Oleh: hurahura | 1 Januari 2011

Bingkai Sejarah yang Menjadi Acuan Kisah Panji*)

Oleh: Agus Aris Munandar
Departemen Arkeologi FIB UI

I

Kisah Panji dikenal dengan beragam versinya, dan berbeda-beda pula penuturan ceritanya, namun sebenarnya terdapat tema yang sama dan menjadi ciri utama dari berbagai tuturan kisah Panji. Tema itu tentang cerita asmara antara putra mahkota kerajaan Janggala (Kahuripan) dengan putri kerajaan Panjalu (Kadiri) yang beribukotakan di Daha. Dalam kisah Panji diuraikan suasana masyarakat dan juga kerajaan-kerajaan yang berkembang di wilayah Jawa (timur) dan Bali, jadi tidak bertutur perihal lingkungan istana dan pedesaan yang jauh di tanah India. Begitupun mengenai penyajiannya P.J.Zoetmulder menyatakan:
“Bentuk kakawin dan bahasa Jawa Kuna merupakan saluran tradisional bagi kisah-kisah yang berangkal pada epos-epos India dan purana-purana, tetapi bentuk kidung dan bahasa Jawa Pertengahan secara eksklusif dipakai untuk menyajikan kisah-kisah Panji. Sepengetahuan saya tidak ada satu kakawin pun yang menampilkan kisah Panji, sedangkan di lain pihak kidung-kidung yang menyajikan sebuah tema dari India, jarang sekali terdapat” (Zoetmulder 1983: 532—3).

Banyak ciri yang menandai bahwa Kisah Panji sebenarnya adalah narasi khas Jawa zaman Majapahit, jadi bukan saduran atau petikan dari epos-epos India yang telah dikenal sebelumnya. Apabila diuraikan satu persatu butir-butir penanda karya kejawaan pada kisah-kisah Panji antara lain sebagai berikut:

1.Kerangka cerita yang merupakan gubahan asli yang sebelumnya tidak pernah dikenal, bahwa ada putra-putri raja yang telah dipertunangkan kemudian menghilang dari istana, dan mereka saling mengembara untuk akhirnya bertemu kembali.

2.Tokoh-tokoh merupakan ciptaan baru, bukan kisah para ksatrya dari epos India.Menurut Zoetmulder tokoh-tokoh ksatrya itu bukannya ksatrya-ksatrya India yang bergerak di alam Jawa, melainkan ksatrya dari keraton-keraton Jawa sendiri yang berperanan dalam Kisah Panji (1983: 534).

3.Nama-nama tokoh juga memakai nama khas masa Singhasari-Majapahit (abad ke-13—15 M), antara lain dengan menggunakan sebutan hewan seperti lembu, undakan (kuda), gajah, kebo (kerbau), mahesa, dan lain-lain yang juga dikenal dalam karya sastra sezaman lainnya (Poerbatjaraka 1968: 406).

4.Uraian tentang kehidupan keraton-keraton di Jawa, keraton yang penting adalah Koripan atau Kahuripan (disebut pula Janggala atau Keling), Daha (Kadiri atau juga Mamenang), Gegelang di wilayah Urawan, dan Singhasari. Semua itu adalah keraton-keraton yang pernah ada di Jawa pada zamannya, jadi bukan perihal keraton Hastinapura, Dvarawati, atau Indraprastha yang terletak di India.

5.Nama-nama tempat, pertapaan, daerah, negara, gunung, sungai, dan nama geografis lainnya juga berlokasi di Jawa, bahkan beberapa di antaranya masih dapat dikenali hingga sekarang.

Demikianlah beberapa butir yang menandai bahwa Kisah Panji itu hasil karya pujangga Jawa, bukannya saduran atau pengembangan cerita dari epos India. Para ahli telah bersepakat bahwa Kisah Panji adalah hasil karya orang Jawa yang menguraikan tentang perilaku para raja dan keluarganya dari kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa sendiri (Poerbatjaraka 1957 & 1968, Rasser 1982, Zoetmulder 1983, Suleiman 1978, Baried Dkk. 1987). Kisah itu demikian terkenalnya sehingga menyebar ke luar dari daerah asalnya, seperti ke Bali, Lombok, Palembang, Banjarmasin, Malaka, bahkan hingga ke Kamboja (Khmer) dan Thailand.

Mengenai waktu terjadinya cerita Panji, terdapat perbedaan pendapat di antara dua ahli terkemuka yang telah menelaah cerita tersebut, yaitu C.C.Berg dan R.M.Ng.Poerbatjaraka. Menurut Berg tahun penyebaran cerita-cerita Panji di Nusantara terjadi seiring dengan peristiwa Pamalayu tahun 1277 M (dalam Nagarakrtagama Pamalayu terjadi tahun 1275 M), sebagai patokan awal penyebaran dan sekitar tahun 1400 M sebagai batas akhir penyebarannya. Menurut Poerbatjaraka jika pendapat Berg seperti itu maka secara logis tahun penciptaan cerita Panji terjadi sebelum tahun 1277 M, artinya Berg menganggap bahwa pada waktu terjadi Pamalayu, cerita Panji sudah ada dan dikenal oleh masyarakat (Poerbatjaraka 1968: 403).

Poerbatjaraka menolak pendapat Berg, ia mengemukakan pendapatnya setelah memperhatikan dan menyetujui kesimpulan W.F. Stutterheim tentang pemahatan fragmen relief cerita Panji dari daerah Gambyok Kediri. Menurut Stutterheim relief tersebut mestinya berasal dari sekitar tahun 1400 M, kesimpulan Stutterheim itu disetujui oleh Poerbatjaraka (1968: 408). Kemudian berdasarkan pendapat Stutterheim itu Poerbatjaraka menyatakan bahwa awal timbulnya cerita Panji adalah pada masa Majapahit, menurutnya:
“Redaksi jang mula-mula pastilah disusun pada zaman kedjajaan (atau masa kedjajaan kemudian Madjapahit). Karena penulisan Tjerita Pandji menurut pendapat kami, baru terdjadi kemudian, maka penjebarannja ke seluruh Nusantara djuga baru terdjadi djauh kemudian” (1968:409).

