Oleh: hurahura | 24 Februari 2012

Arkeologi Udara di Indonesia

Oleh: Djulianto Susantio
Arkeolog

Suatu hari Charles Lindbergh mengajak beberapa peneliti dari museum dan universitas untuk terbang rendah di atas hutan Amerika Tengah. Secara kebetulan, mereka melihat jejak-jejak peninggalan kuno dengan jelas. Selanjutnya setelah dilakukan penelitian lebih jauh, terungkap bahwa jejak-jejak itu merupakan puing-puing kota yang dibangun oleh bangsa Inca dan Aztec. Bisa dipastikan, jejak-jejak tersebut tidak mungkin terlihat dari darat karena terhalang oleh hutan belantara yang lebat.

Sejak itulah istilah arkeologi udara (aerial archaeology) mulai populer. Lindbergh sendiri bukanlah seorang arkeolog. Dia dikenal sebagai pilot pemberani yang pertama kali melintasi Samudera Atlantik tanpa henti seusai Perang Dunia II.

Dari kasus tadi, sejumlah pakar mulai mengembangkan foto udara. Memang, di mata awam foto udara hanya menampilkan hamparan keindahan muka bumi. Namun sesungguhnya, fungsi foto udara lebih jauh daripada itu. Salah satunya adalah mampu bercerita tentang masa lalu yang telah terkubur selama puluhan bahkan ribuan tahun.

Hasil foto udara diketahui berdasarkan pola tertentu yang dilihat dari ketinggian. Secara umum bisa dikatakan arkeologi udara adalah pengambilan foto dari ketinggian terhadap suatu wilayah tertentu. Foto yang dihasilkan akan memperlihatkan roman tersembunyi yang tidak terdeteksi dari darat.

Tidak dimungkiri hingga saat ini, banyak situs arkeologi masih terpendam di bawah tanah. Dari permukaan tanah, situs ini hanya terlihat sebagai tumpukan batu, cekungan lembah, atau padang ilalang liar semata. Lokasi tersebut sama sekali tidak mengesankan adanya peradaban manusia yang pernah hidup. Padahal, bukan tidak mungkin di lokasi tadi terdapat situs yang pernah berperan penting di masa lalu.

Walau canggih, ternyata sebenarnya arkeologi udara merupakan metode lama yang diilhami oleh pemetaan wilayah di Eropa selama Perang Dunia I. Konsep awal yang masih dipakai sampai sekarang adalah microtopography, yakni mencari pola tertentu seperti garis atau sekumpulan titik yang kecil di permukaan bumi. Garis atau titik ini hanya mungkin terlihat dari udara pada kondisi yang tepat. Foto yang diolah akan menampilkan bagian yang terang dan gelap, perbedaan kontur tanah, sampai perbedaan vegetasi. Melalui perbedaan ini, area perkampungan, pekuburan, dan gedung-gedung di masa lalu dapat teridentifikasi.

Sebagai contoh, tembok batu, fondasi, dan jalan kuno yang terbenam di bawah tanah sering kali dipenuhi berbagai tanaman yang tumbuh di atasnya, termasuk ladang pertanian. Dengan foto udara akan muncul pola melalui tanaman yang tidak tumbuh subur, terutama di musim kemarau. Pola inilah yang memberikan jejak keberadaan peradaban manusia yang terkubur tersebut.

(Bersambung)

*Tulisan ini merupakan bahan untuk penulisan ARKEOPEDIA (ENSIKLOPEDIA ARKEOLOGI)


Tinggalkan komentar

Kategori