Oleh: hurahura | 17 Maret 2017

Benteng-benteng di Indonesia: Dari Tepi Pantai Hingga Tengah Kota

Benteng_0002Benteng Marlborough di Bengkulu (Foto-foto: Forts in Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012)

Benteng atau Tembok kota bukan lagi suatu hal yang asing bagi masyarakat di Indonesia. Benteng sudah dikenal sejak masa klasik hingga pada zaman pendudukan Jepang. Benteng telah menjadi semacam kebutuhan pokok, utamanya bagi kota-kota besar yang memiliki arti penting dalam politik dan ekonomi guna menjaga kedamaian dalam kota. Hal ini karena keamanan dalam suatu kota, menentukan perkembangan politik dan ekonominya.

Sebuah penemuan struktur benteng yang memutar berkeliling seluas 135 hektar ditemukan di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Benteng ini terbuat dari batu bata dengan ukuran yang khas batu bata abad ke-13-an. Menurut Serat Pararaton, Nambi pulang ke Lamajang dan membangun benteng di lembah pada 1307 M. Jika disesuaikan dengan data arkeologis, maka hal ini sesuai adanya. Masyarakat pada abad ke-13 sudah mengenal sistem pertahanan perbentengan. Benteng yang berada di Lumajang ini, dibangun mengikuti pola aliran sungai-sungai besar. Hal ini menunjukkan jika pada abad ke-13, masyarakat di Lumajang telah memahami dengan baik bagaimana benteng sebaiknya dibangun, yaitu mengikuti pola alam. Selain itu, di setiap sudut tikungan sungai didirikan bastion atau pengungakan yang berfungsi sebagai menara pengintaian sekaligus sebagai lokasi penyerangan musuh yang berada di luar benteng. Di masa kemudian, Benteng Vredeburg di Yogyakarta, pada abad ke-18 juga menggunakan pola yang sama dengan benteng ini, yaitu memberikan rintangan berupa parit di sekeliling pintu masuk benteng.


Masa Klasik hingga Masa Kemerdekaan

Data mengenai perbentengan yang ada di Nusantara pada masa klasik kembali muncul sekitar dua abad setelah benteng di Lumajang. Sumber berita Cina yang berasal dari abad ke-15, yang termuat dalam kitab Ying Yai Sheng Lan menyebutkan bahwa Tuban merupakan salah satu dari empat kota besar di Jawa yang tidak memiliki tembok kota (Mills, 1970: 86). Keterangan dari masa berikutnya, yaitu Pararaton yang berasal dari abad ke-17 memberi keterangan bahwa Kota Tuban sudah dikelilingi oleh tembok kota. Perkembangan ini menjadi sebuah indikator perkembangan Kota Tuban yang telah mengalami perubahan posisi dan fungsi. Dengan adanya tembok kota, kemungkinan Kota Tuban telah berkembang menjadi pusat-pusat permukiman yang penting, atau setidaknya penting bagi kekuasaan politik dan ekonomi. Selain itu, pembangunan tembok kota ini juga mengindikasikan jika Kota Tuban merupakan daerah yang cukup rawan karena bisa dikatakan Kota Tuban merupakan pintu gerbang masuknya kekuatan-kekuatan luar yang hendak masuk menembus pusat kekuasaan pusat yang terletak lebih ke daerah pedalaman. Jelas pagar keliling kota dibangun guna melindungi kekuasaan dari serangan dari luar. Perubahan tatanan kota ini agaknya dipengaruhi oleh mulai masuknya pedagang-pedagang dari berbagai penjuru dunia termasuk bangsa Barat, sehingga memunculkan rasa waspada dalam diri penguasa Kota Tuban dan kerajaan induknya.

Saat masuknya penjelajah-penjelajah Eropa ke Nusantara pada abad ke-15—16, bisa kita jumpai keterangan-keterangan mengenai benteng atau tembok kota yang dibangun di kota pelabuhan yang besar. Menurut beberapa bagian dari Voyage tulisan Pyrard de Laval yang telah naik sebuah kapal perang Portugis kecil yang membawanya ke Kepulauan Maluku dan singgah beberapa waktu di Banten pada 1609, “Banten adalah kota besar yang cukup padat penduduknya. …kota itu dikelilingi tembok bata yang tidak lebih dari dua kaki tebalnya. Setiap seratus langkah, di dekat tembok, ada rumah-rumah yang tinggi benar, yang dibangun di atas tiang-tiang layar kapal dan dipakai untuk pertahanan kota, baik sebagai tempat pengintaian maupun untuk memukul musuh dari tempat yang lebih tinggi… ada lima lapangan, luas benar, yang setiap hari menampung pasar segala macam barang dagangan dan makanan dapat dibeli dengan murah, hingga hidup di sana terasa sangat enak… di luar tembok ada sejumlah rumah untuk orang asing”. Ketika mengangkat Sultan Haji sebagai Sultan Banten, VOC membangun sebuah benteng kecil yang ditempati sebuah garnisun dengan tujuan agar dapat mengawasi Sultan Haji dengan lebih baik. Di sini kita dapat mengamati fungsi benteng yang bukan hanya sebagai sebuah tembok kota, tetapi juga memiliki arti dalam tatanan sosial masyarakat serta memiliki arti politis bagi penguasa setempat.

