Oleh: hurahura | 8 Juli 2011

Pemberdayaan Masyarakat di Lingkungan Situs Arkeologi

Oleh: Bambang Sulistyanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional


Abstrak

Upaya pengelolaan warisan budaya di situs arkeologi pada masa sekarang, harus memperhatikan makna sosial (social significance) bagi masyarakat sekitarnya. Konsekuensi pemahaman tersebut, menuntut adanya suatu perubahan kebijakan (advokasi), mengalihposisikan penduduk di sekitar situs yang semula sebagai objek menjadi subjek. Perubahan kebijakan tersebut, mengubah peran penduduk di sekitar situs bukan sebagai pihak yang dikontrol dan dikuasai, melainkan sebagai mitra yang sejajar dengan pihak pengelola warisan budaya. Artinya, masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengelolaan warisan budaya, agar aset yang dimiliki memberikan kontribusi balik baik material maupun non material yang berguna untuk kehidupannya.

Upaya mewujudkan konsep pengelolaan yang menempatkan warisan budaya pada konteks sosial, menuntut dikembangkannya pendekatan partisipatif yang lebih berorientasi pada masyarakat ommunity-oriented. Implementasi pendekatan tersebut, diwujudkan melalui pemberdayaan. Makna pemberdayaan adalah, pertanggungjawaban sosial arkeologi terhadap masyarakat, yang terkena dampak baik langsung maupun tidak langsung akibat pengembangan situs.

Kata kunci: Pemberdayaan, masyarakat, pengelolaan, pertanggungjawaban arkeologi, makna sosial.

Abstract. In the effort to manage cultural heritages nowdays, it is important to take into account the social significance of a site to its surrounding communities. As a consequence, we are required to make an advocacy (change of policy) to revise the position of the local inhabitants around a site from being an object to a subject. Such change of policy is significant to change the position of the local inhabitants within the site area from the controlled party into equal partner. Communities should be involved in the process of cultural heritage management so that the valuable asset will give back good contribution – both materially and non-materially – which will be of benified to the well-being of cultural heritage and its surrounding communities.

The effort to implement the management concept that places cultural heritage in social context, calls for the importance of developing participative approach, which is more community oriented. The implementation of this type of approach is through community empowerment. Empowerment means the social responsibility of archaeology to the communities that have to put up, directly, with the effects of development of site.

Key words: empowermen, community, management, archaeological responsibility,social meaning.


I. Pendahuluan

Perubahan sistem politik dari era orde baru ke era reformasi, mengakibatkan masyarakat mulai kritis berani menyatakan pendapat, pikiran, dan bahkan mengritik kinerja pemerintah. Demikian pula yang terjadi dalam dunia arkeologi, masyarakat memperhatikan kinerja arkeologi dalam pengelolaan warisan budaya. Oleh karena itu, masyarakat tidak lagi bersikap apatis dan menunggu inisiatif pemerintah seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebaliknya pada era reformasi ini, mereka lebih bersikap proaktif dan bahkan mulai berani menuntut hak-haknya untuk dapat ikut berpartisipasi dalam pengelolaan warisan budaya. Keadaan ini muncul, antara lain didorong semakin tingginya kesadaran masyarakat, bahwa sumber daya arkeologi pada hakekatnya adalah warisan milik bersama yang seharusnya dapat bermanfaat untuk kepentingan bersama [1].

Namun demikian, aspirasi tersebut tidak segera ditanggapi oleh para pengemban kebudayaan, khususnya lembaga pemerintah pengelola kepurbakalaan. Seharusnya aspirasi masyarakat yang demikian besar itu mendapat respon dari pemerintah dengan penyusunan Peraturan Daerah secara bersama tentang warisan budaya misalnya, atau merumuskan perubahan sistem pengelolaan warisan budaya menjadi milik bersama. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap fenomena tersebut dikawatirkan organisasi sosial yang cukup banyak jumlahnya akan berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan kemauannya yang berbeda dengan persepsi pemerintah.

Dalam konteks perubahan tersebut, posisi Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional dan Balai-balai arkeologi di daerah, tidak lepas dari kritikan [2] dan sorotan. Masyarakat melihat dan mempunyai kesan, bahwa bahwa penelitian arkeologi yang bersifat keilmuan semata, kurang memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat. Hasil penelitian arkeologi selama ini kurang dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Arkeologi dianggap terlalu mementingkan kebutuhan di bidang kearkeologian daripada kepentingan masyarakat. Bahkan, keberadaan Puslitbang Arkenas pun pernah diragukan peranannya, terbukti pada 1994 pernah berubah nomenklaturnya menjadi Asdep Urusan Arkeologi Nasional dengan tupoksi yang hanya menyusun kebijakan saja.

Walaupun kesan itu tidak benar, namun tidak dapat disangkal, bahwa kondisi tersebut dapat menimbulkan citra kurang baik bagi upaya-upaya pengembangan arkeologi Indonesia. Tentu saja, keadaan seperti itu tidak dapat dibiarkan terus, karena sebenarnya arkeologi sangat akrab dan diperlukan masyarakat, ketika mereka berupaya mencari jatidirinya. Kemampuan mengungkapkan perilaku kehidupan nenek moyang di masa lampau, sejarah budaya, dan proses-proses budaya yang dialami leluhur di masa lalu (Fagan, 1984) merupakan petunjuk arkeologi diperlukan masyarakat. Bahkan ilmu ini menjadi bagian dari kehidupan sosial budaya mereka ketika masyarakat mengunjungi objek wisata budaya candi, gua atau benda-benda tinggalan lain di museum-museum. Masalahnya, bagaimana bentuk kepedulian arkeolog tersebut secara langsung dapat dirasakan, dan diakui manfaatnya untuk masyarakat, sehingga mereka merasakan dampak dari ilmu ini.

Berdasarkan berbagai pandangan tersebut, maka tulisan ini akan memfokuskan pembahasan interaksi arkeologi pada aspek pemberdayaan masyarakat di sekitar situs. Konsep dasar yang digunakan, adalah upaya pengelolaan warisan budaya harus memperhatikan kebermaknaan sosial (social significance) situs untuk masyarakat sekitarnya. Bagamanapun berkembangnya ilmu arkeologi, namun kurang ada gunanya jika pengelolaannya tidak memiliki manfaat untuk masyarakat. Pandangan ini memunculkan sikap yang berbeda, dibandingkan dengan sikap yang dimiliki oleh para pengelola terdahulu. Artinya, paradigma pengelolaan warisan budaya pada masa kini harus berubah tidak hanya pada upaya penelitian dan pelestarian fisik (sumber daya arkeologi) tetapi juga harus memperhatikan kebermaknaan sosial untuk masyarakat di sekitarnya (Byrne, et al, t.t.: 25).

