Oleh: hurahura | 22 Oktober 2012

Konflik Lahan: Arkeologi Bisa Kuatkan Hak Tanah Adat

KOMPAS, Kamis, 18 Oktober 2012 – Arkeologi bisa membantu menyelesaikan konflik tanah adat lewat penggalian benda-benda bersejarah ditambah bukti-bukti tertulis yang menunjukkan telah ada aktivitas di lokasi itu sejak dulu. Selama ini masyarakat adat sering dikalahkan dalam proses hukum karena tidak mempunyai bukti materiil bahwa leluhur mereka pernah mendiami atau mengusahakan sebuah area.

Arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, Lucas Partanda Koestoro, Selasa (16/10), mengatakan, pendekatan arkeologis bisa membantu pemangku kebijakan melihat kasus lebih obyektif. Dengan adanya temuan benda-benda itu, minimal ada bukti bahwa suatu lokasi pernah dihuni dan ada aktivitas di sana pada suatu periode.

Lucas mengatakan hal itu menanggapi konflik hutan kemenyan warga Desa Sipituhuta dan Desa Pandumaan, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, dengan PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang telah berlangsung sejak tahun 2009.

Masyarakat menyatakan telah mengusahakan hutan kemenyan selama belasan generasi. Sementara itu, PT TPL menyatakan lahan itu masuk area konsesi mereka.

Dalam diskusi sehari sebelumnya, Lucas mengatakan, sumber-sumber tertulis China menyebutkan bahwa kemenyan, kapur barus, dan damar diperdagangkan dari Barus pada abad V hingga abad XII. Bahan-bahan itu bukan berasal dari Barus, melainkan dari sekelompok masyarakat yang hidup secara komunal dengan menjual getah. Perlu dikaji lebih dalam apakah Pollung salah satu sumber getah kemenyan saat Barus menjadi pelabuhan internasional.

Arkeolog dari Balai Arkeologi Medan, Ketut Wiradyana, menambahkan, bukti adanya aktivitas di hutan kemenyan bisa dilakukan lewat penggalian. Apalagi ada informasi dari masyarakat bahwa pernah ada kampung di dalam hutan kemenyan.

Sementara itu, Lektor Kepala Akademi Pariwisata Medan Rita MS yang juga seorang arkeolog menambahkan, catatan-catatan tentang kemenyan bisa dicari dalam catatan-catatan Pemerintah Hindia Belanda dan dalam Pustaha Lak-Lak, catatan di daun lontar yang dimiliki masyarakat Batak. (WSI/INK)


Tinggalkan komentar

Kategori