Salah satu benteng yang juga memiliki keunikan adalah benteng Ujung Pandang atau pada masa kolonial diganti nama menjadi Fort Rotterdam. Dibangun pada 1545 atas perintah Raja Gowa ke-9, benteng ini awalnya berbahan dasar tanah liat. Namun, pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14, konstruksi benteng ini diganti menjadi batu padas yang bersumber dari Pegunungan Karst yang ada di daerah Maros. Pada awalnya, benteng yang juga disebut dengan Benteng Panyyua merupakan benteng yang dijadikan markas pasukan katak Kerajaan Gowa. Akan tetapi, setelah benteng ini diserahkan kepada Belanda, benteng berubah fungsi menjadi pusat penampungan rempah-rempah di Indonesia bagian timur.

Benteng_0001Benteng Surosowan di Banten

Di Maluku, benteng-benteng di bangun secara bergantian oleh Portugis, Spanyol, dan Belanda. Setelah Portugis berhasil diusir dari Maluku dan benteng-benteng Portugis berhasil dikuasai oleh penguasa kerajaan Tidore. Pada 1605 Belanda berhasil menguasai perairan Maluku dan merebut benteng Portugis di Amboina. Sedangkan orang Spanyol datang lagi merebut kekuasaan di Ternate yang kemudian hal ini memicu pertempuran dengan Belanda. Pada 1607 Belanda berhasil menduduki Ternate dan mendirikan benteng untuk menghadapi orang-orang Spanyol di Tidore.

Dalam sejarah kolonialisme di Pulau Jawa, Benteng Vredeburg adalah salah satu benteng yang memiliki arti penting sebagai saksi sejarah kolonialisme di Indonesia. Pada awal pembangunannya, atas permintaan Belanda Sultan Hamengkubuwono I telah membangun sebuah benteng yang sangat sederhana berbentuk bujur sangkar. Pada keempat sudutnya dibangun sebuah tempat penjagaan yang disebut seleka atau bastion. Pada awal pembangunannya, kondisi benteng masih sangat sederhana. Tembok terbuat dari tanah yang diperkuat dengan tiang-tiang penyangga dari kayu pohon kelapa dan aren. Bangunan di dalamnya terdiri atas bambu, kayu dengan atap ilalang. Selanjutnya, atas usulan W.H.Ossenberch benteng diperkuat menjadi bangunan yang lebih permanen. Pada 1867, pasca gempa besar di Yogyakarta, dibangunlah parit yang mengelilingi pintu gerbang benteng sebelah barat. Di dalam benteng terdapat rumah-rumah perwira Belanda, asrama prajurit, gudang logistik, rumah sakit, dan rumah residen. Pada masa pendudukan Jepang, Benteng Vredeburg menjadi tempat penyimpanan senjata sebelum dibagikan ke pos-pos, sekaligus sebagai markas tentara Jepang dan rumah tahanan bagi orang Belanda, Indo Belanda, dan politisi RI yang menentang pemerintahan Jepang di Indonesia.

Benteng pada dasarnya berfungsi sebagai tempat perlindungan ketika perang. Bahkan, ketika kita mengacu kepada pengertian benteng secara umum, yaitu sebuah bangunan untuk keperluan militer yang dibuat sebagai sistem pertahanan sewaktu dalam peperangan khususnya yang terjadi di masa lalu. Akan tetapi, seiring perkembangannya benteng telah mengalami pergeseran fungsi yang bukan hanya sebagai tempat perlindungan, tetapi lebih dari itu.