Secara lebih spesifik, kajian ini akan menekankan pada pentingya mempedulikan masyarakat di sekitar situs, untuk dapat terlibat secara penuh dalam pengelolaan warisan budaya, dengan cara memberdayakan kemampuan mereka. Pemberdayaan masyarakat di sekitar situs, mempunyai keuntungan bagi kedua belah pihak, antara pihak pengelola warisan budaya dengan pihak masyarakat di sekitar situs. Pihak pengelola, yakni pemerintah (pusat) ataupun pemerintah daerah (otonom) dalam upaya pelestarian memperoleh dukungan dari masyarakat, karena masyarakat membutuhkan peran serta dalam pengelolaan warisan tersebut. Sebaliknya, masyarakat juga akan memperoleh keuntungan, baik moril maupun materiil, karena warisan budaya dapat memberikan kontribusi yang dapat meningkatkan taraf perekonomian dalam kehidupannya (Prasodjo, 2004:3). Konsep ini bukan sebuah retorika, karena ada kerangka teoretisnya, bahkan pernah dipraktekkan di beberapa situs di Indonesia.


II. Konsep [3] Pemberdayaan

Konsep yang dimaksudkan di sini, adalah suatu abstraksi yang dipergunakan oleh peneliti sebagai building block (batasan) guna membangun preposisi dan teori yang diharapkan dapat menerangkan dan memprediksi suatu fenomena. Suatu konsep merupakan suatu kesatuan pengertian (saling berkaitan dengan bentuk jalinan). Dengan demikian konsep bukan sekedar sederetan gejala yang dirangkai menjadi suatu pernyataan. Diakui setiap peneliti dapat menciptakan konsep sesuai dengan paradigma yang menjadi referensinya, namun konsep pemberdayaan yang ditawarkan di sini tetap berakar dalam kehidupan masyarakat yang nyata.

Konsep dasar pemberdayaan atau empowerment, berawal dari permasalahan power (kemampuan, kekuatan) yang menurut penganut gagasan ini perlu diberikan kepada setiap orang atau kelompok, karena mereka sebagai bagian dari masyarakat berhak atas power [4] tersebut. Karena keterbatasan atau suatu kondisi yang tidak memungkinkan, sebagian masyarakat tidak sedikit yang sukar untuk memperoleh power. Oleh karena itu, harus ada upaya dari pihak lain yang “kuat” untuk memberikan power tersebut kepada masyarakat yang powerless atau lemah. Upaya untuk memampukan masyarakat yang berada dalam kondisi yang tidak berdaya, disebut pemberdayaan atau empowerment.

Pada masa sekarang ini, pemberdayaan telah menembus berbagai disiplin, sehingga banyak definisi pemberdayaan diberikan oleh para ahli sesuai dengan bidang ilmu yang dikajinya [5]. Konsep pemberdayaan sebagaimana didefinisikan oleh Pranarka dan Moeljarto misalnya, lebih mengacu pada konsep dasar terlalu umum, yaitu “upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural, baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional, maupun dalam bidang politik, ekonomi, (Pranarka dan Moeljarto 1996:56 ).

Konsep pemberdayaan dalam tulisan ini, diartikan sebagai upaya untuk memampukan masyarakat di sekitar situs dalam konteks kepentingan pengelolaan warisan budaya, dengan cara mendorong, memotivasi sekaligus membangkitkan kesadaran masyarakat akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya mengembangkannya untuk memperoleh kemandirian dalam meningkatkan taraf hidupnya. Masyarakat di sekitar situs arkeologi yang dimaksud adalah masyarakat yang bermukim di sekitar situs dalam wilayah administratif desa atau pun kecamatan tergantung dari luas wilayah situs dan mereka yang memiliki interaksi dengan situs tersebut. Mereka inilah yang diberdayakan tidak terbatas dari aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya, bahkan politis sesuai dengan keperluan.

Definisi pemberdayaan tersebut menyiratkan empat kata kunci yang memiliki makna strategis, yaitu pertama “upaya”, kata ini tidak hanya mengacu pada kontinuitas, melainkan juga merujuk pada proses yang sistematis dan seimbang. Dalam proses tersebut terdapat keseimbangan antara out put dengan kemampuan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Kedua adanya “peningkatan kemampuan”, artinya apa yang telah diupayakan harus ada input positifnya untuk masyarakat yang menjadi subyek pemberdayaan. Ketiga adanya “kemandirian”, merupakan akumulasi dari kemampuan yang diperoleh dari kegiatan pemberdayaan, sehingga mayarakat tidak tergantung dari pihak lain. Keempat, peningkatan taraf hidup yang lebih baik, merupakan tujuan akhir dari pemberdayaan.

Konsekuensi pemahaman tersebut, dalam pemberdayaan menuntut adanya advokasi (perubahan kebijakan), yakni mengalihposisikan penduduk di sekitar situs yang semula sebagai objek menjadi subjek. Alih posisi itu menjadi tantangan bagi penciptaan berbagai kebijakan baru yang menempatkan penduduk di sekitar situs bukan sebagai pihak yang dikontrol dan dikuasai, melainkan sebagai mitra yang sejajar. Dari pengertian tersebut, sudah terlihat bahwa sasaran masyarakat yang diberdayakan adalah masyarakat yang berada di sekitar wilayah situs. Mengapa masyarakat di sekitar situs perlu diutamakan?

Schiffer dan Gummerman (1977:244-245) misalnya beranggapan, bahwa antara masyarakat dengan warisan budaya seringkali memiliki keterikatan batin yang kuat, sehingga warisan budaya tersebut merupakan lambang eksistensi, dan peneguhan rasa kebangsaan, bahkan simbol jati diri mereka. Jati diri adalah hakekat atau esensi. Apa yang sebenarnya ada di dalam diri baik yang positif maupun negatif dan hal itu tercermin di dalam warisan budaya. Namun informasi budaya sebagai lambang jati diri yang tersembunyi di balik warisan budaya tersebut, tidak dapat diketahui tanpa ada upaya menggali dan menemukan pengetahuan itu. Di sini letak arti penting arkeologi, sebagai satu-satunya ilmu yang mampu menerobos ke belakang ke dunia masa lalu. Membongkar masa “lampau” sekaligus menyajikannya untuk masyarakat sekarang merupakan kuwajiban arkeolog yang mesti dilakukan.

Namun dalam faktanya, seringkali terdengar kritik, bahwa masyarakat di sekitar situs arkeologi cenderung hanya sebagai objek dalam pengelolaan warisan budaya. Mereka jarang dilibatkan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengambilan keputusan (Sulistyanto, 2009:78). Secara konkrit, pemikiran tersebut dapat dijelaskan, bahwa masyarakat di sekitar situs tidak dapat diabaikan dalam segala kegiatan yang menyangkut keberadaan dan keberlangsungan warisan budaya disekitarnya. Masyarakat pada hakekatnya merupakan pemilik sah atas warisan budaya (Groube, 1985: 58; Schaafsma, 1989: 38; Layton, 1989:1 dalam Tanudirjo, 1993/1994: 11-12). Sementara itu, mereka sebenarnya memiliki kearifan atau potensi sosial, budaya, politik, maupun ekonomi yang dapat dikembangkan untuk pelestarian warisan budaya. Potensi tersebut jika dikelola dengan benar bukan tidak mungkin akan mampu menumbuhkan ketergantungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualistis) antara situs dan masyarakat di sekitarnya. Ketergantungan tersebut diharapkan mampu menunjukkan korelasi positif atau hubungan timbal balik yang saling menguntungkan di antara kedua belah pihak, yaitu pihak pemerintah selaku pengelola yang bertanggung jawab terhadap pelestarian situs dan pihak masyarakat lokal, selaku pemilik warisan budaya.

