Oleh: hurahura | 5 Maret 2015

Penelusuran Beberapa Fragmen Prasasti Paṇḍān di Rumah Penduduk

Pandan-001Foto 1: Prasasti Paṇḍān dalam kondisi fragmentaris di Museum Majapahit. (Dok. Yoga Agastya)

Abstrak: Prasasti sebagai sumber tekstual ketika ditemukan tidak semuanya dalam keadaan utuh. Beberapa di antaranya dalam keadaan fragmentaris. Terdapat sebab-sebab tertentu dalam pecahnya sebuah prasasti. Salah satu prasasti yang ditemukan dalam keadaan fragmentaris adalah Prasasti Paṇḍān yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga. Prasasti tersebut ditemukan di Desa Pandankrajan, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Meskipun hanya berupa fragmen, namun artefak tersebut pernah menjadi bagian yang utuh dari sebuah prasasti. Oleh karena itu menjadi sangat penting untuk menganalisis beberapa kata dan kalimat yang masih terbaca pada fragmen prasasti tersebut.

Kata Kunci: Fragmen, Prasasti Paṇḍān, Raja Airlangga

Abstract: Inscription as a textual source when it was discovered not all to intact. Some have been found in a fragmentary condition. There are certain reasons in the outbreak of an inscription. One of the inscriptions found in a fragmentary is inscription of Paṇḍan which issued by King Airlangga. Located discovery that inscription in the village of Pandankrajan, District Kemlagi, Mojokerto Regency. Although only a fragment, but the artifacts ever become an integral part of an inscription that can not be separated. Therefore, it becomes very important to analyze some words and sentences can still be read on the inscription fragments.

Keywords: Fragment, Inscription of Paṇḍan, The King Airlangga

Menelusuri jejak sejarah merupakan pengalaman yang menarik bagi seorang akademisi bidang sejarah maupun arkeologi. Hal ini bertujuan untuk menemukan jatidiri dengan menggali nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa Indonesia melalui tinggalan arkeologi sebagai wujud dari kebudayaan masa lalu. Salah satu tinggalan arkeologi yang paling menarik untuk dijadikan kajian adalah prasasti. Prasasti merupakan maklumat yang berisi perintah, pernyataan, pujian, putusan dari seorang raja, keluarga raja, maupun pejabat tinggi lainnya (Sukendar dkk, 1999:193). Mayoritas isi dari sebuah prasasti dari masa Jawa Kuno berkaitan dengan pemberian status pada sebuah daerah tertentu menjadi daerah sima (perdikan) maupun peristiwa-peristiwa lainnya yang berhubungan dengan aktivitas keagamaan di tempat-tempat karesyan atau maṇḍala kadewaguruan. Masing-masing raja dari masa Jawa Kuno mulai dari Kerajaan Mataram Kuno abad VIII hingga Kerajaan Majapahit abad XIV Masehi, mayoritas mengeluarkan prasasti sebagai bukti kebesaran dari masa pemerintahannya.

Pengeluaran prasasti sebagai bukti kebesaran dalam masa pemerintahan juga pernah dilakukan oleh Raja Airlangga yang menduduki takhta pemerintahan di Jawa bagian Timur abad XII, yaitu dari tahun 941-964 Saka (1019-1041 Masehi). Jumlah prasasti yang pernah dikeluarkannya selama masa pemerintahan dan yang hingga saat ini telah ditemukan berjumlah 33 prasasti, lima terbuat dari tembaga (tambra prasasti) dan 28 terbuat dari batu (upala prasasti). Semua prasasti tersebut pernah dikaji oleh Susanti (2010:263) sebagai bahan disertasinya di Universitas Indonesia yang berjudul “Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI”. Dari 28 jenis prasasti batu (upala prasasti) yang disebutkan di atas, salah satunya adalah Prasasti Paṇḍān.

Prasasti Paṇḍān ditemukan di Desa Pandankrajan, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Prasasti ini terbuat dari batu andesit. Saat ini prasasti tersebut berada di Museum Majapahit. Kondisi prasasti sangat memprihatinkan karena sudah hancur berkeping-keping berupa fragmen-fragmen kecil dan besar. Beberapa bagian dari fragmen tersebut telah hilang. Hal ini menyebabkan penelitian terhadap prasasti tersebut tidak dapat dilakukan secara cepat, namun membutuhkan rasa kesabaran yang cukup tinggi untuk menemukan arti dalam setiap kata dan kalimat di setiap fragmennya. Salah satu ahli yang pernah mengkaji mengenai fragmen dari Prasasti Paṇḍan adalah Damais (1992:146-149), yang dalam hasil penelitiannya berhasil mengungkap beberapa kalimat yang terdapat pada prasasti tersebut, yaitu:

(1) “…. swasti śakawarsāt/i/ta 964 āā ….”.
(2) “…. /nak/satra. Bāsudewatā. Sa ….”.
(3) “…. oirikā diwasa ny ā/jaā sri ma/harāja rake halu sri lokéswara/dharmma waṅśa airlangānatawikramottungadewa/…. (6)”.
(4) “…. mantri i hino sri samarawijaya suparnawa …. tungadewa”.
(5) “…. kura kumonaken) ramanta i pandān) sapara ….”.
(6) “…. sambandha, rāmanta i pandān) sapasu ….”.

