Oleh: hurahura | 23 Mei 2016

Membaca Koleksi Garudeya Berdasarkan Tinjauan Historis dan Mikrologis

Garudeya-1Gambar: Hiasan Garudeya dilihat dari depan.


Abstrak:

Koleksi Garudeya adalah sebuah benda dari emas yang ditemukan oleh saudara Seger tahun 1989, sekarang tersimpan di Museum Pu Tantular, dan merupakan suatu koleksi unggulan. Oleh masyarakat umum benda tersebut dikenal dengan nama hiasan ‘Garudeya’. Berdasarkan pengamatan, beberapa identitas diperoleh bahwa terdapat gambar pergelangan dan telapak tangan kiri yang di dalamnya terdapat hiasan lidah api, gambar burung garuda membawa guci amerta, mengenakan kain bawah motif jlamprang, gambar raksasa membawa gada, mengenakan kain bawah motif jlamprang, gambar figur manusia yang bersifat demonis sedang menari, gambaran pemandangan hutan dengan beberapa orang yang sebagian berpakaian pertapa, dan hiasan circir yang terdapat pada sisi-sisi kanan-kirinya.

Dari hasil analisa pembahasan dapat disimpulkan bahwa benda tersebut merupakan artefak peninggalan masa Hindu-Budha, yaitu sebuah ideofak yang berhubungan dengan kepercayaan atau religi. Hiasannya sarat dengan filsafat tantra. Oleh karena itu benda tersebut dikenal sebagai ‘Yantra’, yaitu sebagai alat bantu dalam upacara. Benda tersebut banyak kesamaan dengan kesenian yang berkembang masa Singasari. Sehingga secara historis benda tersebut dapat dihubungkan dengan raja Kertanagara, sebagai raja yang tekun dan rajin dalam melakukan upacara-upacara tantra. Gambar-gambar dalam kesatuan benda tersebut diduga merupakan sebuah sengkala yang dapat dibaca sebagai angka tahun 1212 saka atau 1290 M.

Kata Kunci: Garudeya, Historis, Mikrologis


Abstract:

Collection of Garudeya is an object made from gold found by Mr. Seger in 1989, now it is placed in Pu Tantular Museum and belongs to a superior collection. By common people that objects known as Garudeya ornament. According to the observation, some identity gained that there are the picture of a left palm of hand which has a tounge of fire ornaments, picture of garuda bird which bring Amerta jug, wearing clothes Jlamprang pattern, picture of a giant bringing Gada, wearing clothes Jlamprang pattern, picture of dancing human who has demonis character, picture of forest with some people with pertapa clothes, and ornament of circir in right and left side.

From the result of the discussion can be inferred that the object is an artifact from Hindu-Budha period, it is an ideofact which has relation with a reliance or religion. The ornament is full of Tantra Philosophy. Therefore, that objects known as “Yantra”, the instrument in ritual. That object has many similarities with the art which developes in Singhasari period. So that, in historical term, that objects related to King of Kertanagara, as a diligent king do the ritual of yantra. The pictures in the unite of the object is estimated as a Sengkala which can be read as the number of year 1212 saka or 1290 M.

Key words: Garudeya, History, Micrologis


A. Pendahuluan

Selaras dengan judul dalam pembahasan, yaitu ‘Membaca Koleksi Garudeya Berdasarkan Tinjauan Historis dan Mikrologis’. Yang dimaksud koleksi Garudeya adalah sebuah benda dari emas yang ditemukan oleh saudara Seger tahun 1989, yang sekarang tersimpan di Museum Pu Tantular, dan merupakan suatu koleksi unggulan. Oleh masyarakat umum benda tersebut dikenal dengan nama hiasan ‘Garudeya’. Hiasan emas ini, menurut data museum Pu Tantular, dibuat dari emas 22 karat dengan berat keseluruhan 1.163.09 gram. Panjang 37 cm, lebar 22 cm. Dihiasi batu permata yang disusun secara simetris berdasarkan warna di bagian kiri dan kanan, dengan jenis batuan ‘mirah’, ‘cat eye’, ‘jamrut’, dan ‘safir’. Artefak ini dapat dipisahkan menjadi tiga bagian, yaitu bagian yang terdapat ornamen pergelangan dan telapak tangan kiri serta burung garuda membawa kendi (kamandalu) berisi air amrta (air kehidupan) (atas), bagian yang berornamen raksasa membawa gadha (tengah), dan ornamen figur manusia berwajah raksasa dengan kedua tangan diangkat ke atas, sementara dua kaki dalam sikap menari dengan gaya ‘berjingkrak’ (bawah), (lihat gambar di atas).

