Oleh: hurahura | 9 Maret 2011

Cupeng dan Badong, Penangkal Perselingkuhan

Penulis: Djulianto Susantio, arkeolog, di Jakarta

Pembaca tentu masih ingat ramainya pembicaraan mengenai RUU Antipornografi beberapa waktu lalu. Banyak pendapat mengatakan, produk hukum itu dibuat demi melindungi kaum wanita. Mungkin ada benarnya, di samping mungkin saja ada maksud lain.

Sebenarnya, upaya untuk menaikkan harkat dan martabat kaum wanita sudah terpikirkan sejak lama. Hal ini terlihat dari berbagai upaya yang dilakukan Raja Hayam Wuruk dari Kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Menurut sumber-sumber kuno, Hayam Wuruk adalah raja yang tindakannya sangat bijaksana.

Misalnya, dia pernah mengatakan, dalam menjalankan pengadilan, seseorang tidak boleh bertindak sembarangan. Untuk menciptakan negara yang aman dan tenteram, semua harus patuh mengikuti segala yang telah dinyatakan dalam kitab perundang-undangan, saat itu disebut Agama. Banyak materi berhasil disusun yang dimasukkan ke dalam kitab Agama itu. Di antaranya peraturan tentang pencurian, jual beli, perkawinan, dan perbuatan mesum. Sebagian besar peraturan-peraturan itu dibuat untuk melindungi kaum perempuan.


Diberlakukan sangat ketat

Hukum pidana yang termuat dalam undang-undang tersebut berlaku untuk semua orang, dari segala lapisan masyarakat di wilayah Majapahit. Saat itu dikenal dua jenis hukum pidana. Pertama, pidana pokok: berupa pidana mati, pidana potong anggota tubuh si tertuduh, hukuman denda, dan hukuman ganti rugi. Kedua, pidana yang sifatnya tambahan, misalnya berupa tebusan, penyitaan, dan uang pembeli obat.

Nah, di antara berbagai bab yang disusun, bagian yang paling banyak dibicarakan adalah tentang perbuatan mesum atau paradara (arti sebenarnya, “istri orang lain”). Kata paradara di kala itu merujuk pada perbuatan yang kurang senonoh terhadap istri orang lain atau terhadap wanita (bukan istri sendiri tentunya) yang telah kawin.

Pada hakikatnya, undang-undang Paradara dimaksudkan untuk membina ketenteraman kehidupan berkeluarga. Makanya apa pun yang dianggap berpotensi mengganggu ketenteraman kehidupan berkeluarga, menurut undang-undang itu, wajar dikenakan hukuman pidana. Pada zaman Majapahit, undang-undang ini diberlakukan dengan sangat keras.

Undang-undang Paradora terdiri atas 17 pasal, yakni dari pasal 198 hingga pasal 214. Perbuatan yang dikategorikan sebagai pidana adalah mengganggu, meniduri, memegang-megang (bahasa anak muda sekarang grepe-grepe), meminjam pakaian tanpa izin, berbicara di tempat sepi, mengadakan pertemuan diam-diam, mengajak lari, dan bertengkar, baik dengan istri orang lain ataupun wanita pada umumnya.

Bahkan, ancaman pidana akan dijatuhkan kepada siapa pun yang memberikan kesempatan kepada pemuda dan pemudi untuk berbuat kurang senonoh. “Baik yang melakukan maupun yang menyediakan tempat pertemuan diancam dengan denda sebesar 4.000 laksa oleh raja yang berkuasa, sebagai denda penghapus kesalahannya,” demikian menurut undang-undang itu.

Kitab Agama telah menjadi pegangan untuk mengatur kehidupan kemasyarakatan di masa Kerajaan Majapahit. Penerapannya yang sangat ketat dan luar biasa, membuat rakyat Majapahit merasa aman dan tenteram.


Gembok untuk celana

Di samping UU Antipornografi, polemik dan perdebatan soal celana bergembok yang harus dikenakan para wanita yang berprofesi sebagai pemijat, pun pernah ramai dibicarakan di masyarakat. Istilah wanita pemijat memang berkonotasi negatif, terutama dengan banyaknya berita tentang pijat plus atau pijat plus-plus di sejumlah kota-kota besar.

Meski sesungguhnya, penggembokan celana sudah lama terjadi pada wanita yang bersuami di berbegai daerah. Salah satu bentuknya adalah celana berbahan logam yang dilengkapi semacam kunci. Kunci tersebut kemudian dipegang oleh suami atau kerabat si suami. Kurang begitu jelas apa maksud penggembokan tersebut, namun diduga lantaran suami takut istrinya berbuat serong atau berselingkuh.