Pihak pertama, masyarakat akan diuntungkan dengan adanya pemanfaatan situs yang mengarah pada kepentingan ekonomis, sebagai objek pariwisata misalnya. Keterlibatan mereka dalam aktivitas kepariwisataan secara langsung, akan dapat mendatangkan pendapatan tambahan atau pendapatan utama yang mampu meningkatkan perekonomian mereka. Pihak kedua, pemerintah selaku pengelola yang memiliki tanggung jawab keberadaan warisan budaya, menjadi lebih ringan bebannya dengan tumbuhnya pemberdayaan yang mengarah pada peningkatan rasa kepemilikan masyarakat terhadap warisan budaya di sekitarnya. Dampak positif tumbuhnya rasa memiliki terhadap warisan budaya seperti itu, adalah munculnya kesadaran untuk “melindungi” dan “menjaga” kelestarian situs. Apabila masyarakat sudah dapat bertindak sebagai “pelindung” dan “penjaga” situs yang muncul dari kesadaran sendiri, maka hal tersebut merupakan bentuk upaya perlindungan dan pelestarian yang paling efektif dan efisien (Prasodjo 2004:3).

Untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan, maka perlu dilakukan upaya ke arah terbentuknya kondisi yang kondusif untuk kedua belah pihak. Menciptakan situasi yang saling menguntungkan untuk kedua belah pihak tersebut, tidaklah mudah karena arkeologi tidak dapat bekerja sendiri. Apalagi menjalin kemitraan dengan masyarakat yang berada di sekitar situs yang rawan konflik. Arkeologi membutuhkan dukungan dari stakeholders, paling tidak dukungan dari pemerintah daerah setempat. Untuk memperoleh dukungan tersebut, langkah awal yang diperlukan adalah kesadaran di kalangan arkeologi sendiri, bahwa masyarakat di sekitar situs memiliki peran yang sangat penting untuk pelestarian benda cagar budaya. Masyarakat di sekitar situs tidak dapat diabaikan dari segala kegiatan pengelolaan warisan budaya, mulai dari penyusunan program, pelaksanaan, dan bahkan evaluasi.


III. Tujuan Pemberdayaan sebagai Konsep Budaya

Fakta sosial memperlihatkan, dalam dasa warsa ini, upaya pengelolaan warisan budaya di Indonesia seringkali diwarnai oleh konflik kepentingan, baik konflik secara vertikal maupun horizontal. Banyak faktor penyebab munculnya konflik tersebut, salah satunya adalah akibat dari perbedaan dalam memaknai warisan budaya (Sulistyanto, 2006:17). Berdasarkan konsep pengelolaan warisan budaya yang menekankan pada pentingnya pemberdayaan masyarakat di sekitar situs, maka paling tidak tujuan pemberberdayaan dapat diarahkan sebagai berikut.

1. Meningkatnya kemampuan masyarakat terhadap makna pentingnya warisan budaya di lingkungan sekitarnya.

2. Terlestarikannya warisan budaya oleh inisiatif masyarakat itu sendiri, karena warisan budaya mampu memberikan kontribusi kepada mereka.

3. Meningkatnya taraf hidup yang lebih baik seiring dengan kemampuannya mengapresiasi dan memanfaatkan warisan budaya di lingkungan sekitarnya.

4. Terciptanya kegiatan-kegiatan ekonomi (kepariwisataan) yang produktif sesuai dengan potensi yang dimiliki dengan ciri-ciri berbasis sumber daya lokal (resource-based) dan memiliki pasar yang jelas (market-based) yang dilakukan secara berkelanjutan dan dengan menggunakan teknologi maju tepat guna yang bersumber dari proses pengkajian dan pelatihan.

Sebagaimana tampak dari uraian di atas, pemberdayaan bukan hanya konsep ekonomi, atau konsep politik. Pemberdayaan adalah konsep yang holistik, karena pemberdayaan sudah pasti menyangkut nilai-nilai dalam masyarakat. Penduduk kurang mampu di sekitar situs atau yang belum difungsikan secara penuh potensinya, melalui pemberdayaan diharapkan akan meningkat bukan hanya ekonominya, melainkan juga harkat, martabat, rasa percaya diri, dan harga diri mereka. Dengan demikian, dapatlah diartikan bahwa pemberdayaan tidak saja menumbuhkan dan mengembangkan nilai tambah ekonomi, tetapi juga nilai tambah sosial dan nilai tambah budaya.

Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada program-program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati, harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan wisatawan pengunjung situs misalnya). Dengan demikian, tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Perlu diakui, konsep sebagaimana dijelaskan ini, mungkin hanya akan lebih terasa manfaatnya pada masyarakat yang tinggal di sekitar situs-situs besar yang memiliki potensi kuat warisan budaya sebagai objek wisata.

Dalam konteks demikian, pemberdayaan jelas akan berdampak pada perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap masyarakat. Dengan demikan, pemberdayaan adalah sebuah konsep kebudayaan. Melalui pemberdayaan, masyarakat akan memiliki keyakinan yang lebih besar akan kemampuan dirinya, paling tidak kemampuan mengapresiasi dan mengaktualisasikan warisan budaya yang dijaganya kepada wisatawan pengunjung situs. Jika warisan budaya yang mereka jaga memberikan kontribusi terhadap kehidupannya, maka dengan sendirinya masyarakat akan meninggalkan kebiasaan dan nilai-nilai lama (nilai-nilai tradisional) yang merugikan atau menghambat kemajuan kehidupannya. Masyarakat disekitar Situs Sangiran misalnya, diharapkan akan meninggalkan kebiasaan mencari fosil, atau masyarakat Trowulan akan menghentikan pembuatan bata-bata merah. Menanamkan nilai-nilai budaya modern seperti kerja keras, disiplin, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban terhadap warisan budaya di sekitarnya, adalah bagian pokok upaya pemberdayaan ini.