Mengenai kesejarahannya, sampai saat ini terdapat beberapa versi yang menyatakan dugaan bahwa dilihat dari reliefnya, hiasan ini diduga merupakan peninggalan dari Abad XII-XIII Masehi. Tidak disebutkan secara jelas, mengapa benda tersebut diperkirakan berasal dari abad XII-XIII M. Mungkin hal itu dihubungkan dengan adanya hiasan burung ‘garuda’ membawa ‘amerta’ yang dianalogkan dengan relief garuda candi Kidal (Malang) yang merupakan produk abad XIII M, masa kerajaan Singasari. Ada pula yang menduga bahwa ditinjau dari penggambaran paruh burung garuda yang menunjukkan adanya pengaruh Cina, serta besarnya karat dan jenis batuannya, diduga benda ini berasal dari Siam, dan sampainya di Jawa karena sebagai cendera mata dari Raja Siam yang diperuntukkan bagi raja Jawa. Ada yang berpendapat bahwa benda tersebut berhubungan dengan raja Airlangga. Pendapat inipun berdasarkan pertimbangan asumsi bahwa mungkin karena raja Airlangga dikenal dengan prasasti-prasasti kerajaannya yang menggunakan cap ‘Garuda muka’, serta dihubungkan dengan arca Wisnu naik garuda dari patirthan Belahan yang diduga sebagai arca perwujudan Airlangga, maka benda yang berhias garuda itu erat hubungannya dengan raja tersebut. Sehingga benda tersebut berasal dari abad XI M.

Satu dugaan lagi disebutkan bahwa benda yang disebut sebagai badong penutup dada itu milik raja Tohjaya dari kerajaan Singasari abad XIII M. Argumentasinya berdasar pada tempat temuan benda tersebut, yakni di desa Plaosan kecamatan Wates Kediri. Berbekal dari berita Pararaton yang menyebutkan bahwa raja Tohjaya meninggal di Katang Lumbang. Di dekat desa Plaosan, di kecamatan Ngasem terdapat sebuah tempat yang bernama Katang, sementara di bagian lain, yaitu di kecamatan Gurah terdapat nama daerah bernama Lumbang. Atas dasar toponim itulah, maka benda tersebut diduga milik raja Tohjaya yang terjatuh saat sang raja melarikan diri dan mati terbunuh di Katang Lumbang.

Demikianlah penafsiran seputar benda arkeologis yang ditemukan 27 tahun yang lalu, yang hingga sekarang tetap menarik perhatian untuk dikaji. Sementara benda yang sejenis dengan benda ini tidak ditemukan. Dalam koleksi foto Bernet Kempers, terdapat sebuah jumbai penutup kelamin dari bahan emas, yang menggambarkan adegan dewi naik ikan (Sri Tanjung). Dengan demikian harapan satu-satunya untuk dapat memberikan hipotesa terhadap benda yang kita bahas ini, tentunya dengan mencermati secara teliti terhadap bendanya sendiri.


B. Pemerian Benda

Berdasarkan pengamatan terhadap bendanya yang berada di ruang koleksi emas museum Pu Tantular, serta visual yang berhasil didapatkan, maka sangatlah tepat apabila melakukan pengamatan secara cermat bagian demi bagian dari benda tersebut, yaitu sebagai berikut:
1. Bagian atas membentuk lengkung kurawal, yang di dalamnya berhiaskan sulur yang direcalsitran dari flora teratai, yang ujung-ujungnya membentuk lidah api. Sementara di dalam sulur-sulur terdapat gambar pergelangan tangan kiri dengan telapak tangannya yang jari-jarinya terbuka, keluar dari kelopak bunga teratai merah berjumlah lima lembar yang sedang mekar. Di bagian dalam telapak tangan kiri terdapat guratan mirip huruf ‘S’, seolah sebuah lidah api yang keluar dari selubungnya. Bagian lengkung kurawal ini seolah tudung tinggi yang membentuk sirascakra bagi kepala burung garuda yang berada di bawahnya. Pada bagian ini terdapat 7 tempat batu permata yang batunya hilang.

Di bawahnya terdapat hiasan burung garuda dengan tangan kiri membawa guci amerta, sementara tangan kanan diarahkan ke kanan dengan telapak tangan bersikap ‘kartarimudra’, yaitu jari telunjuk dan tengah membentuk seperti gunting, sementara tiga jari lain disatukan dengan ditekuk di bawahnya. Muka garuda menghadap ke arah depan dengan paruh yang terbuka. Berambut ikal, mata bundar melotot. Memakai kundala (anting), hara (kalung), keyura (kelat bahu), kankana (gelang), kuchabandha (ikat/hiasan dada), serta upavita (tali kasta). Mengenakan kain bawah motif ‘jlamprang’ isian hiasan empat kelopak padma. Posisi kedua kaki seperti layaknya relief garuda yang terdapat pada candi Kidal dan arca dari Belahan, hanya saja kaki kiri garuda Belahan dan garuda candi Kidal, betis dan telapak kaki ditekuk dan tersembunyi di paha kiri. Sementara garuda ini betis dan telapak kaki kirinya dilempar keluar ke arah kiri, sehingga tampak seperti berlari. Kedua sayapnya dikembangkan lebar-lebar seperti garuda candi Kidal, sementara sayap garuda Belahan terkesan sebagian menutup (hal ini tentunya dipengaruhi oleh faktor bahan batunya yang tidak memungkinkan untuk menggambar sayap garuda yang mengembang penuh).