Masa kejayaan Majapahit berarti dalam era pemerintahan raja Hayam Wuruk antara tahun 1350—1389 M, sedangkan masa kejayaan kemudian mengacu kepada periode raja pengganti Hayam Wuruk, yaitu Wikramawarddhana (1389—1429 M). Dalam masa itulah agaknya cerita Pandji yang mula-mula mulai digubah, kemudian berangsur-angsur menjadi terkenal di wilayah Majapahit bahkan dipahatkan dalam bentuk relief di dinding candi-candi. Dalam masa yang lebih kemudian barulah kisah-kisah Panji itu menyebar ke luar tanah Jawa hingga ke Asia Tenggara daratan.

II

Apabila kisah Panji ditelisik dengan baik, dapat dinyatakan bahwa sangat mungkin kisah itu mengacu kepada peristiwa sejarah tertentu. Dengan pengertian lain kisah Panji mempunyai latar belakang sejarah, suatu peristiwa sejarah yang pernah terjadi sebelum kisah itu sendiri digubah. Pendapat seperti itu pernah dikemukakan oleh Poerbatjaraka bahwa latar belakang Kisah Panji adalah sejarah kerajaan Kadiri. Raja Kadiri yaitu Kameswara mempunyai permaisuri Sri Kiranaratu putri dari kerajaan Janggala, demikian yang diungkapkan dalam kakawin Smaradahana. Raja itu kemudian dikenal dengan nama Hinu Kertapati dalam cerita Panji, sedangkan permaisurinya juga bernama Kirana, yaitu Dewi Candrakirana (Poerbatjaraka 1957: 22, Zuber Usman 1968: XI). Selanjutnya Poerbatjaraka mengungkapkan:
“Soal terbaliknja negeri, jakni dalam kitab Smaradahana, maka puteri Djanggala kawin dengan radja Kadiri, sedangkan dalam kitab Pandji puteri Kadirilah jang kawin dengan radja Djanggala, taklah seberapa artinja…” (Poerbatjaraka 1957: 22).

Tidak ada alasan lain yang lebih panjang dari Poerbatjaraka untuk menjelaskan bahwa setting sejarah Kisah Panji adalah masa kerajaan Kadiri di abad ke-11 M. Bahwa Kisah Panji dinyatakannya merupakan cerminan dari kisah raja dan ratu Kadiri yang namanya tercantum dalam kakawin Smaradhahana karya Mpu Dharmaja. Mengenai terbaliknya uraian cerita tentang asal-usul kerajaan raja dan ratu itu dianggap tidak perlu dirisaukan, mungkin karena ingatan para penyusun Kisah Panji sudah samar-samar terhadap sejarah kerajaan Kadiri.

Memang agak sukar untuk mendukung pendapat Poerbatjaraka tersebut, sebab kesimpulannya perihal setting sejarah yang menjadi acuan diciptakannya Kisah Panji tidak didasarkan pada argumen dan diskusi yang lebih panjang. Lain halnya ketika ia berupaya untuk menentukan terjadinya cerita Panji, banyak data dan argumen menarik dikemukakannya. Mengenai pendapat Poerbatjaraka tentang cerita Panji akan dibicarakan lagi dalam bagian berikut dari kajian ini.

Adapun pendapat Berg menyebutkan bahwa latar belakang cerita Panji adalah sejarah Kerajaan Majapahit dengan rajanya Hayam Wuruk. Pendapat itu dikemukakan dalam karyanya yang berjudul De Middel Javaansche Historische Traditie (1927). Berdasarkan pendekatan filologi, linguistik, dan tafsiran sejarah kuna, ia menolak pendapat Poerbatjaraka yang mengemukakan bahwa roman Panji itu mempunyai latar belakang sejarah Kadiri pada masa pemerintahan raja Kameswara (Baried 1987: 4). Berg juga menyatakan bahwa adanya persamaan antara roman Panji yang tokoh utamanya menaklukkan banyak kerajaan dengan kejayaan Majapahit yang menguasai banyak wilayah di Jawa dan Nusantara dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk dalam abad ke-14 M. Oleh karena itu di belakang Kisah Panji sebenarnya terdapat ingatan orang terhadap keadaan politik masa keemasan Majapahit. Hayam Wuruk yang berkuasa di Majapahit dapat disamakan dengan tokoh Panji, ia dapat disebut sebagai Inu/Ino sebab dalam berbagai sumber tertulis dapat disimpulkan bahwa Rakai Hino adalah putra mahkota (Baried 1978: 4).

Sebenarnya terdapat pendapat paling awal mengenai setting sejarah dari kisah-kisah Panji. Pendapat itu dikemukakan oleh G.P Rouffaer dalam Notulen Bataviasch Genootschap 1909, yang secara ringkas menyatakan bahwa Kisah Panji sebenarnya mencerminkan kehidupan raja Airlangga (1019–42 M). Memang terdapat kemiripan antara kehidupan raja Airlangga yang berhasil mengalahkan banyak wilayah (kerajaan) di Jawa Timur dengan Raden Panji yang juga melakukan penalukkan selama pengembaraannya. Namun pendapat itu semata-mata hanya didasarkan pada persamaan uraian perihal kemenangan dan penalukkan yang dilakukan oleh tokoh Airlangga dan Panji. Adapun tema yang sangat dominan dalam cerita Panji, yaitu kisah asmara antara putra mahkota Janggala dengan putri Panjalu, tidak dapat dikembalikan ke dalam peristiwa sejarah zaman Airlangga.

