Oleh: hurahura | 13 Februari 2011

Petasan di Batavia

Warta Kota, Selasa, 8 Februari 2011 – Perayaan Imlek rupanya tidak bisa dipisahkan dari petasan atau mercon. Meskipun bunyinya memekakkan telinga, justru tradisi ini menjadi menarik. Tradisi membakar petasan, dari yang berukuran kecil sebesar cabe rawit hingga besar, dipercaya berasal dari China. Dulu tujuannya adalah untuk mengusir makhluk pengganggu bernama Nian, yang selalu muncul pada Tahun Baru Imlek. Pada masa kemudian bunyi petasan digunakan untuk mengusir roh-roh jahat pada berbagai hajatan.

Di Batavia, kuat dugaan petasan dibawa oleh para pedagang China. Pada abad ke-16 dan ke-17 membakar petasan sudah banyak dilakukan di sini. Tapi karena adanya kebakaran di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, maka pada 1650 penguasa VOC melarang pembakaran petasan, terutama di musim kemarau. Petasan juga dianggap berpotensi membahayakan rumah penduduk yang umumnya terbuat dari bambu dan atap rumbia.

Alasan lain pelarangan adalah faktor keamanan. Ini karena penguasa VOC sulit membedakan bunyi ledakan petasan dengan letusan senjata api. Ketakutan VOC bisa dipahami karena orang-orang China pernah menggunakan petasan sebagai senjata perlawanan. Banyak tentara terpaksa lari terbirit-birit mengira bunyi senapan.

Setelah pembantaian etnis China di Batavia tahun 1740, banyak masyarakat melarikan diri ke daerah-daerah pinggiran di Batavia, seperti Tangerang, Parung, Serpong, Parung Panjang, Tenjo, Cisauk, Teluk Naga, dan Balaraja. Mereka inilah yang disebut China Benteng. Ternyata mereka membawa terus adat kebiasaan menyalakan petasan menjelang perayaan Imlek, Peh Cun, atau tradisi lainnya. Parung Panjang, sebuah wilayah di dekat Serpong, sampai saat ini masih dikenal sebagai pusat penghasil petasan terbesar di Indonesia.

Dalam perjalanan waktu, tradisi menyalakan petasan ini ditiru oleh orang-orang Betawi hingga kini, teristimewa menjelang pesta perkawinan atau khitanan. Juga untuk memeriahkan bulan suci puasa bagi umat Islam. Dalam masyarakat Betawi petasan berfungsi sebagai alat komunikasi, misalnya untuk memberitahu bahwa ada pesta pernikahan atau khitanan.

Sebenarnya larangan serupa pernah diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Tapi kebiasaan membakar petasan tetap saja sulit terbendung. Meskipun sudah banyak memakan korban jiwa dan harta benda, tradisi petasan sudah dianggap keramat. Petasan memang selalu meramaikan suasana. Rentetan bunyi petasan dalam sebuah hajatan, menjadi sebagai simbol status sosial seseorang di masyarakat dan penanda rasa syukur. (Djulianto Susantio)


Tinggalkan komentar

Kategori