Gambar garuda tersebut di belakangnya sarat oleh hiasan suluran dan flora, sehingga menggambarkan pemandangan hutan, yang di bagian kanan-kiri figur garuda, sisi bawah dan atas, terdapat gambar figur manusia masing-masing berada dalam ceruk. Figur manusia pada sisi kanan atas duduk dengan posisi kedua tangan bertumpu di atas kedua lutut kaki yang ditekuk ke atas (seperti seseorang sedang duduk di depan perapian). Kanan bawah, seseorang duduk dengan kaki kiri ditekuk ke atas, kaki kanan bersila, tangan kiri mengelus perutnya yang buncit, sementara tangan kanan berjuntai bertumpu, di depannya terdapat sebuah mangkuk. Di kiri atas terdapat sosok yang sama dengan gambar kanan bawah. Sementara kiri bawah seseorang duduk samadi dengan sikap ‘padmasana’ dengan sikap tangan ‘dhyanamudra’, yaitu kedua telapak tangan disatukan di pangkuan kedua kakinya dengan telapak menghadap ke atas (mengingatkan kepada arca Budha Amitabha). Di belakang kepalanya ada ‘sirascakra’, yaitu lingkaran kesucian. Pada bagian ini terdapat 21 tempat batu permata yang batunya masih ada.

2. Bidang kedua (bagian tengah) terdapat gambar figur raksasa dalam sikap berdiri seolah-olah ‘pratyalidha’, yaitu kaki kanan ditekuk dan kaki kiri lurus. Berambut gimbal dengan hiasan ikat kepala sebagai mahkota dengan motif ‘dua tanduk’ (tanduk ini mirip tanduk kepala kala candi-candi Jawa Timur, terutama kepala kala candi Jago), yang ditengahnya terdapat hiasan bunga. Tangan kiri diayunkan ke samping kiri dengan sikap telapak tangan ‘abhayamudra’, sementara tangan kanan diarahkan ke samping kanan atas dengan membawa senjata gada. Muka raksasa menghadap ke arah depan dengan mata bundar melotot, serta mulut yang menyeringai dengan gigi-gigi dan taringnya. Memakai kundala (anting), hara (kalung), keyura (kelat bahu), kankana (gelang), kuchabandha (ikat/hiasan dada), serta upavita (tali kasta). Juga mengenakan kain bawah motif ‘jlamprang’ isian hiasan empat kelopak padma, hanya isian yang ini lebih rumit dari isian motif jlamprang kain garuda.

Sama halnya dengan gambar garuda, latar belakang gambar raksasa inipun sarat oleh hiasan flora dengan pohon-pohon yang rindang yang menggambarkan pemandangan hutan, yang di bagian kanan-kiri figur raksasa sisi atas, terdapat figur-figur manusia berpakaian pertapa. Figur manusia pada sisi kanan atas duduk bersila di dalam ceruk, dengan tangan kanan diletakkan lurus ke bawah bertumpu, tangan kiri diletakkan dipangkuan paha kiri. Kanan atas, seseorang yang berdiri memandang ke arah seseorang yang duduk tadi dengan tangan kanan diangkat sejajar bahu, sedang tangan kiri berjuntai ke bawah. Jauh di belakangnya tampak sebuah bangunan balai dari kayu. Pada bagian ini terdapat 12 tempat batu permata yang batunya masih ada.

3. Bidang ketiga yang berada di bawah. Bergambar seseorang yang berdiri dengan posisi menari. Kedua tangan diangkat ke atas, dengan kedua telapak tangan menengadah ke atas. Sementara kedua kakinya ditekuk dengan kaki berjingkat. Figur ini berwajah raksasa dengan mata melotot dan mulut menyeringai. Mahkotanya adalah rambutnya yang disanggul tinggi (jata-makuta). Terdapat ‘sirascakra’ (lingkaran kesucian) di belakang kepalanya. Memakai kundala (anting), hara (kalung), keyura (kelat bahu), kankana (gelang), kuchabandha (ikat/hiasan dada), serta nupura (binggel). Pada bagian ini terdapat 5 tempat batu permata yang batunya masih ada.
4. Benda yang sarat dengan rangkain hiasan relief dan ornamen ini masih dihiasi dengan circir (kelintingan) pada sisi-sisi kanan dan kirinya, yang sekarang jumlahnya tinggal 13 buah.