Berdasarkan isi kalimat yang dipaparkan oleh Damais dalam artikelnya di atas, ternyata kajiannya terbatas pada bagian pertanggalan prasasti saja. Hasil kajiannya menyebutkan bahwa N.J. Krom adalah orang yang pertama kali mengkaji dan menyebutkan angka tahun pada prasasti ini antara 959 atau 964 Saka. Sepuluh tahun kemudian van Stein Callenfels lebih membacanya 959 Saka (1037 Masehi). Selanjutnya Damais dengan pertimbangan angka yang sedikit rumit tersebut menghasilkan pendapat bahwa bahwa Prasasti Paṇḍan dikeluarkan pada 964 Saka (1042 Masehi) bukan 959 Saka (1037 Masehi), seperti yang disebutkan oleh van Stein Callenfels sebelumnya. Mengenai tanggal dikeluarkannya prasasti tersebut, Damais mengatakan kemungkinan antara tanggal 20 Juni dan 19 Juli, atau diduga sekitar 10 Juli 964 Saka (1042 Masehi). Memang kondisi tulisan dalam fragmen prasasti yang tidak lengkap membuat analisis pertanggalan tersebut tidak dapat dipaksakan dengan sempurna.

Selanjutnya rekonstruksi terhadap bentuk prasasti pernah dilakukan oleh mahasiswi Universitas Indonesia, Clara Agustin (2010), dalam skripsinya yang berjudul “Prasasti Paṇḍān 964 Śaka: Rekonstruksi Bentuk dan Isi”. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa pada bagian depan (recto) berisi tentang maŋilala drabya haji (petugas penarik pajak), sukhaduka (perbuatan pidana yang dikenai denda), dan kemungkinan nama orang atau tempat. Pada bagian belakang (verso) tidak dapat diketahui isinya karena permukaannya banyak yang aus. Pada bagian kanan juga tidak dapat diketahui isi karena yang terbaca hanya sepengggal huruf atau kalimat. Kemudian pada bagian kiri yang paling menarik ditemukan kalimat “rāmanta i Paṇḍān”. Berdasarkan hasil rekonstruksi alih aksara, Agustin menyatakan bahwa prasasti tersebut berisikan tentang penetapan Sima (perdikan) di daerah yang bernama “Paṇḍān”, karena di dalamnya memuat formula prasasti sima. Karena masih banyak permasalahan dari alih aksara pada Prasasti Paṇḍan, maka Agustin menyarankan adanya penelitian lanjutan dengan mencari fragmen yang hilang, mengalihbahasakan, serta mengupas catatan sejarah yang terdapat dalam prasasti tersebut dan mengaitkannya ke dalam historiografi sejarah Indonesia Kuno.

Pada tanggal 11 Mei 2014 penulis bersama teman-teman Komunitas Jawa Kuno (KOJAKU) menuju lokasi tempat ditemukannya Prasasti Paṇḍan di Desa Pandankrajan, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto. Saat berada di lokasi, para penduduk mengatakan bahwa watu tulis (batu tulis) sudah tidak ada di situ lagi. Ibu Parmi yang rumahnya berada di sebelah barat lokasi bekas ditemukannya Prasasti Paṇḍan menunjukkan satu fragmen berukuran kecil. Selanjutkan Pak Tubi yang rumahnya berada di sebelah barat lokasi tersebut juga menunjukkan satu fragmen kecil yang telah disimpannya selama ini. Mereka menemukan secara tidak sengaja ketika menyapu di halaman depan rumahnya. Saat berada di lokasi tersebut dapat ditemukan dua fragmen Prasasti Paṇḍan. Prasasti tersebut memang sudah tidak berada di lokasi tempat ditemukannya, karena sejak penelitian yang dilakukan oleh Damais sekitar tahun 1952 keberadaannya dipindah ke Museum Mojokerto (sekarang Museum Majapahit).

Selanjutnya mereka mengatakan bahwa ada orang bernama Pak Prayitno juga menyimpan banyak potongan watu tulis (batu tulis), rumahnya berada di depan masjid desa setempat. Saat mendatangi rumah beliau, kami disambut dengan baik. Ternyata fragmen prasasti yang disimpan oleh Pak Prayitno berjumlah lima buah, dua di antaranya berukuran besar. Beliau mengatakan kelima fragmen tersebut sudah ada di rumah tersebut sejak orang tuanya masih hidup. Jadi kelima fragmen tersebut sudah lama berada di rumah beliau. Dengan demikian dalam penelusuran tersebut berhasil didapatkan tujuh fragmen Prasasti Paṇḍān yang sekarang tersimpan di rumah penduduk yang menemukannya. Pada waktu sore menjelang malam itu juga kegiatan dokumentasi awal dan penyalinan huruf-huruf yang terdapat pada fragmen-fragmen prasasti tersebut tetap dilanjutkan karena ternyata isi yang terdapat dalam ketujuh fragmen tersebut merupakan bagian-bagian penting dan masih dapat dikenali pada sebuah prasasti.

Fotopandan-02Penelusuran selanjutnya dilaksanakan pada 6 Desember 2014 dan ketika itu ada tamu komunitas yang bernama Yoga Agastya yang datang bersama Firza dari Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia yang ingin juga meneliti isi dari prasasti tersebut sebagai bahan untuk penulisan skripsinya. Pada hari itu bersama anggota komunitas yang di antaranya Ahmad Sirozul Munir dan Ridho Anugrah Pratama dari Universitas Negeri Malang (UM) serta didampingi oleh Mambo dan kawan-kawan lainnya, kami kembali melakukan survei ke lokasi tersebut.