IV. Strategi Pemberdayaan

Seringkali upaya pemberdayaan diartikan dengan pemberian bantuan fisik. Namun, seringkali bantuan tidak berlanjut dan setelah program selesai bantuan itu tidak bermanfaat untuk masyarakat. Secara substantif, pemberdayaan masyarakat adalah proses mengembangkan, memampukan masyarakat agar dapat mandiri dalam mengelola potensi sumber daya yang mereka miliki. Warisan budaya, adalah sumber daya yang perlu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar situs sebagai objek untuk meningkatkan kesejahteraannya. Pemahaman ini perlu ditanamkan kepada mereka, agar menyadari potensi sumber daya di lingkungannya. Dalam konteks itu, masyarakat tidak hanya diarahkan pada kemajuan secara fisik atau materi, melainkan lebih penting pada perkembangan non materi. Dengan demikian, pemberdayaan tidak hanya memerlukan sumber daya manusia, modal, ataupun sarana, tetapi juga memerlukan nilai-nilai yang membimbing dan mengarahkan orientasi perubahan akan dilakukan.

Pada dasarnya, terdapat perbedaan antara pemberdayaan dengan pembinaan. Pembinaan ada kecenderungan intervensi dari pihak luar, bahkan inisiatif dan kebijakan sangat ditentukan oleh pihak luar dan sesuai dengan keinginannya, sehingga posisi masyarakat hanya dianggap sebagai objek. Berbeda dengan pengertian tersebut, pemberdayaan adalah proses dari, oleh dan untuk masyarakat. Masyarakat di sekitar situs, perlu dibantu, didampingi, dan difasilitasi agar berdaya dalam mengelola berbagai potensi sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian, tujuan pemberdayaan adalah kemandirian, yaitu memampukan masyarakat di sekitar situs agar dapat mengaktualisasikan diri dalam pengelolaan sumber daya dan memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri, tanpa ketergantungan dengan pihak-pihak lain.

Dalam kerangka pemikiran tersebut, Kartasasmita, (1995:19) menjelaskan upaya memberdayakan masyarakat, dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu:

Pertama, menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa kemampuan atau kekuatan. Pemberdayaan adalah, upaya untuk membangun kemampuan atau kekuatan tersebut, dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkannya. Dengan demikian, kekuatan atau kemampuan tesembunyi yang dimiliki oleh masyarakat yang akan diberdayakan terlebih dahulu harus dipetakan. Pemetaan atau identitfikasi terhadap potensi tersebut sangat penting sebagai dasar melangkah untuk menentukan program pemberdayaan.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini, diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain menciptakan suasana yang kondusif. Penguatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan serta pembuka akses dalam berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi lebih berdaya. Untuk itu, perlu ada program khusus untuk masyarakat yang kurang berdaya, karena program-program umum yang berlaku untuk semua, tidak selalu dapat menyentuh lapisan masyarakat ini, seperti tersedianya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, dan lapangan kerja.

Ketiga, memberdayakan rakyat dalam arti melindungi dan membela kepentingan masyarakat lemah. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah jangan sampai yang lemah semakin termarginalkan dalam menghadapi penguasa. Oleh karena itu, perlindungan dan keberpihakan kepada yang lemah sangat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan rakyat. Melindungi dan membela harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak seimbang dan eksploitasi atas yang lemah.

Dari pandangan tersebut, diperoleh gambaran bahwa pemberdayaan tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan diperlukan strategi pendekatan yang menyeluruh. Dalam hal ini, arkeolog tidak dapat bekerja sendiri, karena upaya pemberdayaan selalu melibatkan berbagai disiplin ilmu. Di samping itu, upaya ini perlu melibatkan inisiatif dari berbagai pihak, karena lembaga arkeologi tidak mungkin dapat berjalan sendiri tanpa dukungan dari stakeholders khususnya keberadaan dan peranan Pemerintah Daerah dan Organisasi Non-pemerintah (Ornop) atau NGOs (Non-Governmental Organizations) sebagai agen perubahan (agents of change).

Paling tidak terdapat tiga strategi dasar, yang harus dilakukan sebelum bertindak melakukan pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar situs wilayah cagar budaya.

Pertama yang harus diperhatikan dalam konsep pemberdayaan adalah, bahwa masyarakat tidak dijadikan objek, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep demikian, pentingnya menciptakan pendekatan yang terarah (targetted). Program ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan terlebih dahulu dirancang untuk mengatasi permasalahan sesuai dengan kebutuhannya. Dalam mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, antara lain agar mereka mau membantu dalam upaya pelestarian warisan budaya di sekitarnya. Oleh karena itu, sebaiknya, program diarahkan pada konteks upaya pelestarian warisan budaya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Kedua, harus ditemukan terlebih dahulu permasalahan dasar yang dihadapi oleh masyarakat dengan keberadaan situs di sekitarnya. Identifikasi permasalahan dasar yang ada pada mereka sangat penting dilakukan, guna menentukan langkah perencanaan dan penerapan pelaksanaan program pemberdayaan (Rudito, 2004). Pada umumnya, permasalahan masyarakat di wilayah cagar budaya adalah benturan kepentingan terhadap pemanfaatan sumber daya arkeologi. Benturan atau konflik kepentingan tersebut, biasanya disebabkan oleh perbedaan dalam memaknai warisan budaya, di samping beberapa faktor pendukung lainnya di setiap situs, karena setiap daerah memiliki permasalahan yang berbeda (Sulistyanto, 2006:17 ).

Ketiga, melakukan pemetaan terhadap potensi yang dimiliki oleh masyarakat yang bersangkutan. Potensi ini penting sekali diketahui, guna menemukan langkah-langkah pemberdayaan pada sektor-sektor tertentu yang sebenarnya merupakan kekuatan tersembunyi bagi masyarakat yang bersangkutan. Potensi lingkungan ataupun potensi kemampuan sumber daya manusia itu merupakan modal dasar yang harus ditemukan terlebih dahulu, di samping pemahaman terhadap modal sosial masyarakat yang bersangkutan.

Keempat, dalam implementasi selanjutnya, proses pemberdayaan harus didampingi oleh tim fasilitator yang bersifat mutidisiplin sesuai dengan kebutuhan. Peran tim pendamping ini pada awal proses sangat aktif, tetapi secara bertahap akan berkurang dan berhenti, jika masyarakat sudah dapat melanjutkan kegiatannya secara mandiri.

Dalam setiap komunitas (masyarakat disekitar situs) sudah pasti memiliki nilai-nilai, institusi-institusi, dan mekanisme sosial yang memungkinkan terjadinya hubungan sosial dan kerjasama yang dilandasi rasa saling percaya di luar ataupun di dalam kelompok sosialnya. Jalinan antara nilai-nilai, institusi-institusi, dan mekanisme sosial itulah yang sering disebut modal sosial. Modal sosial sangat terkait dengan organisasi sosial, ikatan atau hubungan sosial, norma ataupun kepercayaan yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk kepentingan bersama. Dengan demikian, modal sosial yang dimiliki (oleh masyarakat di sekitar situs), merupakan elemen penting untuk warga masyarakat untuk lebih peduli terhadap kepentingan bersama.