Fungsi benteng

Menurut Marihandono (2010), sesuai tujuan pembangunannya, benteng memiliki fungsi sebagai tempat pertahanan sekaligus sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang tinggal di dalamnya. Dikutip dari Wikipedia, bangunan benteng juga digunakan sebagai gamisun militer yang memiliki kemiripan dengan Castellum Romawi dan berfungsi sebagai menara pengawas untuk menjaga jalan-jalan tertentu yang akan digunakan oleh pihak musuh untuk menyerang. Sedangkan, dari uraian benteng-benteng di Indonesia yang sudah dipaparkan di atas, benteng juga berfungsi sebagai suatu bentuk legitimasi kekuasaan di suatu daerah. Artinya, untuk mengukuhkan kekuasaan atas suatu daerah, maka sekelompok orang atau golongan akan mendirikan benteng. Hal ini tentu tidak luput dengan beberapa benteng yang memang sengaja diletakkan di daerah/atau wilayah perbatasan, dan beberapa benteng yang didirikan setelah mengadakan perjanjian dengan penguasa wilayah. VOC mendirikan benteng-benteng di Batavia sebagai bukti bahwa mereka adalah penguasa perekonomian perdagangan rempah-rempah di pelabuhan tersebut. Begitu pula yang terjadi ketika VOC mendirikan sebuah benteng kecil dengan gamisun di dalamnya. Tujuan dari pendirian Benteng Spellwijk tersebut adalah guna mengawasi Sultan Haji yang diangkat oleh pihak Belanda sebagai raja/sultan di Kesultanan Banten. Dengan adanya benteng VOC di daerah Kesultanan Banten, menandakan dominasi kekuasaan VOC dalam lingkup Kesultanan sekaligus sebagai pengingat bagi Sultan Haji jika beliau dapat menaiki takhta sultan atas bantuan VOC. Oleh karena itu, keputusan Sultan haruslah menguntungkan VOC, utamanya dalam hal monopoli perdagangan.

Benteng sebagai wujud dominasi kekuasaan atas wilayah tertentu juga dapat dilihat dalam pertempuran antara pasukan Belanda dengan Raja Ternate, yang diperebutkan adalah benteng. Begitu pula ketika Belanda berusaha menguasai Kerajaan Tidore, Belanda terlebih dahulu melakukan penyerangan terhadap benteng-benteng yang dikuasai oleh Bangsa Spanyol. Hal ini dapat dipahami dalam sebuah ilustrasi peperangan, pihak yang diserang akan bertahan di benteng miliknya, dan ketika benteng tersebut berhasil dikuasai oleh pihak yang menyerang, maka pihak yang kalah secara otomatis akan terusir dari wilayah tersebut dan mundur ke benteng-bentengnya yang lain guna melindungi lokasi pertahanannya tersebut agar tidak diserang lagi. Secara perlahan-lahan, apabila Belanda terus-menerus menekan Spanyol di dalam benteng-benteng pertahanan mereka, Spanyol yang tidak bisa mempertahankan bentengnya, secara tidak langsung seperti menyerahkan kekuasaan mereka atas wilayah Tidore kepada Belanda, karena mereka secara otomatis akan pergi dari Tidore ketika seluruh benteng pertahanan milik Bangsa Spanyol jatuh ke pasukan Belanda.

Di sisi lain, benteng juga berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat seperti pusat perdagangan, maupun pusat keramaian. Seperti halnya yang tertulis dalam Voyage, Banten sebagai sebuah kota pelabuhan yang di dalamnya terdapat pasar segala macam barang. Artinya roda perekonomian berjalan dengan baik dan lancar. Hal ini kemudian menarik minat bangsa asing untuk mengunjungi pelabuhan Banten. Dalam hal ini, muncullah penanda status sosial antara masyarakat/atau penduduk lokal, dengan orang asing. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan rumah di luar tembok kota/benteng yang diperuntukkan bagi orang asing. Artinya, sekalipun kota di dalam benteng terbuka bagi perdagangan dengan segala bangsa, tetapi dalam kesehariannya benteng menjadi batas yang jelas terhadap status masing-masing penduduk. Benteng sebagai pusat perdagangan juga dapat dilihat dari perkembangan fungsi benteng Ujung Pandang, yang awalnya dijadikan sebagai markas pasukan Kerajaan Gowa, kemudian dijadikan sebagai pusat penampungan rempah-rempah di bagian timur.


Lokasi benteng

Lokasi benteng-benteng yang ada di Indonesia tergolong unik. Benteng bisa ditemui dari sepanjang pesisir Pantai Selatan, bekas ibu kota masa klasik, di sekeliling keraton-keraton, di atas bukit, hingga di pelabuhan-pelabuhan. Lokasi benteng tergantung dari fungsi dan tujuan pembangunan benteng itu sendiri. Setiap benteng memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda, tergantung dari keinginan dan kepentingan penguasa pada masanya.

Berasal dari masa yang sama, yaitu masa klasik, benteng yang dibangun di Kabupaten Lumajang memiliki fungsi dan tujuan yang berbeda dengan benteng yang dibangun di Kota Tuban selepas abad ke-15. Benteng di Kabupaten Lumajang terletak di sepanjang aliran sungai, dan berbentuk melingkar. Benteng ini dibangun pada era Kerajaan Tigang Juru sebagai basis perlindungan ibu kota kerajaan yang ada di dalamnya. Sedangkan benteng atau tembok kota di Kota Tuban terletak di daerah pantai utara, dan dibangun mengelilingi kota. Sebagai kota yang berada di dekat pantai dan memiliki sebuah pelabuhan besar, Tuban memerlukan sebuah benteng atau tembok kota guna menjaga keamanan kotanya sekaligus menjamin keselamatan penduduk di dalamnya dari serangan musuh.