C. Analisa Pembahasan

Dari hasil pemerian tersebut didapat beberapa identifikasi yang dapat digunakan sebagai landasan berpikir untuk menentukan kesejarahan maupun fungsi dari benda tersebut. Beberapa identitas yang diperoleh adalah:
1. Gambar pergelangan dan telapak tangan kiri yang di dalamnya terdapat hiasan lidah api
2. Gambar burung garuda membawa guci amerta, mengenakan kain bawah motif jlamprang
3. Gambar raksasa membawa gada, mengenakan kain bawah motif jlamprang
4. Gambar figur manusia yang bersifat demonis sedang menari
5. Gambaran pemandangan hutan dengan beberapa orang yang sebagian berpakaian pertapa
6. Hiasan circir yang terdapat pada sisi-sisi kanan-kirinya.
Sebelum lebih jauh membahasnya, marilah kita tetapkan lebih dahulu bahwa benda tersebut merupakan artefak peninggalan pada masa Hindu-Budha, atas dasar motif sikap telapak tangan (mudra), garuda dengan amertanya, raksasa membawa gada, figur manusia yang berpakaian kedewaan bersifat demonis, serta hiasan flora sulur-sulur teratai yang mendasarinya. Semua itu merupakan motif-motif pengaruh dari kepercayaan Hindu-Budha dari India.
a. Di Indonesia, lukisan tangan sejauh ini dapat ditelusuri dari peninggalan masa pra aksara dari leang Maros Sulawesi, yaitu cap-cap tangan kanan dan kiri dari manusia purba (Bernet Kempers, 1959; Hamka, 1980). Namun dalam hal hiasan tangan dan telapak tangan masa Hindu dan Budha, berhubungan dengan figur arca dewa. Di dalam ikonografi Hindu dan Budha, tangan dan telapak tangan berhubungan dengan sikap gerak tangan sebuah arca yang disebut hasta dan mudra. Hasta adalah sikap lengan seluruhnya dengan sikap tangan beserta jari-jarinya, sedangkan Mudra adalah sikap telapak tangan beserta jari-jarinya (Maulana, 1984). Lukisan telapak tangan kiri dengan jari-jari yang terbuka, menunjuk kepada mudra tertentu. Hal ini mengingatkan kepada suatu kepercayaan tantra, yang dalam ritual upacaranya memiliki tiga aspek, yaitu: mudra, jari-jari yang berjalin dalam sikap-sikap tertentu; dharani, syair mistik dan mantra; serta dharana, yaitu konsentrasi yoga (Priastana, 2004). Dalam hal ini mudra merupakan salah satu dari panca-Makara yang disebut Pancatattwa (Surasmi, 2007), yaitu sikap tangan yang menimbulkan tenaga-tenaga gaib (Soediman, 1977; Soekmono, 1988). Atas dasar relevansi tersebut dapat diduga bahwa gambar telapak tangan kiri yang terdapat di bagian atas benda tersebut menunjuk kepada keberadaannya sebagai ciri dari aliran kiri dalam kepercayaan tantrayana. Seperti yang diuraikan oleh Pott (1966) bahwa ajaran tantrayana terdiri dari dua aliran, yaitu right hand path atau aliran kanan (pawritti) dan left hand path atau aliran kiri (niwritti). Aliran kanan menekan dan mengendalikan organ indera dari panca-Ma, sementara aliran kiri justru membebaskan organ indera dari panca-Ma.

b. Garuda dikenal dalam mitologi Hindu sebagai lambang kebebasan, hidup bebas di alam terbuka yang tidak terikat oleh sesuatu batas (Santiko, 1971). Sementara hubungan antara garuda dengan amerta dapat dilihat di dalam Adiparwa (Mahabharata parwa pertama) yang disebut cerita ‘Garudeya’, yaitu ketika garuda menebus dewi Winata ibunya, dari perbudakan dewi Kadru dengan siasat menukarnya dengan air amerta milik para dewa (Santiko, 1971; Mellema dan Poerwadarminta, 1934). Di Indonesia, fragmen relief garuda dikenal dalam seni arca, relief candi, serta fragmen ornamen prasasti maupun yoni. Dalam seni arca dapat disebutkan sebagai contoh adalah garuda yang menyertai arca Wisnu dari candi Banon Jawa Tengah. Bentuk garuda di sini digambarkan sangat kecil berdiri di belakang kaki arca Wisnu. Sementara arca Wisnu naik garuda dari patirthan Belahan, penggambaran arca garuda besarnya melebihi arca Wisnu yang berada di atas pundaknya (Bernet Kempers, 1959). Penggambaran garuda di relief candi dijumpai pada dinding kaki candi Kidal, candi Kedaton, dan candi Sukuh (Bernet Kempers, 1959). Sedangkan fragmen ornamen ‘garuda muka’ di prasasti dapat dijumpai pada sejumlah prasasti raja Airlangga yang memang digunakan sebagai cap kerajaan(Susanti, 2010), dan fragmen ornamen pada batu yoni salah satunya dijumpai di candi Sawentar-Blitar.