Pada survei tersebut ternyata ketujuh fragmen masih tersimpan dengan baik di rumah penduduk yang menemukannya. Selanjutnya yang kami lakukan adalah dokumentasi ulang serta mengamati ulang dengan cermat bagian-bagian fragmen dari Prasasti Paṇḍān yang masih terbaca. Hal ini dilakukan untuk mengetahui terjemahan dari kata dan kalimat yang terdapat pada beberapa fragmen prasasti tersebut. Namun hasil pembacaan yang dilakukan hanya sebagian kecil dari keseluruhan isi kata dan kalimat yang ada dalam Prasasti Paṇḍan. Hal ini disebabkan adanya ketidaklengkapan kata dan kalimat pada masing-masing fragmen tersebut, serta terdapatnya bagian-bagian yang terpotong dan beberapa yang telah aus.

Dengan demikian, yang dapat dilakukan adalah hanya membaca dan menafsirkan beberapa kata dan kalimat yang masih bisa dibaca. Selanjutnya untuk mengetahui kelengkapan kata maupun kalimat juga akan dilakukan perbandingan dengan isi kalimat dari beberapa prasasti-prasasti tertentu. Meskipun hanya berupa fragmen, namun penelitian terhadap ketujuh fragmen tersebut sangat penting. Hal ini mengingat bahwa fragmen tersebut pernah menjadi satu bagian yang utuh dari sebuah prasasti, selain itu prasasti sendiri juga merupakan sumber data tekstual yang sangat otentik dan berkaitan dengan peristiwa sejarah masa Jawa Kuno. Pada pembahasan ini akan diuraikan alasan pengeluaran Prasasti Paṇḍan serta pecahnya ketika ditemukan.


A. Paparan Data

Fragmen Prasasti Paṇḍān yang berhasil ditemukan dalam penelusuran tersebut berjumlah tujuh buah. Dalam mempermudah pemaparan hasil penelitian, maka diberikan kode untuk masing-masing fragmen tersebut. Temuan fragmen yang berada di rumah Ibu Parmi dan Bapak Tubi diberikan kode fragmen I dan II. Selanjutnya kelima fragmen temuan yang ada di rumah Bapak Prayitno diklasifikasikan dari ukuran yang terbesar hingga yang terkecil diberikan kode fragmen III-VII. Berikut ini adalah hasil pembacaan dari masing-masing fragmen tersebut.


1. Fragmen I

Fotopandan-03Fragmen ini berukuran tinggi 7 cm dan lebar 9 cm. Tulisan yang terlihat berjumlah 2 baris, yaitu baris pertama hanya terbaca: “_ḍān”. Diduga kata tersebut lengkapnya berbunyi “(paṇ)ḍān” seperti yang terdapat pada fragmen tiga dan fragmen lainnya dalam hasil-hasil penelitian terdahulu yang sudah diuraikan pada pendahuluan di atas. Kata tersebut lebih menunjuk pada nama desa yang diberikan status sima (perdikan) yang disebutkan dalam prasasti. Baris kedua berbunyi: “…pūrwarêṇa ri…”, yang artinya “…telah terikat hutang terima kasih (hutang budi) kepada…”(Zoetmulder,1982:888 & 939).


2. Fragmen II

Fotopandan-04Fragmen ini berukuran tinggi 14 cm dan lebar 9 cm. Tulisan yang terlihat berjumlah dua baris, baris pertama hanya terbaca “_manta”, tanpa adanya kalimat lanjutan di depannya. Berdasarkan perbandingan dengan tulisan yang terdapat pada fragmen tiga, tulisan pada baris pertama tersebut lengkapnya berbunyi “(rā)manta”, yang artinya ketua atau kepala desa” (Zoetmulder,1982:913). Baris kedua hanya terbaca: “ … rahêng. sa …”, namun kata tersebut belum dapat diketahui artinya.


3. Fragmen III

Fotopandan-05Fragmen ini merupakan yang paling besar yang ditemukan dalam penelusuran tersebut, dengan ukuran tinggi 27 cm dan lebar 24 cm. Tulisan yang terlihat berjumlah enam baris, yaitu baris pertama terbaca: “… mara ya ri tgal sambar rêna glap. sampa…” yang artinya “pergi ke sawah menjadi korban tersambar petir”. Sebenarnya terdapat kalimat lagi di depan kalimat yang lengkap tersebut, namun yang terbaca hanya kata “sampa …”. Berdasarkan perbandingan dengan prasasti lain khususnya yang berkaitan dengan sapatha (kutukan), diduga lengkapnya kalimat tersebut yaitu “sampalan ing rākṣasa”, yang artinya dipotong oleh raksasa. Hal ini seperti dijumpai dalam Prasasti Sangguran (846 Saka/924 Masehi) (Brandes, 1935:47). Selanjutnya baris kedua terbaca: “…ṣrī mahārāja i rāmanta i paṇḍā(n)…”, yang artinya “…Sri Maharaja kepada kepala (pemimpin) Desa Paṇḍān…”. Baris ketiga terbaca “…sti kaki aṣri mwang kaki jalug. ka…” yang artinya lebih merujuk pada penyebutan nama tokoh-tokoh tertentu, yaitu kakek Aṣri dan kakek Jalug. Baris keempat terbaca ”…5 tum(tug) kwehan para….”, yang dapat diartikan hanya pada kata “kwehan para” yang berarti banyaknya mereka. Baris kelima terbaca ”…da para wanigrama bānigramê….”, yang artinya para persekutuan atau perserikatan pedagang….” (Zoetmulder,1982). Baris keenam hanya terbaca”… jut keon nu….”, namun kata tersebut belum dapat diketahui artinya.