Modal sosial yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat di sekitar situs, ini perlu dikembangkan dalam program pemberdayaan dan dikaitkan dengan upaya pelestarian situs. Hal ini sangat dimungkinkan karena dengan modal sosial, khususnya dalam bentuk trust atau kepercayaan, masyarakat bersedia untuk bekerjasama dan menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan individu. Secara teoritis, masyarakat high trust akan memiliki solidaritas komunal yang sangat tinggi. Hal ini dapat berdampak, masyarakat bersedia berperilaku mengikuti aturan, sehingga dapat memperkuat kebersamaan (Fukuyama, 2002:3-6). Dalam konteks pemberdayaan, kesediaan berperilaku mengikuti aturan, inilah menjadi salah satu tujuan guna upaya pelestarian situs.

Dengan demikian, program pemberdayaan tidak hanya bersifat fisik, melainkan dapat diwujudkan dalam berbagai aspek seperti hukum, sosial-budaya, atau ekonomi, sesuai dengan problem yang mereka hadapi. Pemberdayaan pada aspek hukum, dilakukan dengan cara pembekalan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut peraturan mengenai pelestarian warisan budaya. Aturan-aturan apa yang diperbolehkan dan apa yang dilarang. Hal ini penting untuk ditanamkan, khususnya pada generasi muda masyarakat di sekitar situs. Pembekalan aspek hukum ini penting dipahami sebagai dasar untuk melangkah pada aspek pemberdayaan di sektor lainnya. Pembekalan aspek hukum sangat mutlak diselenggarakan pada situs-situs yang rawan akan konflik kepentingan yang sarat akan pelanggaran-pelanggaran situs.

Pemberdayaan pada aspek sosial-budaya, dapat dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan dan interpretasi data arkeologis yang dilakukan oleh para arkeolog. Misalnya melalui diseminasi penelitian arkeologi kepada masyarakat lokal sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban ilmiah para peneliti yang telah meneliti warisan budaya mereka. Dengan informasi yang didapatkan dari interpretasi arkeologis masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya yang selanjutnya dapat dipergunakan dorongan moral bagi pengaktualisasian eksistensinya (Sutaba, 2000; Prasojo, 1994:6).

Pemberdayaan dalam bidang ekonomi merupakan pemberdayaan yang secara langsung paling cepat dan konkrit dirasakan hasilnya oleh masyarakat di sekitar situs. Namun demikian pemberdayaan yang menyentuh aspek ekonomi ini harus dilakukan dengan hati-hati, agar masyarakat tidak selalu mengantungkan pada pihak lain, yang pada akhirnya justru melemahkan masyarakat itu sendiri.


V. Contoh Kasus Pemberdayaan

Upaya pengelolaan warisan budaya melalui program pemberdayaan masyarakat, belum banyak dilakukan oleh arkeolog Indonesia. Hal ini dapat dipahami, karena model pengelolaan yang selama ini diterapkan belum memposisikan masyarakat sebagai bagian integral dari pengelolaan warisan budaya. Pengelolaan warisan budaya, baik aspek pelestarian maupun penelitian masih terbatas pada penanganan obyek warisan budaya itu sendiri; belum menyentuh pada kepentingan masyarakat di sekitar situs sebagai penjaga ataupun pemilik warisan tersebut. Walaupun gagasan konseptual yang berasal dari kalangan arkeologi dalam pemberdayaan masyarakat belum dirumuskan, tetapi embrio untuk upaya ini sebenarnya sudah ada.

1. Batik Banten
Munculnya ragam hias batik Banten sekarang ini, tidak dapat dilepaskan dari serangkaian hasil penelitian dan pengkajian arkeologi (Wibisono, 2004). Ragam hias gerabah kuno yang ditemukan di situs kota lama Banten, merupakan warisan yang dihasilkan dari sebuah proses kreatif dari sebuah peradaban masa kesultanan sekitar 300 tahun yang lalu. Pada awalnya, sekitar tahun 2004 Sony Wibisono peneliti dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeolal, mencoba memperlihatkan kepada masyarakat setempat tentang karya unik hiasan gerabah hasil temuan ekskavasi Situs Banten Lama. Hasil temuan ekskavasi hiasan gerabah yang cukup banyak ini, memang tidak sekedar dikumpulkan dan dipelajari, tetapi juga dipilah dan dijelaskan kepada masyarakat, baik jenis produksnya, teknik pengerjaan maupun historis dan keberagaman motif hiasnya. Melihat ketertarikan masyarakat Banten terhadap keindahan karya leluhurnya tersebut, maka gagasan ini kemudian berlanjut pada upaya untuk mendaur ulang menjadi seni batik Banten masa kini.

Proses daur ulang dari bentuk ragam hias gerabah ke media kain batik, merupakan transformasi stylistik yang tidak mudah, karena harus menyesuaikan kehendak konsumen berdasar kecenderungan masyarakat masa kini. Transformasi stylistik lintas waktu yang dilakukan oleh para seniman batik Banten, merupakan gejala wajar dalam proses kesinambungan budaya. Bahkan dari aspek arkeologi, transformasi budaya tersebut menjadi tujuan utama arkeologi, yaitu upaya menemukan kembali makna budaya yang telah punah. Dengan perkataan lain, memunculkan kembali kebermaknaan sosial dan menempatkan dalam konteks sistem kehidupan sosial masyarakat sekarang, merupakan tugas utama arkeolog dalam konteks Cultural Resources Managemen. Dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh Sonny Wibisono dengan para seniman batik Banten, merupakan pertanggungjawaban arkeologi terhadap masyarakat sekitar dan ini sesuai dengan hakekat kinerja CRM, yakni mempertahankan sumber daya arkeologi agar tetap berada dalam konteks sistem dengan menyodorkan “makna baru” sesuai dengan konteks sosial “masyarakat kini”.

2. Perajin Batu Mulia di Pacitan
Salah satu contoh upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar situs adalah pemberdayaan perajin batu mulia di Pacitan yang dilakukan oleh Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada pada tahun 2000. Program berjudul: “Pengembangan Potensi Wisata Budaya di Kawasan Pacitan-Wonogiri-Wonosari”, diwujudkan dalam bentuk workshop peningkatan kualitas hasil produksi perajin batu mulia di Desa Sekar, Kecamatan Donorojo, Pacitan (Adrisijanti, dkk. 2000). Desa Sekar merupakan salah satu sentra kerajinan batu mulia di Kecamatan Donorojo, Pacitan. Wilayah ini juga merupakan salah satu kawasan arkeologis yang memiliki temuan prasejarah, mulai dari masa paleolitik sampai neolitik. Kerajinan batu mulia dari Kecamatan Donorojo merupakan produk (wisata) andalan Kabupaten Pacitan. Bekerjasama dengan instansi dan kelompok profesional terkait, program pemberdayaan ini melibatkan dua puluh perajin setempat.