Hiasan garuda membawa amerta dalam artefak yang kita bahas ini, tidak begitu saja dapat diduga sebagai makna yang berhubungan dengan peristiwa Adiparwa. Itu haruslah berhubungan dengan garuda yang melambangkan kebebasan, sedangkan air amerta berarti air suci abadi (Zoetmulder, 2004; Mardiwarsito, 1986; Wojowasito, 1977). Kebebasan dan keabadian ini hanya dapat dipahami apabila kita berbicara tentang ‘jivan mokta’, yang merupakan salah satu ciri dari aliran tantra mengenai usaha mempercepat proses pencapaian moksa, yaitu pembebasan dari semua ikatan duniawi untuk mencapai kesempurnaan, walaupun yang bersangkutan masih hidup (Pitono, 1969; Sulaiman, 1980; Santiko, 1990). Juga perlu mendapat perhatian di sini bahwa garuda dalam pandangan Budhisme kalacakra, merupakan burung nyawa yang rakus sebagai tunggangan dari Budha Amoghasiddhi (Moens, 1974).

c. Dalam ikonografi Hindu, figur raksasa dalam posisi berdiri membawa gada dapat diidentikkan sebagai Mahakala. Mahakala adalah salah satu aspek dari dewa Siwa yang bersifat kroda/demonis (Soekmono, 1988). Di Jawa, Mahakala dapat dijumpai pada candi-candi Hindu. Penempatannya bersandingan sebagai penjaga pintu ruang utama bersama Nandiswara, yang juga merupakan aspek Siwa yang bersifat santa. Berkenaan dengan figur Mahakala dalam pembahasan ini yang berdiri sendiri tanpa Nandiswara, pun dilihat dari sikap berdirinya yang merentangkan kakinya (seperti berdirinya arca Catuhkaya dari Pejeng-Bali (Bernet Kempers, 1956), tidak dapat dihubungkan dengan Mahakala sebagai penjaga kuil Siwa. Dalam pandangan kepercayaan Budhisme kalacakra, disebutkan bahwa Mahakala adalah pembunuh besar sebagai penguasa lapangan mayat, yang dikalahkan oleh sang Budha. Di lapangan mayat itulah ketika api pembakaran membubung tinggi dan menghancurkan apa yang dibakar, di sanalah tempat Mahakala dengan rambutnya yang bernyala-nyala kemerah-merahan dengan sifat krodanya, dilingkupi oleh agni (api) gelap dalam wujud seekor burung garuda sebagai burung nyawa yang rakus (Moens, 1974).

d. Figur terakhir adalah figur berwajah demonis dengan pakaian kedewaan sedang melakukan sebuah gerakan menari. Dalam paham Hindu, dewa yang melakukan tarian seolah-olah tanpa berhenti adalah Siwa, oleh karenanya disebut sebagai Nrtta atau Tandava murti (Harshananda, 1999). Pun dalam kepercayaan Hindu-Budha, Siwa melakukan tarian ketika dalam wujudnya sebagai Bhairawa, yaitu dewa lapangan mayat yang berwajah raksasa yang terkenal dalam aliran tantra (Moens, 1974; Soekmono, 1988). Gambaran figur ini posisi gerak kakinya menyerupai gerak kaki arca Bhairawa dari Singosari (Bernet Kempers, 1959; Soekmono, 1988), arca Bhairawa atau Bhima dari Pura Kebo Edan Gianyar-Bali (Bernet Kempers, 1956; Surasmi, 2007), serta relief-relief raksasa dari biaro Bahal I (Sulaiman, 1985). Yang semuanya menunjuk kepada suatu tarian dalam prosesi upacara tantra. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa gambaran itu adalah ‘Siwa’ yang menari, yang dalam aliran tantra dikenal sebagai ‘Bhairawa’.