4. Fragmen IV

Fotopandan-06Fragmen ini berukuran tinggi 8 cm dan lebar 20 cm. Tulisan yang dapat terlihat berjumlah dua baris. Sebenarnya tiga baris, namun yang paling bawah hanya terlihat satu sandangan, yaitu antara ulu dan pêpêt saja, karena tulisan aksaranya telah hilang. Baris pertama berbunyi “…bhatarā ma…”. Kata yang dapat diartikan hanya “bhatarā”, yang diduga merujuk pada penyebutan nama dewa atau tokoh tertentu yang dihormati misalnya raja dan brahmana (Zoetmulder, 1982:114). Sayangnya huruf terakhir kurang dapat dibaca karena terlihat bagian atasnya saja. Huruf tersebut terbaca antara “ra” dan “na”. Kalau misalkan kata yang terakhir tersebut terbaca “ma(ra)”, maka lengkapnya “bhatarā mara”, yang artinya adalah dewa kematian. Baris kedua berbunyi, “…ntartanalena…”, namun tulisan tersebut masih belum dapat diketahui artinya. Baris ketiga hanya terlihat tanda sandangan antara ulu dan pêpêt saja, namun tulisan aksaranya tidak terlihat sama sekali.


5. Fragmen V

Fotopandan-07Fragmen ini berukuran tinggi 10 cm dan lebar 15 cm. Tulisan yang dapat terlihat berjumlah tiga baris.

Baris pertama berbunyi “…hya(ŋ) camā(_)ka…”,, namun yang dapat diartikan kata “hya(ŋ)” saja, yang berarti “dewa atau dewi” (Zoetmulder,1982:373). Baris kedua berbunyi “…hidu kasirat…” yang artinya “meludahi orang lain” (Susanti:2010:62). Baris ketiga berbunyi”…halra ri….”, namun kata tersebut belum dapat diketahui artinya.


6. Fragmen VI

Fotopandan-08Fragmen ini berukuran tinggi 6 cm dan lebar 6,5 cm. Tulisan yang dapat dilihat sebenarnya berjumlah tiga baris, namun yang terlihat jelas hanya pada baris kedua. Baris pertama hanya terlihat sandangan pêngkal, namun tulisan aksaranya tidak terlihat sama sekali. Baris kedua berbunyi “…hastacapa(la)…” yang dapat diartikan “memukul dengan tangan” (Susanti:2010:62). Selanjutnya baris ketiga terlihat sandangan ulu dan cakra saja, namun tulisan aksaranya tidak terlihat sama sekali.


7. Fragmen VII

Fotopandan-09Fragmen ini berukuran tinggi 11,5 cm dan lebar 8 cm. Tulisan yang dapat terlihat berjumlah 3 baris. Baris pertama terbaca “…manatu…”, namun tulisan ini belum dapat diketahui artinya. Baris kedua berbunyi “…swatantra…” yang dapat diartikan kemerdekaan untuk mengelola pajaknya sendiri (Zoetmulder, 1985:1171). Baris ketiga hanya terlihat dua huruf yang kurang lengkap dan dua sandangan, yaitu cakra yang hanya terlihat atasnya di sebelah kanan aksara serta ulu di sebelah kiri aksara.


B. Analisis Penelitian

Tipe dan gaya penulisan aksara dari ketujuh fragmen prasasti di atas sama seperti prasasti-prasasti Raja Airlangga, antara lain Prasasti Kamalagyan (959 Saka/1037 Masehi), Prasasti Turun Hyang, serta beberapa fragmen dari Prasasti Paṇḍān (964 Saka/1042 Masehi). Lokasi ditemukannya ketujuh fragmen tersebut di Desa Pandankrajan, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto yang berdasarkan laporan dari Damais (1992:146) memang merupakan lokasi tempat ditemukannya Prasasti Paṇḍān. Dari kegiatan penelusuran tersebut, informasi lisan dari para penduduk setempat menyatakan bahwa lokasi ditemukannya prasasti tersebut hingga saat ini masih dinamakan dengan watu tulis (batu tulis). Meskipun sebagian besar fragmen Prasasti Paṇḍān telah dipindahkan dari desa tersebut dan sudah ada di Museum Majapahit sampai penelitian yang dilakukan oleh Damais tahun 1952, namun cerita mengenai keberadaan watu tulis (batu tulis) yang tidak lain adalah Prasasti Paṇḍān tetap ada di dalam benak masyarakat setempat dan diwariskan turun-temurun. Selanjutnya bukti yang menguatkan lagi bahwa di daerah tersebut merupakan tempat ditemukannya watu tulis (batu tulis) dalam benak mereka, yaitu masih ditemukannya fragmen-fragmen yang belum ikut terpindahkan ke Museum Majapahit dan telah ditemukan oleh penduduk secara tidak sengaja yang dalam penelusuran ini berjumlah tujuh buah.

Menarik untuk diketahui dalam penelusuran ini adalah nama toponim “Pandankrajan” yang menjadi nama desa setempat yang ternyata masih sama dengan nama kunonya yang telah disebutkan di dalam prasasti, namun terdapat penambahan kata “Krajan” di belakang kata “Pandan”. Kata “Krajan” lebih dekat dengan istilah “Kuwu”, yang lebih menunjuk pada sebuah wilayah yang tidak seluas watak, namun diduga luasnya di atas luas daerah desa atau thani (Suwardono, 2013:111). Dalam Prasasti Turun Hyang B, pada baris kelima dalam daftar penerima pasêk-pasêk (hadiah-hadiah) terdapat kata “kuwu i Panḍan”, yang dalam hal ini tidak lain adalah daerah Desa Paṇḍān, meskipun penulisannya sedikit berbeda dengan penulisan yang terdapat dalam Prasasti Paṇḍān yang pada saat itu perwakilannya juga ikut hadir di dalam upacara penatapan sima di daerah Thani Turun Hyang dan masuk daftar penerima pasêk-pasêk (hadiah-hadiah). Dengan demikian dapat diketahui bahwa nama toponim “Pandankrajan” merupakan perkembangan dari nama kunonya yaitu “kuwu i Panḍan” seperti yang tertulis dalam Prasasti Turun Hyang B. Lokasi penemuan Prasasti Turun Hyang berada di Desa Truneng, Kecamatan Kemlagi, Kabupaten Mojokerto di sebelah timur yang tidak terlalu jauh dari Desa Pandankrajan sebagai lokasi tempat ditemukannya Prasasti Paṇḍān. Menurut Susanti (2010:43) nama toponim “Truneng” sebagai nama desa tempat ditemukannya Prasasti Turun Hyang merupakan perkembangan dari istilah yaitu “Turun Hyang”. Dengan demikian dapat diketahui bahwa Kuwu Paṇḍān dan Thani Turun Hyang letaknya tidak terlalu jauh dan sangat berdekatan.

