Oleh: hurahura | 28 November 2010

Kapan Candi-candi Itu Didirikan?

Oleh: Djulianto Susantio

Selain pendiri candi—apakah orang Indonesia ataukah orang India—persoalan lain yang timbul dalam dunia arkeologi Indonesia yang belum terungkap tuntas adalah “kapan candi-candi itu didirikan?”. Candi adalah salah satu bentuk bangunan purbakala yang paling banyak ditemukan di Indonesia.

Ditinjau dari masanya, umumnya candi berasal dari periode klasik sejarah Indonesia, yakni sekitar abad V hingga XVI Masehi. Saat itu kerajaan-kerajaan bercorak Hindu dan Buddha banyak berkuasa di Nusantara. Hingga kini mayoritas candi tersebar di Jawa. Hanya sebagian kecil terdapat di luar Jawa, seperti Bali, Sumatera, dan Kalimantan.

Persoalan “kapan candi-candi itu didirikan” memang sampai kini masih sulit terpecahkan. Masa kerajaan-kerajaan Hindu Buddha di Nusantara yang berlangsung sekitar seribu tahun ditambah data pendukung yang kurang lengkap, menyebabkan waktu pendirian candi baru bisa ditentukan secara relatif saja, yakni mengacu kepada “abad sekian” bukannya “tahun sekian”.

Simak saja kutipan berikut: “…Belum diketahui secara jelas tahun pembangunan candi ini (Candi Sari, penulis). Diperkirakan candi ini dibangun bersamaan dengan Candi Kalasan yang terletak di dekatnya, yakni sekitar abad XIII Masehi… (Kompas, 19/5/2008). Ya, sekitar abad XIII Masehi, bukan mengacu pada tahun.

Memang masih terlalu sulit untuk menentukan waktu secara absolut karena kita kekurangan data masa lampau. Apalagi prasasti tidak secara terang-terangan menyebutkan kapan dimulainya masa pembangunan suatu candi. Begitu pula naskah kuno, karya sastra, dan berita tertulis lainnya.


Prasasti

Salah satu upaya mengetahui pertanggalan candi yang dinilai relatif akurat hanyalah menghubungkan candi dengan prasasti, terutama prasasti yang ditemukan dekat lokasi candi. Candi Sewu, misalnya, dihubungkan dengan Prasasti Manjusrigerha. Menurut prasasti itu, seorang nayaka pada 714 Saka (=792 Masehi) melakukan perluasan terhadap bangunan wajrasana manjusrigerha.

Kecuali itu, Candi Sewu juga dihubungkan dengan Prasasti Kelurak. Isi pokok prasasti tersebut adalah tentang didirikannya sebuah bangunan suci buat Manjusri atas perintah Raja Indra pada 704 Saka (=782 Masehi).

Uniknya, Prasasti Manjusrigerha beraksara Jawa Kuno dan berbahasa Melayu Kuno, sedangkan Prasasti Kelurak beraksara Prenagari dan berbahasa Sansekerta. Kalau benar kedua prasasti berhubungan dengan Candi Sewu, tentu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bangunan utama candi diresmikan tahun 782 Masehi, setelah itu diperluas pada 792 Masehi.

Namun menurut penelitian para epigraf (ahli membaca dan menafsirkan prasasti kuno), pertanggalan pada prasasti selalu merujuk pada peresmian suatu bangunan, bukan saat pendirian suatu bangunan. Jadinya kita masih susah untuk mendapatkan kronologi yang tepat.

Beberapa candi yang juga dihubungkan dengan prasasti berdasarkan lokasi penemuannya atau isinya antara lain Candi Gunungwukir (dengan Prasasti Canggal), Candi Kalasan (dengan Prasasti Kalasan), Candi Borobudur (dengan Prasasti Karangtengah), dan Candi Badut (dengan Prasasti Dinoyo). Telaah terhadap candi-candi ini pun belum membuahkan hasil yang menggembirakan karena informasi di dalamnya masih samar-samar.

Hubungan antara candi dengan prasasti, membawa inspirasi bagi E.B. Vogler untuk menelusuri pertanggalan candi di Jawa. Upaya yang dilakukannya adalah membagi perkembangan-perkembangan candi di Jawa Tengah atas lima periode. Pendapatnya diajukan setelah mengadakan penelitian perkembangan hiasan kala makara di atas pintu candi dan sejarah politik kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah. Keistimewaan dari masing-masing bangunan kemudian dihubungkannya satu sama lain sehingga didapatkan sebuah hipotesis.

Menurut Vogler, periode I berasal dari masa sebelum tahun 650. Diperkirakan, pada masa itu sudah ada bangunan yang terbuat dari bahan yang mudah rusak dan lapuk sehingga tanda-tanda arsitekturalnya tidak tersisa.