e. Lukisan pemandangan hutan dengan sebuah ‘bale’ sebagai latar belakang, serta beberapa orang yang sebagian berpakaian pertapa di dalam ceruk, ada yang berperut buncit tanda kekenyangan dengan wadah mangkuk di depannya, ada figur pertapa melakukan samadi yang penggambarannya mirip dhyani Budha Amitabha. Suasana relief semacam ini mengingatkan kepada adanya sebuah mandala (lingkungan pertapaan). Namun pertapaan di dalam hutan yang aneh ini, pertapa di satu sisi berperut buncit tanda kekenyangan, di sisi lain lagi duduk samadi seolah tanpa terganggu, akan mudah dipahami apabila kita mengkorelasikan dengan naskah Sang Hyang Kamahayanikan (Sumonggokarso, 1988) dan Sutasoma (Woro Retno Mastuti dan Bramantyo, 2009) yang menguraikan tentang keberadaan mandala pertapaan dan tata aturan dalam melakukan tapa. Dalam hal ini aturan-aturan tersebut mirip dengan cerita yang terdapat dalam naskah Tantu panggelaran tentang cerita Pu Bharang yang melakukan tapa Bhairawa (Pigeaud, 1924), serta cerita Bubuksa Gagangaking, dalam hal ini Bubuksa pun melakukan tapa Bhairawa (Soewito, 1975). Lingkungan mandala semacam ini dalam naskah Nagarakretagama disebut sebagai ‘karesyan’ yang di dalamnya termasuk ‘caturbhasma mandala’ dan ‘katyagan caturasrama’ (Pigeaud, 1960; Slametmulyana, 1979; Robson, 1995; Riana, 2009). Bhasma berarti abu, biasanya berupa abu sisa pembakaran pembakaran mayat, yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk upacara tantra, yaitu dipakai untuk melumuri tubuh si sadhaka dalam upacara tersebut (Santiko, 1990). Apabila relief ini dikorelasikan dengan gambar Garuda, Mahakala, dan Bhairawa, maka tidak diragukan lagi bahwa lukisan dari semua relief itu menggambarkan suatu wanasrama mandala Bhasma, yaitu sebuah ksetra dari aliran tantra sebagai tempat melakukan prosesi upacara tantra. Hal ini tentunya kita ingat akan naskah Tantu Panggelaran bahwa wanasrama di Kalyasem merupakan pusat aliran Siwa Bhairawa tempat Pu Bharang melakukan samadi (Pigeaud, 1924). Juga naskah Calon Arang yang menyebutkan tempat upacara yang dilakukan oleh Calon Arang di sebuah tempat angker atau pekuburan (Poerbatjaraka, 1975).

f. Kelintingan-kelintingan (circir) yang menghiasi pinggir-pinggirnya, mengingatkan kepada circir yang digunakan oleh para pendeta dari aliran tantra sebagai sarana prosesi upacara. Arca Bhairawa dari percandian Singosari mengenakan sabuk dari sederetan circir yang diikatkan di perutnya. Begitu pula Bhairawa dari Padangroco mengenakan sabuk dengan gantungan circir. Di Bali, para Sengguhu (semacam pedanda) memakai tanda-tanda kebesaran Bhairawa, yaitu gendang kecil dan circir yang digantungkan pada sebuah cakra dengan gagang garuda (Moens, 1974; Surasmi, 2007). Dengan demikian circir merupakan salah satu ciri dari sarana upacara tantra.

Dari analisa pembahasan di atas dapat diambil suatu pemahaman bahwa ditinjau dari sisi Mikrologi terhadap bagian-bagian benda mulai dari gambar Tangan dengan jari-jari terbuka yang menunjuk kepada mudra tertentu, Garuda dengan guci amerta yang melambangkan pelepasan dan keabadian (moksa), Mahakala sebagai penguasa lapangan mayat, dan Bhairawa yang sedang melakukan tarian, serta gambaran sebuah lingkungan mandala pertapaan, maka dapat dikatakan bahwa benda tersebut sarat dengan filsafat Tantrayana.

Aliran tantra yang menonjol di Indonesia adalah masa raja Kertanagara dari kerajaan Singasari abad XIII M dan raja Adityawarman dari kerajaan Malayu di Sumatra abad XIV M. Mengingat akan hal itu dapatlah kiranya dikemukakan bahwa benda tersebut dihubungkan dengan keagamaan dua raja itu. Kalaupun benda tersebut diduga merupakan pengaruh Champa dan atau berasal dari Champa, kebenaran itu tidak terlalu jauh, karena Singasari pada masa raja Kertanagara pernah mengadakan hubungan persahabatan dengan Champa (Sumadio, 2010) pada masa pemerintahan Jaya Simhawarman III (1288-1307) yang memiliki seorang istri dari Jawa, yaitu ratu Tapasi (Hall, 1988; Coedes, 2015). Menilik hubungan antara Champa dan Jawa, dengan sendirinya keterkaitan antara benda tersebut dengan seorang raja sudah jelas, yaitu berhubungan dengan raja Kertanagara dari kerajaan Singasari.

Sebagai penegasan pula untuk memperkuat dugaan bahwa benda tersebut dibuat sezaman dengan masa kesenian Singasari, adalah motif kain yang dipakai oleh Garuda dan Mahakala, yaitu motif ‘jlamprang’, serta hiasan tanduk yang terdapat pada kepala Mahakala. Sejauh penelitian terhadap motif-motif kain yang dikenakan pada arca, hanya arca-arca Singasari yang memiliki motif ‘jlamprang’, itupun hanya arca ‘Prajnaparamitha’ Ken Dedes, arca Parwati di candi Singosari, serta arca Durgamahisasuramardini dari candi Singosari yang sekarang di Leiden. Sementara hiasan tanduk yang dikenakan oleh Mahakala sangat mirip dengan hiasan tanduk pada kepala Kala candi-candi di Jawa Timur terutama kepala Kala produk kesenian Singasari seperti candi Kidal, Jago, Singosari, dan Jawi.