Tulisan “Paṇḍān” terdapat pada fragmen satu dan tiga. Dalam kamus Jawa Kuno (Zoetmulder, 1982:743), nama tersebut menunjuk pada nama jenis tumbuhan dari genus “pandanus”. Jenis tumbuhan pandan yang banyak tumbuh di daerah Desa Pandankrajan adalah pandan berduri yang banyak hidup di sekitar aliran sungai dekat persawahan. Menurut Pak Prayitno seorang petani yang juga penyimpan lima fragmen Prasasti Paṇḍan, masyarakat desa setempat dahulu sering menggunakan daun pandan berduri untuk diolah menjadi tikar pandan. Namun sejak tahun 1999 pembuatan tikar pandan tersebut sudah tidak ada lagi. Dari keterangan tersebut dapat diketahui pengambilan nama tumbuhan pandan menjadi nama daerah tidak hanya karena tumbuhan tersebut banyak tumbuh di kawasan tersebut, akan tetapi juga memiliki fungsi dalam kehidupan masyarakat yang diduga hal tersebut sudah ada sejak masa lalu.

Dengan demikian nama “Paṇḍān” berasal dari nama tumbuhan yang hidup dan banyak ditemukan di daerah tersebut. Hal ini tidak aneh karena di daerah desa tersebut banyak ditemukan sumber mata air, sedangkan tumbuhan pandan banyak hidup pada wilayah yang berair. Seperti halnya nama “Kemlagi” yang menjadi nama kecamatan di mana Desa Pandankrajan berada. Dalam kamus Jawa Kuno, nama tersebut berasal dari kata “kamalagi” yang berarti buah asam (Zoetmulder, 1982:448), jadi pada masa Jawa Kuno di daerah tersebut banyak ditumbuhi pohon asam, yang khususnya berfungsi sebagai bahan jamu-jamuan.

Secara umum nama toponim dari suatu wilayah berdasarkan nama tumbuhan, hewan, keadaan geografi, serta peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di daerah tersebut. Dari nama tumbuhan, misalnya Desa Mojo, Jeruk, Pandan, Kemlagi, dan Kemuning. Dari nama hewan misalnya Desa Macanan, Manukan, dan Manyaran. Dari keadaan geografi daerah tersebut misalnya Desa Kedung, Balong, Wana, Giri, dan Parang. Dari nama kelompok sosial yang pernah hidup di di daerah tersebut misalnya Kemasan, Pandean, Pecinan, dan Kauman.

Pada fragmen kedua disebutkan istilah “rāmanta” yang berarti gelar untuk ketua atau pemimpin daerah desa atau wanwa yang dalam menjalankan tugasnya dibantu beberapa pejabat tingkat desa yang lainnya. Hal ini membuktikan bahwa Kuwu Paṇḍān diduga merupakan wilayah setingkat desa atau wanwa yang pada masa tersebut telah menjadi bagian dalam birokrasi pemerintahan Kerajaan Kahuripan yang dipimpin oleh Raja Airlangga. Pada masa Jawa Kuno wanwa atau desa merupakan struktur birokrasi kedua setelah wilayah thani. Kumpulan dari beberapa wanwa atau desa yaitu daerah watêk yang dipimpin oleh pejabat yang bergelar rakryan. Pejabat tersebut masih merupakan kerabat dari raja yang memerintah. Selanjutnya struktur birokrasi yang paling atas langsung dibawah naungan kerajaan (rajya) yang dipimpin oleh seorang raja dan dibantu mantri beserta pejabat-pejabat lainnya.

Adanya istilah “swatantra” yang ditemukan pada fragmen tujuh membuktikan bahwa Desa Paṇḍān pada masa Jawa Kuno merupakan suatu daerah yang diberikan hak kemerdekaan untuk mengelola pajaknya sendiri (Zoetmulder, 1985:1171). Pemberian hak tersebut seperti kalimat yang terdapat pada fragmen tiga yang intinya berisi pemberian sri maharaja kepada kepala desa paṇḍan (ṣrī mahārāja i rāmanta i paṇḍā[n]). Kalimat “rāmanta i paṇḍān seperti yang terdapat pada fragmen tiga tersebut juga ditemukan pada beberapa fragmen Prasasti Paṇḍān yang lainnya, di antaranya pada baris lima dan enam dari fragmen Prasasti Paṇḍān yang pernah dibaca oleh Damais (1992:147), Agustin (2010:128) pada baris ke-18 pada sisi kiri bagian belakang. Dengan demikian mengenai sambandha, yaitu sebab-sebab suatu wilayah mendapatkan anugrah sima (Zoetmulder, 1982:1000) pada fragmen prasasti ini belum dapat diketahui secara jelas karena tidak ditemukan kalimat yang secara lengkap berkaitan dengan sebab-sebab daerah tersebut mendapatkan anugerah sima. Namun hal ini dapat dikorelasikan dengan prasasti yang sezaman yang ditemukan terdekat dengan daerah Desa Pandankrajan yaitu Prasasti Turun Hyang yang ditemukan di Desa Truneng sebelah timur Desa Pandankrajan.

