Oleh: hurahura | 11 Agustus 2010

Situs Kota China: Peradaban yang Terancam Hilang

Oleh Mohammad Hilmi Faiq

KOMPAS, Senin, 9 Agt 2010 – Di tengah kebun singkong yang mulai tumbuh, berkilauan benda-benda kecil saat sinar matahari menerpa Desa Paya Pasir, Kecamatan Medan Marelan, Medan, Sumatera Utara, Selasa (6/7). Hampir tiap jengkal tanah di sekitar batang singkong memberi kilauan sama. Di beberapa pokok pohon yang sudah ditebang, tumpukan benda kecil tampak lebih mengundang perhatian karena lebih menyilaukan dan ukurannya lebih besar.

Bukan kaca. Benda-benda itu adalah pecahan keramik China abad ke-12. benda-benda itu berserakan seperti kerikil atau batu yang tak berharga. “Tiap mata cangkul menghunjam tanah selalu membentur keramik-keramik itu,” kata Anshari (50), petani.

Para antropolog meyakini, Desa Paya Pasir ini dulunya merupakan pusat niaga berbagai pedagang dari mancanegara, seperti Thailand, Johor, Jawa, dan China. Beberapa artefak yang terdapat di Desa Paya Pasir menunjukkan bahwa pusat perniagaan itu jaya pada abad ke-12 sampai awal abad ke-14 bersamaan dengan era kekuasaan Dinasti Sung, Yuang, dan Ming di China.

Artefak tersebut antara lain koin mata uang China abad ke-6, koin dari Sri Lanka abad ke-12, keramik China abad ke-11, keramik Thailand, dan keramik yang diduga berasal dari Timur Tengah.

Banyaknya artefak yang merujuk pada peradaban China itu menjadi salah satu dasar untuk menyebut kawasan seluas 25 hektar di pesisir timur pantai Sumatera Utara tersebut sebagai situs kota China.

Temuan serupa juga ada di Kampung Terjun dan hamparan Perak sekitar 25 kilometer dari Paya Pasir. Daerah itu hanya bisa dijangkau dengan perahu motor dengan jarak tempuh sekitar 30 menit dari Paya Pasir. Apabila dihitung secara keseluruhan, luas situs itu mencapai 100 hektar, termasuk pusat situs yang mencapai 25 hektar tadi.

Melihat beragamnya artefak itu, peneliti dari Perancis, Daniel Perret, dalam bukunya Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut menyimpulkan, kota China pernah menjadi tempat perdagangan utama dari serangkaian pelabuhan di pesisir timur laut Sumatera pada abad ke-11 sampai abad ke-14. Daerah ini menjadi bagian jaringan perdagangan maritim yang membentang dari Teluk Persia sampai China Selatan. Thailand, Jawa, Sri Lanka, India Selatan, dan Semenanjung Melayu merupakan beberapa kawasan yang termasuk di dalamnya.

Selain pusat perniagaan, situs kota China juga menjadi pusat peradaban. Di beberapa titik terdapat artefak seperti manik-manik, kaca, dan benda-benda lain yang diduga kuat terkait erat dengan prosesi peribadatan. Adanya tumpukan batu bata merah yang diduga bekas bangunan candi serta penemuan beberapa arca memperkuat hal itu.

Stanov Purnawibowo dari Balai Arkeologi Medan berteori, para pedagang terutama dari China sangat bergantung pada cuaca dan angin di laut karena menggunakan kapal untuk menyeberang ke Sumatera. Pada saat cuaca kurang bersahabat mereka terpaksa tinggal beberapa pekan, bahkan beberapa bulan, di situs kota China itu sampai cuaca membaik. Pada masa penantian itulah mereka memenuhi kekosongan aktivitas spiritual dengan mendirikan tempat peribadatan. “Selain berdagang, mereka juga memenuhi hasrat lain, yakni sembahyang,” ujarnya.

Saat ini, di situs kota China itu terdapat wihara berukuran 40 meter persegi. Wihara yang diperkirakan baru didirikan tahun 1970-an masih difungsikan oleh sebagian warga China di Paya Pasir. Sekitar 30 meter dari wihara tersebut berdiri pohon besar yang di bawahnya terdapat sisa-sisa pembakaran hio. Setiap sore beberapa warga China sembahyang di tempat itu.