W.H.Rassers dalam karyanya yang berjudul Panji, The Culture Hero: A Structural Study of Religion in Java (1959). Menyatakan bahwa tokoh Panji mungkin dapat dihubungkan dengan tokoh Ken Angrok yang mendirikan kerajaan Singhasari pada tahun 1222 M, tetapi juga Rassers menyatakan bahwa tokoh Panji dapat dihubungkan dengan Raden Wijaya, menantu Raja Singhasari terakhir Krtanagara. Raden Wijaya juga merupakan tokoh yang mendirikan Majapahit dalam tahun 1309 M. Menilik banyaknya tokoh yang disimpulkannya untuk dapat menjadi acuan bagi figur Panji, maka Rassers berpendapat bahwa hubungan Kisah Panji dengan sejarah kuna Jawa, lebih berkenaan dengan tema, tidak dengan tokoh sejarah atau peristiwa yang dialami oleh tokoh tersebut (Ras 1973: 420).

Pendapat lainnya yang menarik pernah dikemukakan oleh Satyawati Suleiman (1978). Berdasarkan kajiannya terhadap penggambaran relief cerita Panji di beberapa candi masa Majapahit dan punden berundak di Gunung Penanggungan, ia menyatakan bahwa relief cerita Panji itu dibuat oleh para seniman Kadiri. Candi-candi yang dihias dengan relief Panji dibuat untuk memuliakan keluarga raja Kadiri yang telah mangkat. Begitupun Pendopo Teras II di percandian Panataran dibuat oleh para pemahat dari Kadiri. Walaupun keluarga raja-raja Kadiri tidak lagi mempunyai peranan dalam politik pemerintahan, namun mereka masih mempunyai kedudukan penting dalam elite kerajaan akibat perkawinan anggota-anggotanya dengan para raja Majapahit (Suleiman 1978: 43).

Tafsiran Satyawati Suleiman tersebut agaknya merupakan pengembangan lebih lanjut dari pendapat Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa Kisah panji dilatarbelakangi oleh kerangka sejarah Kadiri dalam masa pemerintahan raja Kameswara dengan permaisurinya Sri Kirana Ratu. Panji dianggap sebagai tokoh tandingan, seorang ksatrya pribumi yang diciptakan oleh keluarga raja Kadiri untuk menyaingi tokoh “ksatrya impor” seperti para Pandawa dan Rama yang banyak diacu oleh keluarga raja-raja Majapahit yang sedang berkuasa (Suleiman 1978: 42). Dari sudut pandang sejarah kuna, pendapat Satyawati Suleiman itu cukup menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, karena hingga kini terdapat pandangan bahwa pada masa akhir kerajaan Majapahit, terdapat tanda-tanda tampilnya kembali keluarga raja-raja dari Kadiri dalam politik pemerintahan di Jawa Timur dan Bali. Oleh karena itu perlu ada pembicaraan tersendiri tentang hal itu, jadi tidak mungkin disinggung secara sepintas saja.

Dengan adanya beberapa pendapat berbeda tentang setting sejarah yang menjadi latar belakang kisah Panji, maka penyimpulan selanjutnya untuk dapat menyatakan mana pendapat yang paling benar dan tepat sukar untuk dilakukan. Para ahli itu menyatakan pendapatnya setelah memperhatikan hanya satu episode saja dari rangkaian kisah Panji, sedangkan dalam cerita Panji terdapat banyak episode yang berbeda temanya. Oleh karena itu kajian ini berupaya untuk menelisik lebih lanjut setting sejarah dari Kisah Panji, dengan asumsi mungkin banyak peristiwa sejarah yang menjadi acuan cerita Panji. Terkenalnya cerita Panji di kalangan masyarakat Jawa sezaman karena memang merangkum beberapa peristiwa sejarah yang dianggap penting, untuk kemudian dijalin dan ditamsilkan dalam bentuk uraian Kisah Panji.

III

Selain sastra Jawa Kuna yang digubah dalam bentuk kakawin, juga terdapat pula sastra yang berbentuk kidung. Sastra kidung ditulis tidak menggunakan bahasa Jawa Kuna, melainkan dengan bahasa “Jawa Pertengahan”. Berdasarkan kajian terhadap sejumlah kidung yang sudah dikenal, terdapat pula beberapa kidung yang bernilai historis, seperti kidung Harsyawijaya, Ranggalawe, Sorandaka, dan kidung Sunda (Zoetmulder 1983: 513—32). Zoetmulder pernah menyatakan:
“Di antara kidung-kidung historis, kidung Harsyawijayalah yang paling jelas memperlihatkan pengaruh sastra Panji” (1983: 536).

Pendapat Zoetmulder tersebut perlu kiranya diperhatikan lebih lanjut, sebab dengan adanya pernyataan demikian, sastra Panji dapat dianggap lebih awal lahir daripada kidung-kidung yang mengandung nilai kesejarahan. Apabila saja pendapat Poerbatjaraka (1968) telah disepakati bahwa kisah Panji sangat mungkin lahir dalam masa keemasan Majapahit atau segera setelah masa keemasannya, berarti pada akhir abad ke-14 M; sudah tentu kidung Harsyawijaya digubah setelah periode tersebut. Mungkin disusun sekitar tahun 1600, bersamaan waktunya dengan penggubahan naskah Panji Wangbang Wideya (Robson 1971: 9).