Lebih jauh di sini diusulkan bahwa lambang-lambang yang terdapat di dalamnya, yaitu gambar Tangan dengan jari-jari terbuka, Garuda, Mahakala, dan Bhairawa diduga merupakan sebuah sengkala, seperti yang pernah ditafsirkan Bambang Budi Utomo terhadap Arca stambha gajah, gana, dan singa dari candi Bumiayu Sumatra, yang dibaca sebagai angka tahun 818 (Soejatmi Satari, 2002; Susetyo, 2010), serta sengkala dari candi Sawentar II yang salah satunya bergambar Naga bermahkota menggigit matahari yang ditafsir oleh Baskoro Daru Tjahjono sebagai angka tahun 1318 (Daru Tjahjono, 1999). Demikian pula halnya artefak pembahasan ini. Gambaran Tangan memiliki arti angka: 2, Garuda (raja burung) : 1, Mahakala (penguasa/penjaga) : 2, Bhairawa : 1. Sehingga terbaca angka tahun 2121. Pembacaan sengkala dilakukan terbalik, yaitu 1212, yang tentunya menunjuk kepada tahun saka. Jika dijadikan tahun masehi ditambah 78, sehingga terdapat tahun 1290 M, yang diduga merupakan tahun pembuatan. Menurut prasasti Aksobhya di Simpang Surabaya, raja Kertanagara ditahbiskan sebagai Jina tahun 1289 M. Gelaran Jnanabjreswara untuknya, menunjuk bahwa Kertanagara mencapai Jivan Mokta, yang tidak lagi terkena akibat-akibat dari panca Ma, dan baginya tidak ada lagi hal yang terlarang.

Dari uraian tersebut dapat diduga bahwa benda tersebut merupakan salah satu artefak yang tergolong ideofak, yaitu suatu benda yang berhubungan dengan keagamaan. Dalam kepercayaan Tantra, benda tersebut adalah ‘Yantra’ yang merupakan alat bantu dalam upacara tantra untuk melakukan meditasi atau samadi (Rita Istari, 2002).


D. Kesimpulan

Dari semua uraian di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Benda yang merupakan artefak peninggalan masa lampau dengan sebutan ‘Garudeya’, adalah sebuah ideofak yang berhubungan dengan kepercayaan atau religi.
2. Ditinjau dari hiasannya yang sarat dengan filsafat tantra, benda tersebut dikenal sebagai ‘Yantra’, yaitu sebagai alat bantu dalam upacara.
3. Ditinjau dari seni ornamentasinya, benda tersebut terdapat kesamaan dengan kesenian yang berkembang masa Singasari.
4. Karena erat hubungannya dengan kesenian Singasari, maka secara historis benda tersebut dapat dihubungkan dengan raja Kertanagara, sebagai raja yang tekun dan rajin dalam melakukan upacara-upacara tantra.
5. Gambar-gambar yang ada dalam kesatuan benda tersebut diduga merupakan sebuah sengkala yang dapat dibaca sebagai kesatuan angka tahun 1212 saka atau 1290 M.


Daftar Rujukan

Bernet Kempers, A.J. 1956. Bali Purbakala. Djakarta: Penerbitan dan Balai Buku Indonesia

Bernet Kempers, A.J. 1959. Ancient Indonesian Art. Amsterdam: C.P.J. Van Der Peet.

Coedes, George. 2015.Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha. Terjemahan Winarsih Pataningrat Arifin. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Daru Tjahjono, Baskoro. 1999.Paregreg dalam Sebuah Monumen. Dalam Berkala Arkeologi. Tahun XIX Edisi 2/November. Hal. 68-76. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta.

Hall, D.G.E. 1988. Sejarah Asia Tenggara. Terjemahan I.P. Soewarsa. Surabaya: Usaha Nasional.

Hamka, Moh. 1980. Leyang-leyang Saksi Manusia Purba. Dalam Analisis Kebudayaan Tahun 1 no. 1. hal. 128-135. Jakarta: Depdikbud.

Harshananda, Swami. 1999. Dewa-Dewi Hindu. Surabaya: Paramita.

Mardiwarsito, L. 1986. Kamus Jawa Kuna (Kawi) – Indonesia. Ende-Flores: Penerbit Nusa Indah.

Maulana, Ratnaesih. 1984. Ikonografi Hindu. Diktat. Jakarta: Fak. Sastra U.I.

Mellema, R.L dan Poerwadarminta, W.J.S. 1934. Purana Sastra I. Groningen-Den Haag-Batavia: J.B. Wolters Uitgevers-Maatschappij.

Moens, J.L. 1974. Budhisme di Jawa dan Sumatra dalam Masa Kejayaannya Terakhir. Terjemahan. Jakarta: Bhratara.

