Oleh: hurahura | 11 Juni 2014

Upaya Pengembalian Prasasti Sangguran

Pras-sangguranPrasasti Sangguran (Batu Minto) diambil dari google

Tulisan tentang “Ribuan Benda Sejarah Indonesia di Luar Negeri” (Kompas, 10/7/2013) dan “Benda Bersejarah Belum Dioptimalkan” (Kompas, 11/7/2013) menunjukkan masalah lama ini masih terus mengendap tanpa ada upaya penyelesaian. Sebenarnya sejak beberapa tahun lalu pemerintah sudah melakukan upaya agar benda-benda peninggalan sejarah dan purbakala yang masih berada di luar negeri dapat dibawa pulang ke Tanah Air. Salah satunya adalah upaya pengembalian Prasasti Sangguran yang masih tersimpan pada keturunan Lord Minto di Skotlandia. Prasasti itu bila sudah dikembalikan, rencananya akan ditempatkan di Museum Nasional Jakarta.

Meskipun tahun penemuannya dan siapa penemunya tidak tercatat, namun tempat penemuannya diketahui berada di daerah Ngandat, Malang. Alih aksara Prasasti Sangguran pernah dilakukan oleh ahli epigrafi Belanda JLA Brandes dan NJ Krom sebagaimana dimuat dalam Old Javaansche Oorkonden (Prasasti-prasasti Berbahasa Jawa Kuno) pada abad ke-19.

Prasasti Sangguran bisa berada di Skotlandia karena dibawa oleh Raffles sewaktu menjadi Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda (1811-1816). Kemudian prasasti tersebut ditempatkan di kediaman Lord Minto, seorang kolega Raffles, sehingga dikenal dengan nama “Batu Minto”. Minto pernah menjabat Gubernur Jenderal Inggris di India dan pada 1811 menjadi Gubernur Jenderal di Hindia Belanda.

Yang luar biasa adalah Prasasti Sangguran terpahat pada batu tunggal, dengan ketinggian dua meter dan berat mencapai 300 ton. Mengapa prasasti itu dipilih oleh Raffles untuk dijadikan cenderamata kepada Minto, masih menjadi tanda tanya besar. Begitu pula cara mengangkat dan membawanya ke sana.


Raja Wawa

Prasasti Sangguran ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa kuno. Isi pokoknya adalah tentang peresmian Desa Sangguran menjadi sima (tanah yang dicagarkan) oleh Sri Maharaja Rakai Pangkaja dyah Wawa Sri Wijayaloka Namestungga pada 14 Suklapaksa bulan Srawana tahun 850 Saka (= 2 Agustus 928 Masehi).

Prasasti tersebut menyebutkan pula nama Rakryan Mapatih I hino pu Sindok Sri Isanawikrama dan istilah sima kajurugusalyan di Mananjung. Yang menarik, sima tersebut ditujukan khusus bagi para juru gusali, yaitu para pande atau pandai (besi, perunggu, tembaga, dan emas). Isi prasasti seperti itu boleh dikatakan amat langka, jarang terdapat pada prasasti-prasasti lain yang pernah ditemukan di Indonesia.

Ahli epigrafi Boechari menafsirkan bahwa mungkin pada masa pemerintahan Raja Wawa ada sekelompok pandai atau seorang pemuka pandai, yang berjasa kepada raja. Pendapatnya didasarkan atas analogi dari kitab kuno Pararaton yang menyebutkan Mpu Gandring, tokoh yang dianggap pembuat keris legendaris, bersama keturunannya mendapat hak istimewa dari Sri Rajasa (Ken Arok) berupa anugerah sima kajurugusalyan (Sejarah Nasional Indonesia II, 1984).

Prasasti Sangguran juga dianggap unik karena menyebutkan istilah rakryan kanuruhan. Menurut JG de Casparis, kanuruhan berasal dari nama Kerajaan Kanjuruhan yang disebut dalam Prasasti Dinoyo (760 Masehi). Kerajaan itu pernah berpusat di sekitar Malang sekarang.

Rupa-rupanya Kerajaan Kanjuruhan itu pada suatu ketika ditaklukkan oleh Raja Mataram. Namun keturunan raja-rajanya tetap berkuasa sebagai penguasa daerah dengan gelar rakryan kanuruhan. Oleh karena gelar kanuruhan ditemukan di antara tulisan-tulisan singkat pada salah satu gugusan Candi Loro Jonggrang (Prambanan), diperkirakan sebagai penguasa daerah, dia menyumbangkan candi perwara pada candi kerajaan itu.


Dana

Jelas kita perlu mendapatkan prasasti tersebut. Namun kita perlu juga belajar dari kekurangan kita sebelum ini. Dulu kita pernah mempunyai “mimpi besar” terhadap arca Prajnaparamita, naskah Nagarakretagama, dan Gong Prabu Geusan Ulun. Nyatanya setelah sampai di sini, artefak-artefak kuno tersebut kurang perawatan.