Implementasi program ini tim arkeologi FIB-UGM memberikan materi pelatihan juga teknologi pembuatan alat batu dari masa prasejarah, serta kunjungan ke Museum Punung untuk melihat fisik bukti arkeologis. Melalui pemberian materi tersebut, para perajin batu mulia dapat mengetahui bahwa leluhur mereka pada masa lampau telah menekuni kerajinan batu, sebagaimana diperlihatkan oleh temuan arkeologis berupa alat-alat batu di wilayahnya sendiri. Pengetahuan akan kemampuan mengolah sumberdaya alam menjadi barang kerajinan yang dimiliki nenek moyangnya ini, pada akhirnya mampu menjadikan kebanggaan sekaligus menyadarkan mereka untuk terus berkarya, dan meningkatkan produksi kerajinan batu mulia menjadi barang seni yang unik. Menyadari fenomena tersebut, tim pemberdayaan arkeologi FIB-UGM pada langkah berikutnya berupaya meningkatkan kualitas produksi beserta cara pemasarannya. Strategi yang ditempuh adalah, memberikan pelatihan teknik produksi, antara lain seleksi bahan, desain, diversifikasi produk, dan pemasaran produk dalam industri pariwisata serta pemberdayaan kelembagaan perajin. Pada akhir kegiatan ini, para perajin merasakan manfaat dari kegiatan tersebut. Para perajin tidak hanya bangga mengetahui perilaku nenek moyangnya, tetapi pengetahuan itu terus bergulir pada pelestarian situs yang ada di sekitarnya dan pengetahauan itu juga menjadi inspirasi sekaligus pemicu mereka mengembangkan karya-karya kerajinan batu sesuai dengan keinginan pasar. Akhirnya, muara dari program pemberdayaan tersebut, diharapkan dapat membantu masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya (Prasojo, 2004:7).

Terlepas dari sejauh mana keberlangsungan hasil pemberdayaan ini bagi masyarakat Desa Sekar sekarang, upaya memandirikan masyarakat lokal di sekitar situs-situs prasejarah di Pacitan menyadarkan kita, bahwa sebenarnya para arkeolog mampu melakukan sesuatu yang secara langsung bermanfaat bagi masyarakat. Para arkeolog peneliti dan para arkeolog pelestari tidak dapat melupakan peran masyarakat di sekitar situs. Sudah saatnya aktivitasnya diperluas, tidak hanya terbatas pada penelitian dan pelestarian yang bersifat murni untuk kepentingan arkeologi, melainkan penting memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat di sekitar situs. Dengan perkataan lain pemberdayaan atau empowerment bukan hanya bertujuan membantu masyarakat lokal di sekitar situs, tetapi memiliki makna lebih, yakni merupakan pertanggungjawaban sosial arkeologi terhadap masyarakat yang terkena dampak akibat pengembangan yang dicanangkan terhadap suatu situs yang dikelolanya (Sulistyanto, 2008: 28).


VI. Usulan Model Pemberdayaan Situs Sangiran

Pemberdayaan tidak harus difokuskan pada peningkatan aspek ekonomis, melainkan dapat pula dilakukan di bidang sosial-budaya ataupun politik. Diakui pemberdayaan di sektor ekonomi, manfaatnya secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat, tetapi tanpa disertai pemberdayaan pada bidang lain, seperti bidang sosial-budaya, pemberdayaan menjadi kurang manfaatnya. Idealnya pemberdayayaan dilakukan diberbagai sektor, baik sektor hukum, sosial-budaya, maupun ekonomi. Model pemberdayaan masyarakat di Situs Sangiran pernah diusulkan dalam rangka memecahkan permasalahan konflik pemanfaatan yang terjadi pada situs berperingkat dunia tersebut (Sulistyanto, 2008: 330-343).

Program pemberdayaan masyarakat di sekitar situs akan lebih berhasil, apabila disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, pemetaan potensi masyarakat di sekitar situs merupakan keharusan untuk dipahami. Hasil pengamatan lapangan memperlihatkan, masyarakat di wilayah Cagar Budaya Sangiran memiliki potensi di sektor kerajinan. Paling tidak ditemukan lima jenis kerajinan (anjaman bambu, batuan/fosil-fosilan, batok kelapa, kerajinan kayu, batik) yang harus diperhatikan pengembangannya guna meningkatkan kondisi perekonomian masyarakat setempat. Potensi masyarakat Sangiran di bidang industri tersebut perlu dikembangkan, karena potensi tersebut masih bersifat tradisional, berupa industri rumah (home industry), yang belum disentuh oleh manajemen modern.

Pada dasarnya pemberdayaan masyarakat di wilayah Cagar Budaya Situs Sangiran dapat diwujudkan dalam tiga aspek, yaitu pemberdayaan dalam aspek hukum, aspek sosial-budaya dan aspek ekonomi. Pemberdayaan pada aspek hukum, dilakukan dengan cara pembekalan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang menyangkut kelestarian warisan budaya. Bidang hukum ini diprogramkan, karena Situs Sangiran rawan pelanggaran hukum, khususnya pencurian fosil-fosil. Pembekalan aspek hukum ini penting dipahami, sebagai dasar untuk melangkah pada aspek pemberdayaan lainnya.

Pemberdayaan aspek sosial-budaya, dicapai dengan memberdayakan kemampuan masyarakat untuk mengenali jati dirinya melalui temuan hasil penelitian dan interpretasi data arkeologis yang dilakukan oleh para arkeolog. Sebagai contoh, melalui diseminasi penelitian arkeologi, sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban ilmiah para peneliti yang telah meneliti wilayah mereka, masyarakat dapat belajar memahami pentingnya warisan budaya di lingkungan sekitarnya. Dengan informasi yang didapatkan dari intepretasi arkeolog masyarakat dapat mengenal dirinya sendiri dalam bidang sosial-budaya, seperti revitalisasi budaya yang selanjutnya dapat dipergunakan sebagai pengaktualisasian eksistensinya.

Contoh lebih konkrit pemberdayaan di bidang sosial budaya adalah dengan melibatkan penduduk melakukan aktivitas penelitian dalam hal ini sebagai tenaga lokal maupun informan. Keterlibatan mereka membantu tim penelitian memiliki keuntungan ganda, di samping memperoleh pengetahuan tentang warisan budaya yang mereka temukan langsung pada saat melakukan ekskavasi, mereka juga akan memperoleh pendapatan tambahan dari hasil kerja mereka. Namun kegiatan ini sifatnya temporal tidak serempak dapat diikuti oleh semua penduduk di sekitar situs.

Dalam konteks pengembangan Situs Sangiran sebagai objek wisata unggulan di Jawa Tengah, pemberdayaan pada aspek ekonomi dilakukan terhadap peningkatan kemampuan kelompok perajin, kelompok petani dengan pemilihan bibit padi unggul yang sesuai dengan lahan tanah atau kelompok penyedia jasa (rumah makan, penginapan, transportasi), dan kelompok pemandu wisata. Beberapa bentuk keterlibatan masyarakat lokal dalam upaya pemanfaatan dan pengembangan Situs Sangiran yang dapat dikembangkan antara lain dapat dilihat pada tabel di bawah.



