam dunia arkeologi bawah air (ABA) Indonesia. Selain kehilangan data sejarah penting, kita pun harus merelakan kekayaan bernilai jutaan dollar itu terbang ke kantong penjahat.

Karena ketiadaan tenaga arkeolog, maka ABA Indonesia masih sulit berkembang. Padahal menurut catatan-catatan kuno, lebih dari 400 kapal pernah tenggelam di seluruh perairan Indonesia. Kapal-kapal itu membawa muatan barang-barang berharga, seperti keramik, emas, perak, mutiara, dan timah dalam jumlah besar. Ditaksir, jika dilelang seluruh muatan kapal itu akan menghasilkan pemasukan negara milyaran dollar.

Kendala biaya pula yang menyebabkan pemerintah Indonesia tidak sanggup melakukan eksplorasi harta karun. Sebagai konsekuensinya, pada 1989 pemerintah Indonesia membentuk Panitia Nasional untuk Pemanfaatan Benda Berharga Asal Muatan Kapal yang Tenggelam. Anggotanya terdiri atas unsur pemerintah dan swasta. Disepakati bahwa pihak investor akan melakukan eksplorasi dengan sistem bagi hasil.

Perairan

Hingga saat ini ironisnya penelitian ABA di Indonesia masih jarang dilakukan. Padahal, sebagian besar wilayah NKRI terdiri atas perairan. Selain laut yang menempati jenjang paling atas, secara umum istilah perairan mencakup pula sungai, danau, dan semua bentuk himpunan besar air.

Bawah air layak menjadi objek penelitian karena air memiliki sumber daya untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebagai ruang tinggal, dan sebagai ruang jelajah. Karenanya, tinggalan budaya yang terbenam di dasar perairan perlu ditangani serupa dengan arkeologi di daratan. Hanya cara kerjanya yang berlainan karena untuk ABA harus dilakukan penyelaman dengan peralatan khusus.

Istilah ABA pertama kali dicetuskan oleh George Bass pada pertengahan abad ke-20. Namun sebenarnya pencarian dan penelitian terhadap tinggalan di dasar air telah ada sejak lama. Penelitian kapal Caligula dari kerajaan Romawi di Italia, misalnya, telah dilakukan pada 1535 oleh Francisco Demarchi dengan teknik penyelaman sederhana (Nurhadi, 1987).

Penelitian ABA kemudian semakin berkembang seiring penemuan peralatan Scuba oleh Jacques-Yves Cousteau dan Emile Gagnan pada masa Perang Dunia II. Dengan peralatan selam tersebut kegiatan penelitian dapat berlangsung lebih lama dan menjangkau kedalaman yang lebih jauh. Dalam tahun-tahun pertama, menurut Nurhadi, penelitian ABA modern banyak dilakukan di perairan Laut Tengah yang kaya akan tinggalan budaya klasik Yunani dan Romawi.

Di Indonesia baru pada 1979 satu tenaga peneliti, yakni Nurhadi, berkesempatan mengikuti latihan ABA di Thailand. Namun hingga sekarang tenaga yang ada masih belum seimbang dengan luasnya wilayah perairan yang harus dijamah penelitian. Beberapa penelitian ABA pernah dilakukan bekerja sama dengan Armada RI Wilayah Timur terutama dengan Dinas Penyelamatan Bawah Permukaan Air di Surabaya.

Mahal

Di belahan dunia lain, ABA sering dimanfaatkan untuk meneliti sumur kuno, kolam kuno, pelabuhan, kota yang tenggelam, dan kapal-kapal karam. Dibandingkan arkeologi daratan, hasil-hasil temuan ABA menjadi lebih berharga karena materi organik dapat bertahan lebih lama di air daripada di udara.

Salah satu karya ABA yang paling spektakuler adalah pengangkatan kapal perang Tudor, The Mary Rose, pada 1982 setelah berada di dasar laut sejak 1545. Kapal itu berhasil ditarik ke markas angkatan laut di Portsmouth. Sebagai upaya konservasi, kapal itu dibungkus dengan busa pelindung dan secara teratur disiram agar tetap basah.

Kapal itu kini disimpan dalam sebuah museum khusus di sebuah dermaga kering dengan atmosfer yang cocok untuk pengawetan. Beberapa bagian kapal sudah diawetkan. Di sekitar lokasi kapal tersebut tenggelam, para arkeolog pernah menemukan sisa-sisa makanan, tulang, ikan yang dikeringkan, daging domba, rusa, dan buah-buahan segar. Selain itu ada peralatan tukang dan laci obat-obatan. Berdasarkan analisis dari temuan-temuan itu, para arkeolog berhasil menyusun hipotesis berharga tentang suasana abad ke-16 (Arkeologi, Paul Devereux, hal. 18-19).

Di Indonesia penelitian ABA baru dalam taraf pengupasan lapisan lumpur dan pengambilan contoh tinggalan. Belum mengarah kepada ekskavasi karena terkendala peralatan dan sarana penunjang yang masih serba terbatas serta mahal harganya.

Sekadar gambaran, cara kerja ABA adalah demikian: Segera setelah suatu situs terdeteksi, para penyelam memakai alat pernapasan (akualung) untuk menyelidiki situs tersebut. Sebelum ekskavasi dimulai, pembatas tiga dimensi dipasang di sekitar situs. Lembing bawah air dan pipa penyedot dipakai untuk menyingkirkan puing dan endapan. Semua temuan dipetakan memakai pembatas.

Pencatatan dan pemotretan dilakukan dengan alat khusus. Balon udara dipakai untuk membawa benda-benda berat ke permukaan. Sedangkan benda-benda ringan cukup dikerek dengan tali yang tersedia di atas kapal penelitian. Dalam penelitian dibutuhkan pula kapal selam mini, motor mini, dan alat-alat pendokumentasian. Sayang, alat-alat seperti ini belum kita miliki.

Dalam beberapa waktu terakhir ini, pembicaraan tentang harta karun dari perairan Cirebon kembali menyeruak. Ini karena harta karun tersebut sempat disita polisi yang menganggapnya sebagai barang ilegal. Sungguh disayangkan kalau pengangkatan muatan berharga dari kapal karam di perairan Indonesia hanya bertujuan komersial. Tanpa mengindahkan kaidah-kaidah ilmiah, misalnya dipetakan atau didokumentasikan. Dengan demikian kita akan kehilangan konteks sejarahnya.

Mudah-mudahan, dengan belajar dari ABA di negara lain, ABA di Indonesia akan dikembangkan. Apalagi di berbagai negara Asia disiplin underwater archaeology sudah lama diajarkan kepada para mahasiswa.***

DJULIANTO SUSANTIO
Arkeolog, tinggal di Jakarta


Tinggalkan komentar

Kategori