Hanya saja Zoetmulder tidak menunjukkan secara jelas bagian mana dari kidung Harsyawijaya yang mendapat pengaruh sastra Panji. Agaknya para peneliti yang berminat dipersilakan sendiri untuk membandingkannya. Sangat mungkin pengaruh tersebut terdapat pada uraian ketika Harsyawijaya (Raden Wijaya) tumbuh dan dibesarkan di istana Singhasari dengan ditemani oleh putra-putra pejabat tinggi keraton seperti Lawe, Sora, Nambi, Pedang, Dangdi, Gajah Pagon, dan Lembu Peteng. Keadaan ini sama dengan Raden Inu (Panji) yang mempunyai juga sahabat karib dan teman seperjuangannya (para Kadeyan), seperti, Punta, Prasanta, Juru Deh, Kertala, serta saudara-saudara Panji lain ibu, yaitu Brajanata dan Carang Waspa.

Perjalanan Harsyawijaya melarikan diri dengan disertai sahabat-sahabatnya, mengembara di hutan-hutan pantai utara hingga menyeberang ke Pulau Madura untuk minta perlindungan Wiraraja, mungkin dapat dianggap telah mendapat pengaruh dari uraian pengembaraan Panji beserta kawan-kawannya. Pada bagian awal kisah Panji diutarakan bahwa Raden Panji beserta kawan-kawannya menyamar untuk mencari Dewi Sekar Taji, atau dalam Panji Angreni mereka mencari seorang putri yang merupakan penjelmaan Dewi Angreni, kekasih Panji yang pertama.

Uraian lainnya dari kidung Harsyawijaya berbeda dengan cerita Panji, karena kidung Harsyawijaya bersifat historis, maka uraiannya lebih mendekati dengan pemaparan serat Pararaton yang sesuai dengan judulnya menguraikan kisah para raja Singhasari dan Majapahit. Peristiwa sejarah yang diungkapkan oleh Pararaton dalam bagian runtuhnya Singhasari dan berdirinya kerajaan Majapahit secara garis besar sejalan dengan penceritaan kidung Harsyawijaya. Tentu saja kidung Harsyawijaya jauh lebih luas karena menguraikan bagian-bagian rinci dengan panjang sesuai dengan sifat susastranya.

Perkara apakah benar uraian kidung Harsyawijaya mendapat pengaruh dari cerita Panji atau tidak, perlu kiranya ditinjau kembali. Dalam salah satu prasasti yang dikeluarkan oleh Krtarajasa Jayawarddhana atau Raden Wijaya dalam Pararaton atau diseru Harsyawijaya dalam kidung Harsyawijaya, diuraikan perjuangan raja Majapahit pertama itu sebelum berjaya mendirikan Wilwatikta.

Dalam prasasti Kudadu yang berangka tahun 1216 Saka (1294 M) itu, diuraikan secara panjang lebar perjuangan dan pengembaraan Krtarajasa Jayawarddhana ketika dikejar-kejar pasukan Jayakatwang. Ia berpindah-pindah tempat dan bersembunyi dari satu tempat ke tempat lain, banyak pengikutnya yang tewas dalam pelarian itu. Akhirnya dengan hanya ditemani oleh 12 orang temannya Krtarajasa sampai di desa Kudadu. Di desa itu diterima dengan tangan terbuka, diberi makan, dilindungi dan ditunjukkan jalan termudah untuk menyeberang ke Madura. Maka Krtarajasa tidaklah lupa atas kebaikan kepala desa dan seluruh penduduk wanua Kudadu. Oleh karenanya setelah ia menjadi raja Majapahit wanua Kudadu dijadikan daerah sima swatantra (perdikan), daerah yang tidak perlu membayar pajak kepada negara (Yamin 1962: 205—216). Apabila prasasti dapat dijadikan sumber sejarah yang otentik berkenaan dengan kajian sejarah politik, sosial-ekonomi, keagamaan, dan kemasyarakatan Indonesia kuna (Boechari 1977a: 2, 1977b: 91), maka sudah selayaknya jika berita dari prasasti Kudadulah yang layak dipercaya. Prasasti itu dituliskan dalam tahun 1294 M, para pelaku sejarahnya masih hidup, dan ingatan mereka terhadap peristiwa kejatuhan Singhasari serta berdirinya Majapahit (antara tahun 1292—1293) masih begitu segar. Walaupun sifat uraiannya singkat, namun banyak data sejarah yang seharusnya dipercaya benar karena keotentikannya. Data sejarah itu selanjutnya diuraikan secara bias dan ditambahi berbagai tafsiran, serta perubahan lokasi geografis tempat terjadinya peristiwa oleh para penggubah karya sastra historis di masa yang jauh lebih kemudian.

Dengan demikian peristiwa pengembaraan Panji beserta para kadeyan, serta berperang melawan musuh-musuhnya, sebenarnya sangat mungkin mengacu kepada peristiwa sejarah, yaitu perjuangan Krtarajasa Jayawarddhana dengan para sahabatnya ketika menyelamatkan diri dari kejaran tentara Jayakatyeng sakeng Glang-glang. Begitupun uraian kidung Harsyawijaya yang digubah sekitar tahun 1600an sudah tentu mengacu kepada peristiwa sejarah yang pernah dialami Raden Wijaya dengan kawan-kawannya di akhir abad ke-13 tersebut.

Naskah lainnya yang mencatat peristiwa perjuangan Krtarajasa Jayawarddhana sebelum menjadi raja Majapahit adalah Pararaton. Nyata benar bedanya bahwa dalam prasasti Kudadu desa yang melindungi rombongan Krtarajasa adalah Kudadu beserta kepala desa dan penduduknya, sedangkan dalam Pararaton disebutkan desa itu adalah Pandakan, kepala desanya bernama Macan Kuping (Hardjowardojo 1965: 40). Dalam hal ini yang harus dipercaya adalah uraian prasasti Kudadu yang ditulis tahun 1294, sedangkan Pararaton baru selesai digubah dalam tahun 1535 Saka (1613 M), sudah tentu ingatan terhadap nama desa tempat perlindungan Raden Wijaya menjadi berubah, bernama Pandakan.

Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa tema perjuangan Krtarajasa Jayawarddhana dan kawan-kawannya seperti yang diuraikan dalam prasasti Kudadu itulah yang telah mengilhami uraian pengembaraan Panji dan para kadeyannya. Peristiwa yang sama juga dicantumkan baik dalam Pararaton ataupun kidung Harsyawijaya, yang bersifat kesejarahan. Secara sederhana dapat dilihat dalam bagan I berikut:


Dengan demikian pernyataan Zoetmulder (1983) yang menyatakan bahwa kidung Harsyawijaya mendapat pengaruh sastra Panji agaknya kurang tepat. Berdasarkan data yang ada justru baik cerita Panji, kidung Harsyawijaya, dan serat Pararaton justru hendak menguraikan peristiwa sejarah di masa lalu. Peristiwa itu telah didokumentasikan secara otentik dalam uraian prasasti Kudadu, artinya peristiwa sejarah yang telah terjadi sebelumnya kemudian dijadikan acuan kerangka cerita Panji, serat Pararaton, dan kidung Harsyawijaya.

Selanjutnya ada baiknya untuk meninjau kembali pendapat Poerbatjaraka yang menyatakan bahwa cerita Panji diilhami oleh kisah asmara antara raja Kadiri Kameswara dengan permaisurinya Sri Dewi Kirana. Gelar lengkap raja itu ialah Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwaryyawiryya Parakrama Digjayottunggadewanama. Sampai sekarang ini hanya dua prasasti saja yang dapat dihubungkan dengan tokoh raja ini, yaitu prasasti dari desa Semanding tahun 1104 Saka (17 Juni 1182 M), dan prasasti Ceker tahun 1107 Saka (11 Sepetember 1185 M). Prasasti yang sudah dialihaksarakan dan dibahas secara tidak lengkap karena banyak huruf pada batunya rusak adalah prasasti Ceker (O.J.O. LXXII). Isinya antara lain menguraikan bahwa rakyat desa Ceker memohon kepada raja agar bahwa desa mereka dapat dikukuhkan sebagai sima dengan mendirikan sebuah prasasti. Raja berkenan mengabulkan permohonan mereka, waktu itu raja berbahagia karena berhasil kembali ke tanah simanya di Bhumi Kadiri (Sumadio 1984:273).

Permaisuri Sri Kameswara, yaitu Sri Dewi Kirana tidak disebutkan dalam kedua prasasti itu. Nama permaisuri ternyata tercantum dalam kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja yang sangat mungkin digubah dalam masa pemerintahan Sri Kameswara di Kadiri (Poerbatjaraka dan Tardjan Hadidjaja 1957: 22, Zoetmulder 1983: 348 dan 374). Kakawin tersebut pada intinya menguraikan peranan dan pengorbanan dewa asmara, yaitu Kamajaya dalam upaya menyelamatkan kahyangan dari serangan Nilarudraka. Sangat mungkin kakawin itu juga dipersembahkan kepada raja Kadiri Kameswara yang dianggap sebagai penjelmaan dewa Kamajaya, sedangkan permaisurinya Sri Dewi Kirana yang dianggap sebagai jelmaan dari Dewi Ratih, sakti dari Kamajaya.

Berdasarkan tinggalan prasastinya masa pemerintahan Kameswara di Kadiri hanya singkat saja, prasasti paling awal dari raja itu bertarikh 1182 M dan prasasti berikutnya dari tahun 1185 M. Mungkin saja Kameswara telah memerintah sebelum tahun 1182, tetapi belum dijumpai bukti prasastinya. Adalah sangat meragukan jika ada pendapat yang menyatakan bahwa cerita Panji mengacu kepada peristiwa sejarah dalam masa pemerintahan Kameswara di Kadiri. Masa pemerintahan raja itu relatif sebentar saja apabila dibandingkan dengan era kekuasaan raja-raja Kadiri lainnya seperti raja Jayabhaya (1135–1157 M), Sarweswara (1159–1161 M), dan Srngga-Krtajaya (1194–1205 M) (Sumadio 1984: 268–73, Zoetmulder 1983: 347–8). Lagi pula dalam kakawin Smaradahana ataupun berita prasasti tidak ada uraian yang menyebutkan bahwa raja Kameswara menikah dengan saudara sepupunya, yaitu Sri Dewi Kirana. Tokoh permaisuri raja Kameswara itu hanya disebutkan sebagai putri dari kerajaan Janggala, tetapi bukan sebagai sepupu raja.

Jika ditelisik lebih lanjut perkawinan itu sangat mungkin bersifat politis, dapat saja ditafsirkan bahwa perkawinan itu untuk memperkokoh hubungan baik yang sudah terbina antara Janggala dan Panjalu, atau juga untuk mempersatukan kekuasaan antara kerajaan Janggala dan Panjalu, dua kerajaan baru hasil pembagian dari kerajaan Airlangga. Tujuan pembagian itu sangat mungkin supaya tidak ada perang saudara antara raja-raja pengganti dan anak keturunan Airlangga (Sumadio 1984: 257–9). Dengan demikian perkawinan antara Kameswara yang raja Panjalu dengan Sri Dewi Kirana yang putri raja Janggala sebagaimana yang disebutkan dalam kakawin Smaradhana sudah benar adanya, tidak perlu dipermasalahkan lagi karena ketidaksesuaiannya dengan uraian cerita-cerita Panji. Sebab sangat mungkin cerita Panji memang tidak mengacu kepada bingkai sejarah kerajaan Kadiri (Panjalu) dalam masa pemerintahan Kameswara, tetapi mengacu pada bingkai sejarah lain lagi.