Proses pemberdayaan masyarakat Sangiran pada hakekatnya adalah upaya untuk melestarikan Situs Sangiran itu sendiri. Dalam proses pemberdayaan tersebut, diperlukan perantara (mediator) sebagai motivator, fasilitator, sekaligus dinamisator. Dalam konteks demikian, pemerintah tidaklah dominan. Pemerintah hanya dituntut menyediakan suasana yang kondusif untuk pemberdayaan masyarakat melalui kebijakan-kebijakan yang memberikan peluang seluas-luasnya untuk keterlibatan masyarakat terhadap pengelolaan Situs Sangiran. Dengan asumsi tersebut, peran pemerintah daerah dan LSM dapat turut serta berpartisipasi. Dengan demikian, upaya pemberdayaan masyarakat di wilayah Cagar Budaya Sangiran, masyarakat tidak hanya menjadi pihak yang pasif yang tidak berdaya, tetapi juga keterlibatan langsung dalam perumusan, persiapan, ataupun pelaksanaan program aksi pemberdayaan dengan tetap memperhatikan konsep-konsep pelestarian, sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

Mengacu pada pandangan bahwa pemberdayaan masyarakat harus mampu mewujudkan langkah konkrit, baik fisik maupun non fisik, serta terbukanya berbagai akses dan peluang, seperti tersediannya lembaga-lembaga pendanaan, pelatihan, modal dan pemasaran produk, maka pemberdayaan mutlak memerlukan pendukungan yang serius dari berbagai stakeholders. Salah satu pilihan strategis yang dapat dilakukan dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar Situs Sangiran adalah, model peningkatan produktivitas berbasis potensi yang dimiliki oleh masyarakat tersebut sebagaimana terlihat dalam bagan ini.


Bagan tersebut memperlihatkan, bahwa peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan cara mengembangkan seluruh potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat Sangiran. Potensi yang masih terpendam misalnya, kemampuan menciptakan barang-barang kerajinan perlu dikembangkan melalui pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan. Kegiatan tersebut perlu diikuti dengan pembentukan organisasi pendanaan lokal, seperti pendirian koperasi simpan pinjam dan juga proses pembelajaran untuk pengembangan teknologi tepat guna, sehingga mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan perekonomian. Jika peningkatan produktivitas berbasis potensi sudah tercapai, maka langkah terakhir adalah memperkuat jaringan pemasaran atas produk mereka, sehingga kemandirian masyarakat Sangiran dapat terwujud.


VII. Penutup

Upaya pengelolaan warisan budaya pada masa sekarang, penting untuk memperhatikan kebermaknaan sosial (social significance) untuk masyarakat sekitarnya. Konsekuensi pemahaman tersebut, menuntut adanya suatu advokasi (perubahan kebijakan), yakni mengalihposisikan penduduk di sekitar situs yang semula sebagai objek menjadi subjek. Alih posisi itu menjadi tantangan penciptaan berbagai kebijakan baru yang menempatkan penduduk di sekitar situs bukan sebagai pihak yang dikontrol dan dikuasai, melainkan sebagai mitra yang sejajar. Masyarakat perlu diajak “menghidupkan” warisan budaya disekitarnya agar warisan budaya tersebut dapat “menghidupi” mereka. Masyarakat perlu dilibatkan dalam proses pengelolaan warisan budaya yang dimiliki, agar aset yang dimiliki memberikan kontribusi balik baik material maupun non material yang berguna untuk kehidupannya.

Upaya mewujudkan konsep pengelolaan yang menempatkan warisan budaya pada konteks sosial masyarakat, menuntut pendekatan partisipatif yang mengarah pada keterlibatan masyarakat secara langsung dalam pengelolaan warisan budaya. Pendekatan partisipatif tersebut, adalah pendekatan yang lebih bersifat community-oriented, yaitu sebuah pendekatan yang lebih peduli terhadap keberadaan masyarakat lokal untuk terlibat secara bersama-sama mengelola warisan budaya miliknya. Pendekatan yang berorientasi pada masyarakat (community-oriented) dalam implementasinya diwujudkan melalui pemberdayaan masyarakat di sekitar situs.

Paling tidak terdapat empat strategi dasar sebelum melakukan pemberdayaan. Pertama masyarakat tidak dijadikan objek, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunan. Kedua, menemukan permasalahan dasar yang dihadapi oleh masyarakat dalam kaitannya dengan keberadaan situs di sekitarnya, guna menentukan langkah pelaksanaan.

Ketiga, melakukan pemetaan potensi yang dimiliki oleh masyarakat guna menemukan langkah-langkah pemberdayaan pada sektor-sektor tertentu yang sebenarnya merupakan kekuatan.

Keempat, proses pemberdayaan harus didampingi oleh tim fasilitator yang bersifat mutidisiplin sesuai dengan kebutuhan.

Pendampingan atau pendukungan terhadap usaha-usaha rakyat dilakukan dengan empat strategi. Pertama, menciptakan suasana yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang. Kedua, memperkuat atau mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk peningkatan produktivitas, melalui pendidikan masyarakat lokal baik dalam bentuk sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran maupun pelatihan guna meningkatkan kemampuannya secara langsung. Ketiga, pembentukan organisasi pendanaan lokal dan juga proses pengembangan teknologi tepat guna, sehingga mampu meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan perekonomian yang ada. Keempat, memperkuat jaringan pemasaran produk rakya,t sehingga kemandirian masyarakat dapat terwujud.

Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat di sekitar situs sesungguhnya bukan hanya bermaksud untuk meredam konflik, tetapi memiliki makna lebih dari itu, yakni merupakan pertanggungjawaban sosial arkeologi terhadap masyarakat yang terkena dampak, baik langsung maupun tidak langsung akibat pengembangan yang dicanangkan terhadap kawasan suatu situs. Berdasarkan pandangan tersebut, maka pemberdayaan merupakan upaya mutlak yang perlu dilakukan oleh arkeolog dalam upaya pengelolaan suatu situs warisan budaya. Hanya dengan cara demikian, para pengelola warisan budaya akan dihargai dan memperoleh ruang di tengah masyarakat, karena pemberdayaan merupakan simbol kepedulian terhadap mereka.

Catatan:
[1] Kepedulian masyarakat terhadap warisan budaya dibuktikan banyaknya organisasi sosial yang bergerak dalam pelestarian warisan budaya seperti: Bandung Heritage, Solo Heritage, Celebes Heritage, Badan Warisan Sumatra, Palembang Heritage, Banten Heritage, Yogyakarta Heritage Society, Perkumpulan Generasi Muda Peduli Kota Tua Jakarta, dan Jakarta Oldtown Kotaku (JOK), Kembang Mas atau Kelompok Mitra Dieng.