Periode II berasal dari tahun 650 hingga 760. Ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Sanjaya dari Kerajaan Mataram. Raja itu beragama Siwa, mungkin berasal dari India Selatan. Gaya bangunan pada masa ini, dipengaruhi oleh arsitektur Pallawa yang juga berasal dari India Selatan. Bangunan-bangunan candi dari periode ini pun, menurut Vogler, sudah rusak dan lapuk sehingga tidak mudah teridentifikasi.

Periode III berlangsung tahun 760-812, pada masa Dinasti Sailendra. Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Borobudur, Pawon, Mendut, Kalasan, dan Sari.

Periode IV berlangsung tahun 812-928. Pengaruh asing, terutama gaya Chandiman (India), mulai memperkaya unsur-unsur candi. Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Prambanan, Sajiwan, Plaosan, dan Ngawen.

Periode V berlangsung tahun 928 hingga akhir masa Hindu-Jawa. Bangunan-bangunan yang ada merupakan perkembangan dari gaya-gaya sebelumnya. Bangunan dari periode ini mulai diperkaya dengan unsur-unsur kesenian Jawa Timur, terutama bentuk kala. Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Pringapus, Sembodro, Ratna, dan Srikandi.

Belasan tahun kemudian teori Vogler mendapat sanggahan dari Soekmono. Arkeolog pertama bangsa Indonesia ini selanjutnya menyusun periodesasi candi berdasarkan “teori profil klasik”.

Menurutnya, profil klasik Jawa Tengah dapat dipakai sebagai dasar perkembangan profil candi-candi yang ada. Landasan pemikiran Soekmono adalah profil yang masih sangat sederhana dianggap lebih tua umurnya daripada profil yang mempunyai bentuk kompleks.

Soekmono membagi candi-candi di Jawa atas dua periode. Periode I bergaya Dieng Lama (tahun 650-730). Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Arjuna, Semar, Srikandi, dan Gatotkaca.

Periode II terdiri atas tiga gaya, yakni Dieng Baru, Sailendra, dan gabungan keduanya (tahun 730-800). Contoh-contoh bangunannya antara lain Candi Gedongsongo, Bhima, Kalasan, Sewu, Sambisari, dan Lumbung.

Upaya lain dilakukan oleh Hariani Santiko, Guru Besar Arkeologi UI saat ini, dengan melakukan penamaan gaya seni candi berdasarkan aspek zaman atau periodesasi, yakni candi gaya Mataram Kuno (abad VIII-X), candi gaya Singasari (abad XII-XIV), dan candi gaya Majapahit (abad XIII-XV). Setiap gaya candi, menurut Hariani, memiliki ciri-ciri tersendiri, yang berimbas pada pertanggalannya dan kemungkinan raja yang memerintah saat itu.


Astronomi

Upaya mencari tahu tanggal pendirian candi dengan metode lain, pernah dilakukan oleh arkeolog Eadhiey Laksito Hapsoro (1985). Dasar utamanya adalah menggunakan prinsip-prinsip astronomi. Dalam penelitiannya, dia mengambil sampel lima buah candi yang memiliki tarikh prasasti.

Pertama kali dia mengukur koordinat candi lalu menganalisisnya dengan bantuan program komputer. Sebagai contoh dia memaparkan, kemungkinan besar Candi Gunungwukir mulai dibangun pada 19 November 719 atau 11 Januari 726. Sedangkan peresmiannya pada 6 Oktober 732 sebagaimana data dari Prasasti Canggal.

Hasil ini pun masih dianggap belum mutlak karena adanya dua kemungkinan dimulainya masa pembangunan candi. Dari beberapa kemungkinan itu, tentu saja ada yang paling mendekati. Namun bagaimana bila suatu candi tidak dapat dihubungkan dengan suatu prasasti, itulah masalahnya.

Betapapun, penelitian tersebut sudah dianggap lebih maju daripada penelitian-penelitian sebelumnya. Sejauh ini, penelitian arkeologi yang menggunakan bantuan ilmu-ilmu eksakta merupakan hal baru di Indonesia.

Sayangnya, kita belum tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk membangun Candi Gunungwukir itu. Apakah memerlukan waktu 13 tahun, kalau kita mengandai-andai candi itu mulai dibangun pada 19 November 719. Ataukah hanya 6 tahun, sekiranya mengacu pada awal pembangunan 11 Januari 726? Memang, hasilnya masih samar-samar karena penelitian terhadap aspek-aspek lainnya belum dilakukan, misalnya tentang banyaknya pekerja candi sebagaimana yang pernah dilakukan para peneliti Barat terhadap jumlah pekerja piramida Mesir.

Teknologi semakin berkembang. Mungkin saja teknologi akan mampu mengungkapkan tabir masa lampau. Tapi sayangnya di sini anggaran penelitian belum menjadi prioritas.***


Tinggalkan komentar

Kategori