Benteng yang dibangun di tengah kota, seperti halnya benteng di Lumajang, benteng Vredeburg, merupakan sebuah benteng yang tugasnya melindungi kebesaran dan keselamatan raja penguasa, selain berfungsi sebagai pertahanan dan perlindungan ketika perang. Salah satu ciri khas dari benteng-benteng yang terletak di tengah kota adalah di bagian luar benteng hampir selalu terdapat parit buatan atau sungai alami. Hal ini sebagai hambatan bagi musuh ketika terjadi peperangan.

Berbeda halnya dengan benteng-benteng di atas bukit, maupun di sepanjang pesisir selatan, benteng-benteng ini dibangun memang atas maksud perang. Agaknya, ombak besar pantai selatan menyediakan persembunyian dan perlindungan yang baik dari para pengawas sehingga banyak sekali peperangan terjadi di pesisir pantai selatan. Jika bentengnya terletak di kaki bukit, itu berarti benteng tersebut berfungsi sebagai tempat pengintaian atau pengawas jalan-jalan sehingga apabila ada musuh yang lewat, bisa segera diserang. Jika benteng tersebut terletak di atas bukit, maka fungsi benteng tersebut menjadi ganda. Selain sebagai pengawas jalanan dan menyerang musuh yang melintas, benteng ini mengawasi musuh dari jarak jauh, sehingga pergerakan musuh bisa segera terdeteksi.


Bahan-bahan benteng

Bahan-bahan benteng mengalami perkembangan dalam setiap zamannya. Di era klasik, benteng banyak terbuat dari batu bata tanpa lepa, tanah liat, kayu jati, kayu kelapa, maupun batu cadas. Di era kolonial, bahan benteng ini menjadi lebih permanen dengan menggabungkan antara batu, pasir, dan gamping (batu kapur). Memasuki era pendudukan Jepang, bahannya semakin berkembang yaitu mulai menggunakan cor (bahan semen). Setiap bahan, memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Benteng yang terbuat dari bata, memiliki keunggulan dari sisi ketersediaan bahan baku, harga, dan cara pengolahannya. Di era klasik, batu bata menjadi bahan bangunan yang mendominasi pada abad ke-13 hingga memasuki era Islam. Hal ini dikarenakan membuat bangunan dengan menggunakan batu bata lebih mudah, dan bahan bakunya lebih mudah didapat daripada harus mencari batu andesit dan mengolahnya. Cukup dengan menggesek-gesekan antara dua permukaan batu bata lalu disirami dengan air, maka permukaan batu bata akan lengket. Akan tetapi, batu bata memiliki ketebalan yang kurang bisa dimaksimalkan. Seperti halnya benteng di pelabuhan Banten yang memiliki ketebalan kurang dari dua kaki.

Bahan pembangunan benteng yang lain, yang memanfaatkan alam sekitar adalah tanah liat, kayu, maupun batu cadas. Dari segi biaya, tentunya hal ini cukup ringan, kecuali penggunaan kayu yang kemungkinan cukup mahal karena kayu masih termasuk ke dalam komoditi ekspor. Tanah liat, jika dikeringkan akan bertekstur keras, akan tetapi mudah hancur. Batu cadas, sekalipun sangat keras, tetapi pengolahannya sangat sulit, karena tingkat kekerasannya tersebut. Sedangkan kayu, selain harganya yang lebih mahal dari tanah liat dan batu cadas, kayu juga mudah rapuh. Akan tetapi dibandingkan keduanya, kayu adalah bahan yang sangat mudah diolah. Hal ini karena masyarakat Nusantara utamanya Jawa, sangat terbiasa menggunakan kayu sebagai bahan baku membuat bangunan.

Bahan benteng yang terakhir yang paling memakan biaya besar adalah beton. Penggunaan beton sebagai bahan benteng seolah menjadi trend dan ciri khas benteng-benteng pertahanan dan perlindungan pada utamanya masa Perang Dunia II. Beton dari segi biaya memang mahal, tapi dibanding dengan bahan yang lain, beton adalah bahan yang sangat kuat. Beton hanya bisa dihancurkan dengan menggunakan bahan peledak. Selain itu, bahan beton sangat awet sehingga bisa digunakan untuk jangka waktu yang lama dengan perawatan yang cukup mudah.***

Penulis: Wulan Agustri Ayu
Mahasiswa S-1 Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya


Tinggalkan komentar

Kategori