[2] Pada tanggal 29 desember 2009 di depan Gedung Balai Arkelogi Bandung telah terjadi demo yang dilakukan oleh 100 orang lebih dari masyarakat Sunda yang mengatasnamakan Masyarakat Gerakan Bawah Indonesia. Permasalahannya adalah Hasil Penelitian Arkeologi yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Bandung terhadap wilayah Seulareuma (Desa Pasanggrahan, Kecamatan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang) menyatakan bukan situs. Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh BP3 Serang, menyatakan bahwa wilayah tersebut bukanlah situs. Menurut para pendemo “Masyarakat Gerakan Bawah Indonesia”, wilayah Seulareuma adalah situs yang perlu dilestarikan. Perbedaan persepsi inilah yang menyebabkan adanya demo yang menuntut dilestarikannya daerah tersebut. Jika Balai Arkeologi Jawa Barat dan BP3 Serang tidak melaksanakan maka pendemo menghendaki dibubarkannya kedua lembaga tersebut.

[3] Pemberdayaan (empowerment) adalah konsep sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, khususnya Eropa. Pemikiran ini muncul bersamaan dengan tumbuhnya aliran pemikiran pasca modernisme (post-modernism) yang mengalami perkembangan pada dekade 80-an, dengan penekanan pada sikap dan pendapat yang orientasinya mengarah ke antisistem, antistruktur dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Mengenai proses muncul dan berkembangnya konsep pemberdayaan lihat Pranaka A.M.W. dan Vidyandika Moelyarto, “Pemberdayaan (emporwement)” dalam Onny S. Priyono dan A.M.W. Pranaka, Pemberdayaan, Konsep, Kebijakan dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies (CSIS), 1996.

[4] Power dapat diartikan sebagai kekuasaan (seperti dalam executive power), atau kekuatan (seperti pushing power), atau daya (seperti horse power). Tidak mudah untuk membedakan secara tepat pengertian power tersebut. Pengertian power tumpang tindih, bahkan sering diterjemahkan dengan “daya”. Dalam tulisan ini power mengacu pada pengertian kemampuan atau kekuatan.

[5] Dalam bidang pendidikan pengajaran misalnya, pemberdayaan diartikan sebagai “ a route to enhancing the teaching professions: the authority to teach with the professional standards that pertain to their work” (Mertens dan Yarger 1988:35). Sementara itu, di bidang politik pemberdayaan didefinisikan sebagai, “empowerment involves individuals gaining control of their lives and fulfilling their need in part, as a result of developing competencies, skills and abilities necessary to effectively participate in their social and political worlds” (Kreisberg 1992:19).


Daftar Pustaka

Adrisijanti, dkk. 2000. The Development of Cultural Tourism Potential at the Pacitan-Wonogiri-Wonosari Region in order to Empower the Local Communities’ Economy through Enhancement of the Management of the University’s. Laporan Kegiatan Semi-QUE. Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Byrne, Denis, Helen Brayshaw, Tracy Ireland. t.t. Social Significance. A Discussion Paper. NSW National Parks & Wildlife Service, Research Unit, Cultural Heritage Devision.

Cleere, Henry. F. 1989. “Introduction: the Rationale of Archaeological Management”, dalam Henry F. Cleere (ed.), Archaeological heritage management in the Modern World, hal. 5-10. London: Unwin-Hyman.

Fukuyama, Francis. 2002. Trust: Kebijakan Sosial dan Penciptaan Kemakmuran. Yogyakarta: Penerbit Qalam.

Groube, Les. 1985. “The ownership of diversity: the problem of establishing a national history in a land of nine hundred ethnic dalam Isabel McBryde (ed), hlm. 49-73.

Kartasasmita, Ginanjar. 1995. “Pemberdayaan Masyarakat: Sebuah Tinjauan Administrasi.” Bulletin Alumni SESPA, edisi keempat.

Kiesberg, Louis. 1982. Social Conflict, Second Edition Englewood Clifft, N.Y: Prentice Hall, Inc.

Layton, Robert. 1989. “Introduction: Who needs the past”, dalam Robert Layton (ed), Who needs the past?. London: Unwin Hyman.

Mertens, dan Yarger, SJ. 1988. “Teaching as a Professsion: Leadership, Empowerment and Involvement”, Journal of Teacher Education 39, No.1.

Pranarka, A.M.W. 1996 “Globalisasi, Pemberdayaan dan Demokratisasi”, dalam Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

————-, dan Vidhyandika Moeljarto.1996 “Pemberdayaan (Empowerment)”, dalam: Onny S. Prijono dan A.M.W. Pranarka. Pemberdayaan. Konsep, Kebijakan, dan Implementasi. Jakarta: Centre for Strategic and International Studies.

Prasodjo, Tjahyono. 2004. “Arkeologi Publik”. Makalah disampaikan dalam rangka Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi Tingkat Dasar di Trowulan.

———————–, 2004. “Pemberdayaan Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi. Makalah disampaikan dalam rangka Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Arkeologi Tingkat Dasar di Trowulan.

Scaafsma, Curtis F. 1989. “Significant until proven otherwise: problems versus representative samples,” dalam Henry F. Cleere (ed). Hlm. 38-51.

Schiffer, Michael. B. dan George .J. Gummerman (ed). 1977. Conservation Archaeology, A Guide for Cultural Recources Management Studies. New York : Academic Press.

Sulistyanto, Bambang. 2006. “Resolusi Konflik Pemanfaatan Sumber Daya Arkeologi di Indonesia: Suatu Kerangka Konseptual”. Jakarta: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi, vol.24 No.1.Pusat Penelitian dan pengembangan Arkeologi Nasional.

———————. 2008. Resolusi Konflik dalam Manajemen Warisan Budaya Situs Sangiran. Disertasi Universitas Indonesia belum diterbitkan.

———————. 2009. ”Warisan Dunia Situs Sangiran, Persepsi Menurut Penduduk Sangiran”. Wacana, Jurnal Ilmu Pengetahaun Budaya, Vo.11, No.1. Jakarta: Yayasan Obor.

Sutaba, I Made. 2000. “Manfaat Arkeologi dalam Pemberdayaan Masyarakat pada Milinium Ketiga”, Seri Penerbitan Forum Arkeologi, No. II/November 2000.

Tanudirjo, Daud Aris. et al. 1993/1994. Laporan Penelitian Kualitas Penyajian Warisan Budaya Kepada Masyarakat. Studi Kasus Manajemen Sumber Daya Budaya Candi Borobudur. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Studi Sosial Universitas Gadjah Mada.

Rudito, Bambang. 2004. Guide Book On Community Development In Energy and Mineral Resources Sector. Jakarta: Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral.

Wibisono C Sonny, 2004. Nilai Budaya Ragam Hias Gerabah pada Batik Banten. Makalah dipresentasikan pada peluncuran Batik Banten di Cilegon 2004.


Tinggalkan komentar

Kategori