Ditakutkan, Prasasti Sangguran akan bernasib sama seperti para pendahulunya. Setelah dikembalikan bukannya semakin dilestarikan, malah semakin rusak karena minimnya dana pemeliharaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Patut dipertanyakan apakah pemerintah sudah menyiapkan dana untuk menampung kembali benda-benda sejarah dan purbakala kita yang masih banyak berada di mancanegara? Sekadar gambaran, Prasasti Watukura (bertarikh 902 hingga 1348) sejak lama bermukim di Denmark dan menjadi koleksi keturunan keluarga L. Norgaard. Prasasti Wukayana (tarikhnya tidak ada) saat ini tersimpan di Museum Tropen, Prasasti Sangsang di Koninklijk Instituut voor de Tropen, Prasasti Guntur di Museum Maritim, dan Prasasti Tulangan di Museum voor Volkenkunde, semuanya di Belanda.

Di Prancis ada Prasasti Dhimalasrama, sementara di India ada Prasasti Pucangan (Batu Kalkutta). Kemudian di Thailand ada arca-arca batu yang berasal dari Candi Borobudur dan candi-candi lain di Pulau Jawa. Benda-benda tersebut teridentifikasi sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda kepada Raja Siam ketika berkunjung ke Jawa pada abad ke-19.

Artefak-artefak batu kuno juga pernah diboyongi ke Jepang, sebagai barang jarahan para serdadu untuk dihadiahkan kepada kaisar mereka, Tenno Heika, ketika berulang tahun. Itu baru sebagian kecil dari sekian banyak benda sejarah dan purbakala Indonesia yang “terbang” ke mancanegara karena berbagai sebab, seperti penyelundupan, cenderamata dari pemerintah yang berkuasa, dan untuk diteliti, yang terjadi sejak zaman penjajahan serta “oleh-oleh” wisatawan ketika berkunjung ke sini pasca kemerdekaan.

Pengembalian artefak-artefak kuno milik nenek moyang kita, jelas sangat penting. Terutama untuk menghidupkan kembali pendidikan, penelitian, dan kepariwisataan yang semakin terpuruk. (Djulianto Susantio)


Tanggapan

  1. Tdk hnya skedar ‘cinderamata’,tntunya itu sudah ‘diplajari’ oleh ahli2 pnjajah. Dana utk pmliharaan dsb sudah pasti ada n cukup namun pmrintah dgn brmcm2 dalih pmbnaran diri lbh mnyalurknnya ke ‘program2 bidang lainya’ yg lbh ‘brnilai bnyak keuntungan instan’. Lagipula pngmbalian bnda2 pninggalan2 itu kwajiban pnjajah2 n ‘sekutunya’, slh 1 pnjajah kan tlah mngakui kdaulatan indonesia, konsekuensinya mngmbalikn itu. Pun juga kwajiban pmrintah utk menerima kmbali. Bbrapa yg sudah di kmbalikn itupun diragukn ‘keutuhanya’ krn sudah ‘dijamah’ pnjajah2. Utk mndapatkn kmbali dgn ‘utuh’ total smua mcm2 bntuk pninggalan itu sprtinya tdk mungkin ‘kecuali’ dgn jalan..? Perang. Blanda ‘tdk tulus mngakui kdaulatan total indonesia’. Istana2 pninggalan mrk pun ttap ada n dipake,dibanggakn di indonesia. Tiap mrk dtng ke istana2 pninggalan mrk tntuny mrk serasa ‘di rumah sndiri’. Ksalahan2 siapa2kh itu smua trjadi sdmikian rupa mnyedihkn,mmprihtinkn, ‘mnyesakkn dada,dsb?. Tdkkah tau sifat n karakter khas pnjajah2?. Tdk ada di kmus mrk tulus duduk ‘sejajar’ dgn bangsa yg dijajah. Mrk hnya punya ‘kmus’ slalu cari gara2 n perang’. Undang2 Dasar Negara Kesatuan Indonesia:…pnjajahan..?brtntangan dgn keadilan kemanusiaan. Makna pnjajahn adalah aneka mcm bntuknya. Bangsa ini blum ‘spenuhnya’ ‘mrdeka’, hrus diraih spenuhnya apapun resikonya krn bangsa ini bangsa besar n cinta damai bagi pnjajah2 yg bnr2 bnr2 bnr2 mau brdamai tulus hti mmnuhi kwajibanya,slh 1 dr bnyak kwajibanya yaitu mngmbalikn total smua bntuk bnda2 pninggalan,mmbiayai pngirimanya,mmbayar ganti rugi oleh trutama ahli waris pnjahat2 perang mrk, n meminta maaf trhdap smua rakyat indonesia.

  2. Marilah lstarikn,jaga,plajari,dsb pninggalan2 pradaban budaya bangsa indonesia, slh 1 contoh jgn sampai ada org indonesia yg ‘mampu’ namun sngaja tdk tahu buta ibarat kata 1 aksara budaya bangsa n ‘sngaja’ mmbsar2kn mmasyarakatkn budaya2 asing pnjajah.


Tinggalkan komentar

Kategori