Prasasti terbagi menjadi dua, yaitu Turun Hyang A dan Turun Hyang B. Turun Hyang A berisi tentang anugrah yang diberikan oleh Raja Airlangga kepada daerah Thani Turun Hyang untuk kebutuhan perawatan sebuah bangunan suci yang bernama Sriwijayāsrama sebagai tanda kesempurnaan kepada Sang Hyang Sarwwadharma menjadi sebuah bangunan suci bagi sang ratu cakrawartin (Airlangga) sebagai tanda tidak ada lagi musuh-musuh raja (“…sima marisira sampun pwa labdha prayojana śri mahārāja an huwus tan hana śatru…”) (Brandes, 1913:143). Diduga bangunan yang dimaksud dalam prasasti tersebut berhubungan dengan sebuah monumen kemenangan Raja Airlangga. Selanjutnya Prasasti Turun Hyang B berisi mengenai pemberian anugerah tambahan putra Airlangga yang bernama Raja Mapanji Garasakan karena jasa-jasanya dalam membantunya selama peperangan melawan Haji Panjalu (Susanti, 2010:53 & 198). Berdasarkan isi dari Prasasti Turun Hyang A dan B, status sima tersebut diberikan atas balas jasa raja kepada penduduk Thani Turun Hyang karena kesetiaannya dalam membantu raja mengalahkan musuh-musuhnya, dan kemudian karena masih setia membantu keturunan Raja Airlangga yang bernama Raja Mapanji Garasakan, maka daerah Thani Turun Hyang mendapatkan anugerah kembali pada masa Raja Mapanji Garasakan. Jadi daerah Thani Turun Hyang pernah dua kali mendapatkan anugerah sima dari Raja Airlangga dan dari anaknya yang bernama Raja Mapanji Garasakan.

Tahun pengeluaran Prasasti Paṇḍān terdapat pada bagian awal, dahulu pernah dibaca oleh Damais (1992:146) adanya angka tahun 964 Saka atau 1042 Masehi yang merupakan masa akhir dari pemerintahan Raja Airlangga. Selanjutnya pada fragmen satu dari temuan ketujuh fragmen di atas ditemukan tulisan “…pūrwarêṇa ri…”, yang artinya “…telah terikat hutang terima kasih (hutang budi) kepada…”. Kalimat tersebut sering muncul dalam prasasti-prasasti lain sebagai kalimat ucapan terima kasih raja kepada masyarakat desa yang diberikan status sima karena berjasa kepadanya, terutama saat mereka membantu raja dalam mengalahkan musuh. Namun bedanya terkadang penggunaan vokal “w” ditulis ganda. Hal ini misalnya terdapat dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 Masehi) dari masa Kerajaan Paŋjalu dibawah pemerintahan Raja Jayabhaya, yang berbunyi “(13) “….rwawlas thāni satata suṣṭubhakti mamrih ri pagêha ṣrī mahārāja ri maṇiratnasinghāsana makawyakti ri pamwatakênya ri cañcu tan pamusuḥ mwang cañcu rāgadaha muwaḥ ri kāla ni panuwal kewalāpagêh ya pakṣa jayabhaya yatāgawe purwwarêṇa kāraṇanyan inubhaya sanmata panghyangnya de ṣrī mahārāja…”(Brandes, 1913:156), yang artinya “….dua belas daerah thani yang dengan terus-menerus menaruh kesetiaan berupaya untuk menjaga kekokohan tahta ṣrī mahārāja di singgasana permata merupakan bukti tindakan mereka melakukan kesiapsiagaan meskipun tidak ada musuh serta melakukan segala persiapan untuk melakukan penyucian diri meskipun serta dalam kondisi bebas (vakum) tetap mengabdikan diri untuk menjaga kekokohan (pemerintahan) itulah yang membuat Raja Jayabhaya berhutang budi itulah sebabnya permohonan mereka dapat dikabulkan oleh ṣrī mahārāja… (Wardhani, 1980:54) ”. Prasasti Jaring (1103 Saka/1181 Masehi) dari masa Kerajaan Paŋjalu dibawah pemerintahan Raja Ṣrī Gandra, yang berbunyi “(10)…. mangkana yatāndadyakên pūrwwa rêṇa samasama ri manah ṣrī mahārāja matangyan inubhayan sanmata panghyang nikang duhan i jaring de pāduka ṣri mahārāja….(Brandes,1913:165)”, yang artinya “…. demikianlah yang menjadikan adanya hutang budi mereka yang mengabdi kepada ṣrī mahārāja itulah sebabnya dapat disetujui permohonan mereka yang berada di daerah Jaring oleh baginda ṣri mahārāja….”.

Berdasarkan perbandingannya dengan prasasti dari Kerajaan Paŋjalu di atas, maka diduga secara lengkap kalimat tersebut berisi ucapan terima kasih dari Raja Airlangga kepada jasa dari masyarakat Paṇḍān yang telah membantunya dalam mengalahkan para musuh raja. Hal ini juga dikuatkan dengan isi Prasasti Turun Hyang. Diduga masyarakat Paṇḍān tersebut mendapatkan anugerah sima karena telah membantu raja dalam mengalahkan musuh-musuhnya seperti yang dilakukan oleh masyarakat Turun Hyang. Hal ini menujukkan adanya jiwa bela negara yang ditunjukkan oleh penduduk Paṇḍān dan Turun Hyang pada masa lalu. Karena itulah pemberian status sima swatantra kepada wilayah Paṇḍān pada masa lalu disebabkan selama mengalami masa peperangan, penduduk Desa Paṇḍān bersedia membantu Raja Airlangga dalam mengalahkan musuh-musuhnya.