Pigeaud. Th.G.Th. 1924. De Tantu Panggelaran. Een Oud-Javaansch Prozageschrift, uitgegeven, vertaald en toegelicht. Nederland: Boek-en Steendrukkerij voorheen H.L. Smits.

Pigeaud. Th.G.Th.1960. Java in the Fourteenth Century:A Study in Cultural History The Negarakertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit 1365 AD. Vol 1. The Haque: Martinus Nijhoff.

Pitono, R. 1969. Pengaruh Tantrayana pada Kebudayaan Kuno Indonesia. Dalam Majalah Basis 18 No.2 hal. 389-399.

Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1975. Calon Arang Si Janda dari Girah. Terjemahan Soewito Santoso. Jakarta: Balai Pustaka.

Pott, P.H. 1966. Yoga and Yantra. Translations Series 8. Leiden: Martinus Nijhoff.

Priastana, Jo. 2004. Pokok-Pokok Dasar Mahayana. Jakarta: Yasodhara Putri

Riana, I.K. 2009. Kakawin Desa Warnnana uthawi Nagara Krtagama. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

Rita Istari, T.M. 2002. Pelaksanaan Upacara Ritual dalam Tantrayana. Dalam Berkala Arkeologi tahun XXI Edisi 1/Mei. Hal 40-48. Yogyakarta: Balai Arkeologi.

Robson, Stuart. 1995. Desawarnana (Nagarakrtagama) by Mpu Prapanca. Leiden : Verhandelingen van het Koninklijk Instituut vor Taal-, Land- en Volkenkunde, 169.

Santiko, Hariani. 1971. Asal Mula Ular (Naga) dan Garuda dalam Kepercayaan Masyarakat Indonesia-Hindu. Dalam Mimbar Ilmu. No.9/10 Th.V Maret/Djuli. Malang: Fak. Keguruan Ilmu Sosial IKIP Malang Pusat.

Santiko, Hariani. 1990. Kehidupan Golongan Rsi di Jawa. Dalam Monumen. Karya persembahan untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Depok: Lembaran Sastra Fak. Sastra U.I.

Santoso, S. 1975. Sutasoma. A Study in Javanese Wajrayana. New Delhi: International Academy of Indian Culture.

Slametmulyana, 1979. Nagarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Soediman, 1977. Latar Belakang Keagamaan Candi Plaosan. Dalam 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional 1913-1963. Jakarta: Karya Nusantara.

Soejatmi Satari, Sri. 2002. Sebuah Situs Hindu di Sumatra Selatan: Temuan Kelompok Candi dan Arca di Bumiayu. Dalam 25 tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi dan Ecole francaise d’Extreme-Orient. Hal. 113-132 Jakarta: Puslit Arkeologi.

Soekmono, R. 1988. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Yogyakarta: Kanisius.

Sulaiman, Satyawati. 1980. Perkembangan Seni Arca Kuno di Indonesia. Dalam Analisis Kebudayaan Tahun 1 no. 1. hal. 50-59. Jakarta: Depdikbud.

Sulaiman, Satyawati. 1985. Peninggalan-Peningalan Purbakala di Padang Lawas. Dalam Amerta 2. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Sumadio, Bambang. (ed). 2010. Sejarah Nasional Indonesia II Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.

Sumonggokarso, Dharmakirty. 1988. Sang Hyang Kamahayanikan. Yogyakarta: C.V. Locana Indah.

Surasmi, I Gusti Ayu. 2007. Jejak Tantrayana di Bali. Denpasar: CV. Bali Media Adhikarsa

Susanti, N. 2010. Airlangga, Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI. Jakarta: Komunitas Bambu.

Susetyo, Sukawati. Stambha-Stambha dari Padang Lawas, Sumatera Utara. Dalam Pentas Ilmu di Ranah Budaya. Sembilan Windu Prof. Dr. Edi Sedyawati. Hal. 671-682. Denpasar: Pustaka Larasan.

Wojowasito, S. 1977. Kamus Kawi-Indonesia. Malang: CV. Pengarang
Woro Retno Mastuti, Dwi ; Bramantyo, Hastho. 2009. Kakawin Sutasoma. Jakarta: Komunitas Bambu.

Zoetmulder, P.J dan Robson, S.O. 2004. Kamus Jawa Kuno – Indonesia. Jakarta: Gramedia

**********

Penulis: Suwardono
Sarjana Pendidikan Sejarah. Guru Sejarah di SMA Negeri 7 Malang. Purbakalawan Jawa Timur bidang sejarah dan arkeologi klasik (Masa Hindu-Budha) bidang kajian epigrafi.

* Pernah disampaikan pada Seminar
‘Menguak Misteri Perhiasan Emas Garudeya Koleksi Museum Mpu Tantular’.
Di gedung Von Vaber, Museum Pu Tantular Sidoarjo-Jawa Timur.
Rabu, 18 Mei 2016, bersama Prof. Dr. Edi Sedyawati.


Tinggalkan komentar

Kategori