Oleh: hurahura | 26 Januari 2013

Dari Aneta ke Antara (2 – Habis)

Warta Kota, Selasa, 22 Januari 2013 – Karena pemberitaan Aneta dipandang kurang objektif, maka beberapa putera Indonesia mendirikan Kantor Berita Antara pada 13 Desember 1937. Nama Antara merupakan kependekan dari Per-Antara-an Masyarakat dan Pers. Dua bulan setelah Antara lahir, Pemerintah Hindia Belanda memberikan bantuan 6.000 Gulden agar Aneta dapat menekan tarif langganan bagi surat-surat kabar pribumi. Apalagi Dewan Hindia Belanda berpendapat bahwa Aneta menduduki posisi monopoli.

Kantor Berita Aneta ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang pada 19 Maret 1942. Ketika itu Jepang unggul dalam Perang Pasifik sehingga Belanda menyerah tanpa syarat. Namun kemudian Jepang kalah perang. Akibatnya tentara Sekutu memasuki Jakarta pada September 1945. Aneta pun sejak awal 1946 memulai lagi aktivitasnya di gedungnya yang lama Jalan Antara No. 53. Selama perang, gedung itu ditempati oleh kantor berita Jepang Domei.

Aneta masih melanjutkan kegiatannya meskipun Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1949. Waktu itu Antara dituduh cenderung berpihak kepada golongan kiri atau komunis. Sebaliknya Aneta dinilai cenderung sangat kanan. Hal tersebut tercermin dari tajuk rencana harian Keng Po. Dikatakan, “Haluan Antara sangat kiri dan Aneta sangat kanan, seolah-olah membayangkan ‘perang dingin’ yang terasa di seluruh dunia”. Awal 1951 mulai dilakukan proses nasionalisasi. Pada 31 Maret 1951 NV (Naamloze Vennootschap = Perseroan Terbatas) Aneta menyerahkan operasi kantor berita kepada Yayasan Persbiro Indonesia Aneta (PIA). Dewan pengurus yayasan diketuai B.M. Diah, yang juga mengetuai Perserikatan Persuratkabaran Indonesia (PPI). Oktober tahun itu B.M. Diah memanggil pulang D. Adinegoro dari Belanda untuk menjadi direktur kantor berita itu.

Pada 6 November 1954 tambahan nama Aneta dihapus, sehingga badan itu hanya bernama Persbiro Indonesia tetap disingkat PIA. Dalam proses nasionalisasi itu secara bertahap staf Belanda diganti dengan staf Indonesia. Awal 1955 pemimpin redaksinya yang masih dijabat wartawan Belanda, Johannes (Hans) Martinot, digantikan oleh Tengku Dzulkafli Hafas. Berdasarkan keputusan Presiden Soekarno 13 Desember 1962, PIA digabungkan ke dalam Kantor Berita Antara (Ensiklopedi Jakarta, Buku I, 2004). (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Tinggalkan komentar

Kategori