Pada fragmen yang ditemukan juga terdapat kalimat yang merupakan bagian dari sukhaduhka, yaitu perbuatan pidana yang dikenai denda dan ketentuan pajak pada sebuah wilayah yang diberikan status sima. Hal ini merupakan pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar dan apabila dilanggar akan mendapatkan denda. Pantangan tersebut terdapat pada fragmen lima yang berbunyi “hidu kasirat”, berarti meludahi orang lain. Selanjutnya juga ada dalam fragmen VI yaitu ”hastacapa(la)”, berarti memukul orang lain dengan tangan (Susanti, 2010:58 & 62).

Terakhir yang dapat diketahui dari fragmen-fragmen di atas yaitu sapatha yang merupakan kutukan, sumpah, atau janji (Zoetmulder, 1982:1032). Hal ini disebutkan pada fragmen ketiga yang berbunyi ”maraya ri tgal sambar rêna glap sampa” yang berarti kalau pergi ke sawah akan menjadi korban tersambar petir. Diberikannya kutukan-kutukan tersebut bertujuan agar perintah raja dapat dipatuhi oleh semua kalangan masyarakatnya khususnya para petugas penarik pajak pada masa Jawa Kuno dengan sebutan mangilala dṛwyahaji yang jumlahnya banyak sekali. Mereka dilarang untuk memasuki wilayah yang telah berstatus sima, apalagi berstatus sima swatantra yang sebagian besar pajaknya dapat dikelola untuk kemajuan desa yang bersangkutan. Jadi desa sima pada masa Jawa Kuno adalah wilayah yang sakral dalam konsep religius atau keagamaan, serta wilayah yang istimewa dalam kaitannya dengan perekonomian.

Meskipun telah dapat diketahui adanya keterangan-keterangan yang menarik dari fragmen-fragmen di atas, namun alasan pecahnya prasasti tersebut juga harus ditelusuri. Menurut Santiko (2010:31) pecahnya prasasti, khususnya dari masa Airlangga ada dua kemungkinan, yaitu karena ulah manusia dan alam. Mengenai pecahnya Prasasti Paṇḍān kemungkinan karena ulah manusia. Hal ini dapat terlihat dari potongan fragmen yang kecil-kecil namun hurufnya masih jelas terbaca. Diduga prasasti tersebut pecah dengan cara dipukul. Namun juga bisa pecah karena alam, karena bahan yang digunakan adalah batuan andesit yang keras namun mengandung celah-celah atau urat air di dalamnya, sehingga batu tersebut terbelah dengan sendirinya.

Sementara itu Munandar (2012) menyatakan bahwa prasasti-prasasti masa pemerintahan Airlangga banyak ditemukan dalam kondisi pecah yang berada di wilayah Lamongan, pegunungan di sebelah selatan Lamongan, serta Jombang bagian utara. Karena daerah tersebut merupakan tempat pengembaraan, jelajah, serta tempat pertempuran dari Raja Airlangga dengan para musuh-musuh yang menentangnya. Sedangkan letak dari daerah Paṇḍān yang sekarang menjadi Desa Pandankrajan berada di daerah pegunungan perbatasan Mojokerto dan Lamongan. Dengan demikian dapat diduga pecahnya Prasasti Paṇḍān disebabkan adanya peperangan pasca turunnya Airlangga dari takhta pemerintahan yang terjadi di kawasan tersebut meskipun telah ada pembagian kekuasaan menjadi dua, yaitu Jenggala dan Paŋjalu (Hardiati dkk, 2010: 280-281). Konflik antara keturunan Airlangga dengan keturunan Dharmawangsa Tguh yang menentang pemerintahan Airlangga menyebabkan adanya antipati terhadap monumen-monumen prasasti yang berisi penetapan sima atas perintah Raja Airlangga. Mereka melakukan penghancuran terhadap prasasti-prasasti tersebut untuk menghilangkan jejak-jejak kejayaan raja yang sebelumnya mereka agung-agungkan. Oleh karena itulah baik Prasasti Paṇḍān maupun Turun Hyang keadaannya rusak karena berada di kawasan tempat terjadinya peperangan tersebut, dan untuk Prasasti Paṇḍān ini yang paling parah kerusakannya hingga bagian-bagiannya tercecer dan ada yang telah hilang. Peristiwa itulah yang diduga menjadi penyebab pecahnya Prasasti Paṇḍān hingga berkeping-keping.

Masih banyak permasalahan yang membutuhkan penelitian-penelitian baik arkeologi maupun sejarah. Tulisan ini diharapkan akan sedikit membantu dalam mengungkap eksistensi dari daerah Kecamatan Kemlagi pada masa lalu sebagai wilayah sima (perdikan) masa akhir pemerintahan Raja Airlangga abad XI Masehi.


C. Penutup

Berdasarkan analisis penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa fragmen-fragmen tersebut memang merupakan bagian dari Prasasti Paṇḍan. Hal ini dibuktikan dengan adanya bagian-bagian yang berisi tentang nama “Paṇḍān” sebagai nama desa yang mendapatkan anugerah sima beserta kepala atau ketua desanya dengan sebutan “rāmanta”. Selanjutnya salah satu, yaitu fragmen satu diduga berisi tentang sambandha (sebab suatu daerah dijadikan sima) yang diduga sebab daerah Paṇḍān mendapatkan anugerah sima karena bersedia dalam membantu Raja Airlangga dalam mengalahkan musuh. Terdapat juga fragmen yang berisi tentang sukhaduhka (pantangan-pantangan yang tidak boleh dilanggar oleh penduduk sima), dan juga ada yang berisi tentang sapatha (kutukan-kutukan). Beberapa aksara yang ada di dalam Prasasti Paṇḍān ada beberapa yang belum terbaca, dan hal ini diharapkan adanya penelitian lebih lanjut yang salah satunya sedang dilakukan oleh Yoga Agastya, Mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia yang mengkaji mengenai rekonstruksi isi dari prasasti tersebut.