Di Eropa pun, penggembokan celana konon sudah dikenal pada awal abad Masehi. Buktinya ditemukan sejumlah peninggalan bangsa Romawi yang memperlihatkan gambar wanita sedang mengenakan celana pendek unik. Kemungkinan celana itu merupakan pelindung dari upaya-upata jahil kaum pria.

Cupeng (Koleksi Museum Nasional)

Bukti arkeologi dan etnografi menunjukkan, celana bergembok atau berkunci pada awalnya merupakan benda upacara yang dipakai oleh anak wanita kecil. Di Aceh, benda semacam itu dinamakan cupeng. Fungsinya sebagai penutup kelamin anak wanita. Bentuknya seperti hati dan pemasangannya diikat dengan benang pada perut si anak. Pernah ditemukan artefak cupeng berbahan emas 22 karat, berukuran tinggi 6,5 cm, dan lebar 5,8 cm. Kini cupeng tersebut menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta.

Melihat bahannya, kemungkinan besar cupeng itu digunakan oleh orang yang cukup terpandang. Cupeng itu pun penuh dengan ukiran. Pinggirannya berhiaskan motif tapak jalak, bagian tengah bermotif bunga teratai dikelilingi deretan bunga bertajuk empat helai dalam bentuk belah ketupat. Bagian tengah bunga tadi bermatakan jakut merah.

Menurut tradisi lama, cupeng harus dipakai oleh anak wanita yang berusia 2 tahun hingga 5 tahun. Atau digunakan ketika anak mulai berjalan sampai mulai bisa mengenakan sarung sendiri. Mereka percaya, cupeng merupakan paenangkal roh jahat. Pada saat dipakai pertama kali, benang yang dikalungkan terlebih dahulu diberikan mantera atau jampi-jampi oleh seorang dukun.


Ada juga di Malaysia

Selain di Indonesia, cupeng juga dikenal di Semenanjung Malaysia. Di sana disebut caping. Diduga, caping diperkenalkan ke Asia Tenggara oleh pedagang-pedagang India pada masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya, dari abad ke-7 hingga abad ke-12. Di Malaysia, cuping sangat populer di daerah Utara, Selatan, dan pantai timur Malaysia. Sedangkan di Indonesia, cupeng banyak dipakai oleh penduduk Melayu sekitar pantai timur Sumatra, Dayak, Bugis, Makassar, dan Aceh.

Badong

Hampir serupa dengan cupeng, adalah badong. Badong merupakan perhiasan untuk wanita bangsawan atau tokoh yang dihormati. Penggunaannya diletakkan di luar kain, tepat di depan alat kelamin wanita. Badong adalah simbol bagi wanita yang telah menikah dan dipakai pada saat suami mereka sedang berperang atau sedang berada di luar rumah. Badong juga digunakan oleh para pertapa dan pendeta wanita, untuk melawan godaan agar selamanya tidak melakukan hubungan intim dengan lawan jenis.

Badong berbahan emas pernah ditemukan di daerah Madiun, kemungkinan berasal dari masa Majapahit sekitar abad ke-14 atau ke-15. Artefaknya juga biasa dilihat di Museum Nasional, Jakarta. Yang unik, permukaan badong dihiasi relief cerita Sri Tanjung, seorang wanita suci yang dituduh selingkuh oleh suaminya, Sidapaksa, dan kemudian dibunuh. Namun Dewi Durga datang menolong Sri Tanjung dengan memberikan seekor gajamina (ikan gajah) untuk membantu membawanya ke surga, sebagai imbalan atas kesucian hatinya.

Cupeng dan badong adalah peninggalan masa lalu yang salah satu fungsinya untuk menangkal perselingkuhan. Apakah tradisi memakai benda-benda itu patut dilestarikan di masa kini? Wah, salah-salah nanti malah dibilang merendahkan kaum wanita.

(Intisari, Maret 2011, hal. 180-184)

Tambahan info:

Jempang

Mirip dengan cupeng dan badong adalah jempang. Artefak ini ditemukan di Gowa, Sulawesi Selatan. Jempang juga merupakan penutup kemaluan wanita, merupakan pakaian sehari-hari untuk gadis-gadis muda dari kalangan bangsawan. Ketiga artefak adalah peninggalan masa lalu yang salah satu fungsinya untuk penangkal perselingkuhan. Jadi selain sebagai benda budaya, juga menunjukkan bahwa kaum wanita sudah mendapat perhatian khusus sejak lama.


Tanggapan

  1. saya sudah beli bukunya, siip 🙂

  2. makin bangga dengan kekayaan budaya indonesia…..


Tinggalkan komentar

Kategori