Pendapat Rasser (1959) bahwa cerita Panji sangat mungkin mengacu pada tokoh Ken Angrok malah sukar untuk dicarikan argumennya. Ken Angrok menurut Pararaton adalah orang desa biasa yang kemudian mendapat legitimasi untuk berkuasa dengan menyatakan bahwa Brahma, Visnu, dan Siva dengan caranya masing-masing menjelma pada dirinya. Ken Angrok pada waktu muda adalah “preman” yang kerapkali melakukan perbuatan kriminal. Ia merebut Ken Dedes, istri akuwu Tumapel Tunggul Ametung, dan Ken Angrok hanya melakukan peperangan satu kali saja dalam menghadapi Kadiri dalam pertempuran di tahun 1222. Sejak itu Kadiri sebagai kerajaan runtuh, dan muncul kerajaan baru Singhasari dengan Ken Angrok atau Sri Ranggah Rajasa Bhattara Sang Amurwabhumi sebagai raja pertamanya.

Dengan demikian sukar menyamakan Ken Angrok dengan Raden Inu (Panji) yang dari keluarga raja, berperilaku santun, mahir dalam berbagai macam kesenian, melakukan pengembaraan dengan kawan-kawannya, dan menaklukkan banyak kerajaan, dan pada akhirnya bertemu dengan kekasih yang telah ditakdirkan oleh dewa. Panji merupakan sosok ksatrya yang lengkap dia mahir dalam kesaktian dan kesenian, dan dia tidak pernah melakukan tindakan kriminal sebagaimana halnya Ken Angrok

Sedangkan pendapat Rasser yang menyatakan bahwa Raden Panji dapat dihubungkan dengan Raden Wijaya (Krtarajasa Jayawarddhana) pendiri kerajaan Majapahit, mungkin ada benarnya. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa banyak bagian dari cerita Panji dapat dikembalikan kepada peristiwa sejarah yang pernah dialami oleh Raden Wijaya dalam perjuangan mendirikan Majapahit. Mengenai hal ini telah dibicarakan dalam bagian yang terdahulu dari kajian ini.

Pendapat Berg (1928) yang menyatakan bahwa latar sejarah terjadinya cerita Panji adalah dalam masa Majapahit, khususnya dalam periode pemerintahan Hayam Wuruk (Rajasanagara), perlu pula untuk diperhatikan. Hal yang tidak dikemukannya secara rinci adalah peristiwa sejarah mana yang pernah dialami Hayam Wuruk yang akhirnya dijadikan acuan untuk penciptaan cerita Panji.

Apabila dicermati secara baik, pendapat kedua sarjana yang pernah membahas cerita Panji, yaitu Berg dan Poerbatjaraka, terdapat pernyataan kontradiktif tetapi saling melengkapi. Agar lebih jelas beberapa pendapat penting dari mereka berdua dapat diringkas sebagai berikut:

C.C.BERG (1928) R.M.Ng.POERBATJARAKA (1940)
1.Cerita Panji pertama ditulis dalam bahasa Jawa Kuna 1.Naskah awal cerita Panji justru ditulis dalam bahasa Jawa Pertengahan
2. Penyebarannya ke luar wilayah Jawa Timur bersamaan dengan Pamalayu tahun 1277 atau 1275, dalam masa Singhasari. 2.Penyebarannya ke luar Jawa Timur paling awal terjadi dalam masa akhir Majapahit (abad ke-15—16 M)
3.Acuan cerita : peristiwa sejarah dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit (1350-1389) 3.Acuan cerita: masa pemerintahan raja Kameswara di Kadiri dalam abad ke-12 M

Butir pertama dari pendapat mereka masing-masing cukup berbeda, dan tidak ada hubungannya. Apabila diperhatikan pendapat ke-2 Berg tentang penyebaran cerita Panji ke luar Jawa Timur, bahwa penyebaran itu hanya bisa terjadi apabila acuan cerita Panji itu berasal dari peristiwa yang lebih tua dari peristiwa pengiriman tentara Singhasari ke Malayu (lebih tua dari tahun 1275 M). Poerbatjaraka dalam hal ini menyatakan bahwa acuan cerita Panji adalah peristiwa sejarah yang terjadi dalam masa pemerintahan raja Kameswara di Kadiri (abad ke-12 M). Apabila demikian halnya maka pendapat Berg tentang penyebaran cerita Panji ke luar Jawa seiring dengan terjadinya Pamalayu, dapat diterima secara logis. Namun Berg sendiri menyatakan bahwa masa terjadinya cerita Panji –jadi acuan cerita Panji– adalah masa pemerintahan Hayam Wuruk dalam abad ke-14 M. Jadi pendapat Berg dengan sendirinya saling bertentangan, bagaimana suatu cerita yang belum terbentuk, tetapi sudah menyebar terlebih dahulu dalam abad ke-13, pada waktu Singhasari mengirimkan pasukannya ke Malayu.

Agaknya pendapat dari Berg atau pun Poerbatjaraka mempunyai bagian-bagian yang sejalan dengan sumber sejarah lainnya, tetapi ada pula yang kiranya tidak berkesesuaian dengan sumber-sumber sejarah yang ada. Mengenai terbentuknya kisah Panji menurut Poerbatjaraka adalah sebagai berikut:

Dalam bagan terlihat adanya urutan kronologi yang jelas, bahwa awal penyusunannya terjadi dalam era Majapahit sesudah masa kebesarannya, mungkin sudah dimulai dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk dan makin berkembang dalam periode pemerintahan raja-raja penggantinya. Walaupun demikian bingkai sejarah yang menjadi kerangka cerita berasal dari periode sebelumnya dalam masa kerajaan Kadiri di abad ke-12 M. Adapun penyebarannya ke luar dari Jawa Timur terjadi mulai babak terakhir surutnya Majapahit, bahkan mungkin ketika agama Islam sudah berangsur-angsur merebak di kawasan Nusantara.