Penulis berharap ada tindakan penyelamatan terhadap ketujuh fragmen tersebut karena itu merupakan sumber data sejarah yang sangat penting untuk mengungkap peristiwa masa lalu khususnya dari masa pemerintahan Raja Airlangga. Dengan adanya temuan prasasti tersebut akan menjadi kebanggaan bagi masyarakat Desa Pandankrajan yang dahulu bernama Desa Paṇḍān yang ternyata menjadi bagian dari sejarah panjang masa Klasik (Hindu-Buddha) di Indonesia jauh sebelum Kerajaan Majapahit di daerah Mojokerto yang potensi tinggalan arkeologinya menyebar di wilayah Kecamatan Trowulan. Meskipun di wilayah Kecamatan Kemlagi masih belum banyak ditemukan adanya bangunan-bangunan arkeologi dari periode Hindu-Buddha, namun dengan adanya Prasasti Paṇḍān dan Turun Hyang cukup membuktikan peristiwa sejarah yang terjadi di daerah tersebut pada masa akhir pemerintahan Raja Airlangga. Penulis juga berharap akan ada peneliti-peneliti lain yang memfokuskan penelitiannya di wilayah Mojokerto bagian utara yang dapat digunakan untuk melengkapi penelitian yang sangat sedikit ini. Karena masih banyak permasalahan yang belum dapat terjawab terutama yang berkaitan dengan akhir masa pemerintahan Raja Airlangga.

Hasil analisis yang ada dalam karya tulis ini masih sedikit dan masih ada beberapa kekuarangan. Oleh karena itu diharapkan adanya saran yang membangun dari semua pihak untuk dapat menyempurnakannya. Karya tulis ini hanya terfokus pada analisisa sederhana dari isi ketujuh fragmen Prasasti Paṇḍan. Tidak lupa disampaikan juga terima kasih kepada kawan-kawan yang telah membantu dan mendampingi selama penelusuran ini berlangsung, serta kepada penduduk Desa Pandankrajan-Mojokerto, khususnya Ibu Parmi, Bapak Tubi, serta Bapak Prayitno yang dengan ramah menyambut kedatangan kami dan memperlihatkan fragmen Prasasti Paṇḍān yang mereka simpan. Tanpa adanya bantuan dari mereka tidak akan mungkin sampai di lokasi dan tidak akan dapat menemukan tujuh fragmen yang tersimpan di dalam rumah penduduk. Semoga karya tulis sederhana ini berguna dan bermanfaat.


DAFTAR RUJUKAN

Agustin, C. 2010. Prasasti Paṇḍān 964 Śaka: Rekonstruksi Bentuk dan Isi. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.

Brandes, J.L.A. 1913. Oud Javaansche Oorkonden (OJO), Verhadelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (VBG), Dell. LX, Batavia Albrecht & Co, ‘s Hage M. Nijhoff.

Damais, L.C. 1992. La Date De La Charte De Pandaan. 50 Tahun Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (hlm.146-149). Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Hardiati, E.S., Djafar H., Soeroso, Ferdinandus, P.E.J., Nastiti, T.S. 2010. Zaman Kuno. Dalam Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.

Munandar, A. A. 2012. Aksara yang Hilang pada Prasasti Batu: Terpupus atau Dipupus? Makalah disajikan dalam Seminar Internasional dan Epigrafi & Sejarah Kuno Indonesia, Depok, 5 Desember 2012, https://hurahura.wordpress.com, diakses 3 Maret 2015.

Sukendar, H., Simanjutak, T., Eriawati, Y., Suhadi, M., Prasetyo, B., Harkantiningsih, N., & Handini, R. 1999. Metode Penelitian Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Susanti, N. 2010. Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI (F. Kurniawan, Ed.). Depok: Komunitas Bambu.

Suwardono. 2013. Tafsir Baru Kesejarahan Ken Angrok (Pendiri Wangsa Rajasa). Yogyakarta: Ombak.

Wardhani, D.S.S. 1980. Prasasti Hantang. Skripsi tidak diterbitkan. Depok: Fakultas Sastra UI.

Zoetmulder, P.J. 1982. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Terjemahan Danusuprapta & Sumarti S. 1994. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Aang Pambudi Nugroho
Penulis adalah Ketua
Komunitas Belajar Sejarah Budaya Masa Jawa Kuno – Museum Majapahit
atau Kojaku

Tulisan ini merupakan hasil penelusuran bersama para anggota Kojaku, di antaranya Ahmad Sirojul Munir, Ridho Anugrah Pratama (Mahasiswa Jurusan Sejarah Universitas Negeri Malang), serta Mambo dan kawan-kawan. Hal ini sekaligus mengantar tamu komunitas dari Mahasiswa Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia, yaitu Yoga Agastya dan Firza yang juga melakukan penelitian terhadap tinggalan arkeologi tersebut.


Tanggapan

  1. Sangat bagus untuk bahan kajian dan pengetahuan kami di museum siginjei

  2. kalau tulisan masq iki panjang dan detail trs berjuang masq


Tinggalkan komentar

Kategori