Situs kota China pertama kali ditemukan oleh John Anderson abad ke-19. Anderson merupakan utusan Kerajaan Inggrisyang bertugas mencari tahu potensi perekonomian Sumatera. Saat di Paya Pasir, dia menemukan batu bertulis di kota China, tetapi masyarakat yang tinggal di sana tidak bisa baca-tulis. Dari situ dia meyakini bahwa pernah ada peradaban yang lebih maju di kota China.

Temuan Anderson itu lantas dicatat oleh Belanda setelah mereka menemukan berbagai artefak, sepeti koin uang China, keramik, dan tembikar.

“Kemajuan dan kemajemukan peradaban yang ada di situs kota ini juga menjadi salah satu alasan dan dugaan bahwa kota China pernah menjadi pusat Kerajaan Aru. Juga banyak pihak menduga, asal mula Kota Medan berasal dari kota China ini,” kata peneliti dari Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (Pussis Unimed), Erond L Damanik.


Memprihatinkan

Meskipun sejarahnya bernilai tinggi, situs kota China saat ini amat memprihatinkan. Pemerintah tidak memberikan perhatian serius. Para pemburu barang antik sempat melakukan penggalian liar dan menjual barang-barang antiknya ke luar daerah. Beberapa warga Desa Paya Pasir juga melakukan hal serupa. Sampai dengan dua tahun lalu masih banyak warga yang menawarkan keramik atau tembikar antik kepada siapa saja yang berkunjung ke Paya Pasir dengan harga murah, sampai Rp 70.000 per buah.

Sejarawan, sekaligus Ketua Pussis Unimed, Ichwan Azhari, berkali-kali menyatakan kepada pemerintah bahwa situs kota China tidak boleh dirusak karena masih banyak peninggalan sejarah yang belum tergali. Dia mengusulkan agar pemerintah membeli lahan tersebut sebelum berpindah tangan ke pihak lain yang tidak prokonservasi.

Lahan seluas 25 hektar itu milik warga, sebagian dibeli pengembang dan sudah berdiri perumahan. Tidak menutup kemungkinan lahan-lahan yang tersisa juga jatuh ke tangan pengembang. Para pemilik lahan adalah warga miskin yang mengandalkan nafkah dari mencari kerang, ikan, kepiting, atau daun nipah. Harga tanah di sana pun terus naik seiring makin ramainya pengunjung Paya Pasir. Kini harga tanah di sana Rp 75.000-Rp 150.000 per meter.

Selain adanya perumahan, di Paya Pasir telah dibangun tempat wisata Siombak yang mengandalkan keindahan panorama di sekitar Danau Siombak. Apabila tempat wisata ini makin ramai dikunjungi warga, harga tanah akan naik dan menggoda warga untuk menjualnya kepada pemodal. “Itu yang menjadi kekhawatiran kami,” kata Erond.

Di sebagian dasar Danau Siombak itu terdapat pula pecahan keramik dan tembikar abad XII sampai abad XIV. Dapat diduga, Danau Siombak juga menjadi bagian penting dari situs kota China.

Anehnya lagi, sebagian tanah di Paya Pasir itu dijadikan uruk pembangunan jalan tol. “Seribu tahun lagi para antropolog dan peneliti mungkin bingung menjelaskan mengapa ada pecahan keramik dari abad ke-12 bercampur aspal abad ke-21,” seloroh Daniel Perret ketika kami melintas di atas jalan tol itu.

Sebagai orang Indonesia, kita patut tersindir oleh Parret. Betapa kita tak bisa menjaga dan mewarisi kearifan sejarah.

Untuk mempertahankan sisa-sisa peninggalan itu, Pussis Unimed menyewa sebidang lahan guna membangun museum darurat dan mengekskavasi sebagian lahan. Dalam museum berdinding bilik bambu dan beratap daun nipah itu, pengurus Pussis Unimed menyimpan temuan-temuan dari situs kota China. Lahan itu juga menjadi pusat penelitian arkeologi terbuka. Beberapa peneliti, seperti Daniel Perret dan Edward McKinnon, arkeolog dari Inggris, pernah meneliti di sana.

Namun, Ichwan menyadari, upayanya beserta rekan-rekannya itu suatu saat patah jika lahan di Paya Pasir diborong pemodal, sementara Pussis tidak mungkin membeli lahan tersebut. Maka, harapan satu-satunya ada di tangan pemerintah agar situs kota China sebagai penanda peradaban di tanah Sumatera Utara tak hilang.


Tinggalkan komentar

Kategori