Sedangkan pendapat Berg apabila digambarkan dalam bagan akan terlihat agak membingungkan, sebagai berikut:

Berdasarkan bagan tersebut dapat terlihat bahwa bagaimana mungkin kisah yang bingkai sejarahnya mengacu ke masa Hayam Wuruk, sudah tersebar ke luar Jawa Timur sebelum Hayam Wuruk lahir?. Menurut Berg, sudah ada cerita Panji awal yang ditulis dalam bahasa Jawa Kuna, kemudian cerita itu terdesak kepopulerannya di lingkungan istana-istana Jawa karena dianggap sastra yang kurang bermutu, baru kemudian di Bali sastra Panji dapat berkembang dengan bebas (Berg 1930 : 258). Pendapat ini pun tidak kuat argumennya, Berg tidak menyediakan sejumlah data sehingga kesimpulan tentang terdesaknya sastra Panji di Jawa dapat dipercaya. Mengenai hal itu Poerbatjaraka pernah menyatakan bahwa jika pamalayu dijadikan patokan awal penyebaran cerita Panji, berarti sudah tentu ada teks Panjinya. Jika benar demikian tidak mungkin terdapat anakronisme sejarah, yaitu menempatkan kerajaan Singhasari yang berkembang bersama-sama dengan kerajaan Daha-Kadiri. Menurut Poerbatjaraka:
“Djadi, redaksi Pandji jang asli mestilah ditulis pada zaman ketika ingatan orang kepada Singasari telah agak samar-samar, pada suatu masa ketika orang tidak merasa djanggal lagi bila Singasari dikatakan sezaman dengan Daha dalam tjerita Pandji dan Tjandra-kirana” (Poerbatjaraka 1968: 403—4).

Demikian beberapa pendapat para ahli yang pernah melakukan kajian terhadap cerita Panji. Pendapat-pendapat tersebut dikemukakan dalam zamannya ketika dukungan data dari sumber-sumber lain belum banyak diungkap, begitupun data arkeologis yang berkenaan dengan relief cerita Panji belum banyak diteliti. Sudah merupakan keniscayaan apabila dewasa ini, ketika data pendukung untuk menelisik cerita Panji semakin banyak, kajian terhadap cerita Panji, khususnya bingkai sejarah yang menjadi acuannya, ditinjau lagi. Apabila memungkinkan tentu saja layak untuk diadakan tafsiran dan kesimpulan baru sesuai dengan keadaan data yang tersedia sekarang.

IV

Pendapat sarjana yang berbeda-beda tentang bingkai sejarah yang menjadi acuan cerita Panji menunjukkan bahwa memang banyak bagian dari cerita itu yang kiranya dapat “dikembalikan” kepada peristiwa sejarah tertentu. Pada dasarnya seorang sarjana peneliti hanya memandang dan terkesan pada bagian tertentu saja dari cerita Panji. Kemudian sarjana itu mengungkapkan bahwa bingkai sejarah cerita Panji berasal dari peristiwa sejarah tertentu yang dipandangnya paling sesuai sebagai bingkai sejarah bagi cerita Panji.

Berdasarkan hal itu sangat mungkin cerita Panji tidak mengacu kepada satu bingkai sejarah masa tertentu saja, melainkan kepada banyak peristiwa sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah itu yang telah mengilhami para penggubah cerita Panji untuk memasukkannya dalam cerita Panji dalam bentuk uraian yang disamarkan.

Menilik penampilannya dalam bentuk relief, cerita Panji sangat mungkin sudah mulai disusun dan dipahatkan dalam masa akhir Majapahit. Karena hanya candi-candi dari masa akhir Majapahit saja yang dihias dengan fragmen relief cerita Panji. Relief cerita Panji tidak dijumpai pada candi-candi yang dibangun dalam zaman sebelum Majapahit. Untuk sementara ini bangunan masa Majapahit tertua yang dihias dengan fragmen cerita Panji adalah Candi Miri Gambar di Tulungagung (Munandar 2005: 45). Berdasarkan batu yang dipahati angka tahun 13[2]1 S/1399 M yang ditemukan di situs candi tersebut, dapat diketahui bahwa candi itu dibangun dalam masa raja Wikramawarddhana (1389—1429 M), menantu dan pengganti Hayam Wuruk di tahta Majapahit.

Dalam hal ini terdapat bukti relief lain, selain fragmen relief cerita Panji dari Gambyok, Kediri, yang dapat dijadikan data untuk memperkuat pendapat Poerbatjaraka bahwa paling tidak redaksi tertua cerita Panji disusun dalam masa akhir pemerintahan Hayam Wuruk, atau segera setelahnya (Poerbatjaraka 1968: 409) dalam masa Wikramawarddhana. Dengan demikian pendapat Berg yang secara tersamar menduga bahwa telah ada uraian kisah Panji paling tua dalam dalam Jawa Kuna di zaman Singhasari, sudah tentu keliru; karena tidak ada yang mendukungnya, kecuali dugaan itu sendiri.

Kisah Panji sepatutnya jangan dipandang hanya mengacu pada satu bingkai masa dalam sejarah saja, seperti yang telah dikemukakan oleh para ahli selama ini. Antara lain Rouffaer (1909) yang mengemukakan bahwa kisah Panji mencerminkan kehidupan raja Airlangga, Poerbatjaraka (1957) menyatakan bahwa bingkai sejarah kisah Panji dalam dalam zaman pemerintahan Raja Kameswara di Kadiri, Berg (1927) berpendapat bahwa latar belakang cerita Panji adalah sejarah kerajaan Majapahit zaman pemerintahan Hayam Wuruk, adapun Rassers (1959) mengungkap bahwa kisah Panji mungkin dapat dihubungkan dengan kehidupan Ken Angrok, Krtanagara, dan Raden Wijaya.

Mungkin pendapat Rassers perihal latar belakang sejarah kisah Panji ada benarnya, bahwa terdapat lebih dari satu bingkai sejarah yang menjadi acuan kisah-kisah Panji. Hanya saja Rassers menyebutkan hubungan Panji dengan Ken Angrok yang sukar dikonstruksi argumennya. Sedangkan hubungan kisah Panji dengan Krtanagara dan Raden Wijaya memang dapat ditelusuri kaitannya satu dengan yang lainnya.

Apabila diperhatikan dengan seksama dalam kisah-kisah Panji sebenarnya banyak peristiwa sejarah yang diacunya. Peristiwa sejarah itu berkenaan dengan kejadian-kejadian penting yang timbul antara akhir abad ke-13 hingga akhir abad ke-14. Rentangan masa itu meliputi peristiwa-peristiwa sejak jatuhnya kerajaan Singhasari serta terbunuhnya raja Krtanagara akibat serangan Jayakatwang dari Gelang-gelang (1292 M), hingga berakhirnya masa pemerintahan Rajasanagara di tahta Wilwatikta (1389 M). Jadi tidak semata-mata dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk saja (1350—1389 M) sebagaimana yang dinyatakan oleh Berg. Pada dasarnya sejak masa awal berdirinya Majapahit hingga berakhirnya pemerintahan Hayam Wuruk, sarat dengan peristiwa sejarah penting yang berkenaan dengan Majapahit. Dalam era awal berdirinya kerajaan itu saja timbul beberapa kali pemberontakan dan peperangan yang cukup menggoyahkan kehidupan kerajaan, tetapi Majapahit tetap dapat bertahan.

Apabila terjadinya cerita Panji digambarkan dalam bentuk bagan, maka dapat dilihat dalam Bagan IV berikut ini:

Sudah tentu sejak tahun 1292 hingga tahun 1389 banyak sekali terjadi peristiwa sejarah. Peristiwa-peristiwa sejarah yang penting antara lain adalah:

1.Runtuhnya Singhasari akibat serangan mendadak dari Jayakatwang

2.Pelarian Krtarajasa Jayawarddhana (Raden Wijaya) disertai kawan-kawannya dari Singhasari dan mengungsi ke Madura untuk menemui Arya Wiraraja.

3.Raden Wijaya dan kawan-kawan membangun pedukuhan Majapahit di hutan Tarik.

4.Pemberontakan-pemberontakan dalam zaman pemerintahan Jayanagara di Majapahit (1309—1328 M).

5.Masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani, dan aktivitas pemadaman pemberontakan yang dilakukan oleh pasukan Majapahit yang dipimpin langsung oleh sang ratu.

6.Masa keemasan Majapahit di bawah kekuasaan Hayam Wuruk: kemahiran Hayam Wuruk dalam berolah seni, perjalanan-perjalanan raja itu sebagaimana yang diuraikan dalam Desawarnnana, peristiwa Bubat, pernikahan Hayam Wuruk dengan sepupunya yang menurut Pararaton disebut Paduka Sori.

Memang cukup banyak peristiwa sejarah lainnya di luar yang telah disebutkan itu, tetapi dalam kajian ini sengaja peristiwa-peristiwa itulah yang dikemukakan karena berkaitan dengan bingkai sejarah kisah Panji yang sedang ditelisik. Selanjutnya dicoba diungkapkan peristiwa sejarah tertentu yang secara metafora, jadi tidak terang-terangan dijadikan acuan bagi uraian cerita Panji dalam episode tertentu. Apabila disederhana dapat dilihat dalam bagan-bagan sebagai berikut:

Dalam uraian Pararaton dijelaskan bahwa setelah kalahnya Singhasari dan terbunuhnya Bhatara Siva-Buddha (Krtanagara), Raden Wijaya meloloskan diri dari kejaran tentara Daha dengan ditemani oleh sahabat-sahabatnya yang setia, antara lain Sora, Ranggalawe, Nambi, Pedang, dan Dangdi. Hal ini setara dengan uraian kisah Panji yang juga menyebutkan pengembaraan Raden Panji dengan ditemani oleh Punta, Prasanta, Juru Deh, Kretala, Rangga dan lain-lain. Dalam setiap cerita Panji para pengiring itu namanya berbeda-beda.

Dalam Pararaton diuraikan bahwa Raden Wijaya dengan dibantu kawan-kawannya serta atas dukungan Arya Wiraraja (Adipati Sungeneb, Madura) membuat pedukuhan di hutan Trik yang bernama Majapahit. Wijaya tinggal beberapa lama di pedukuhan itu sehingga datanglah pasukan Tartar (Cina), mereka kemudian bersama-sama menyerbu Daha tempat kedudukan Jayakatwang.

Agaknya terdapat kesetaraan antara pembangunan pedukuhan yang dilakukan oleh Raden Wijaya dan kawan-kawan dengan pembangunan pesanggrahan di Wirasaba yang dilakukan oleh Raden Panji dan kawan-kawannya. Kedua ksatrya beserta kawan-kawannya pada akhirnya pergi menuju Daha, hanya dengan tujuan berbeda. Raden Wijaya dengan bantuan tentara Tartar berupaya untuk mengalahkan penguasa Daha kala itu, yaitu Jayakatwang; sedangkan Panji dan kawan-kawannya memasuki Daha untuk membela kerajaan itu dari serbuan tentara Metaun, demikian penuturan kisah Panji Angreni Palembang.

Nagarakrtagama pupuh 48: 2 memberitakan tentang raja Jayanagara yang memimpin langsung penyerangan ke Lumajang, tempat bertahannya Nambi sebagai pemberontak. Lumajang akhirnya dapat dikalahkan, benteng pertahanannya di Pajarakan direbut dan dihancurkan. Nambi beserta keluarga dan para pengikutnya berhasil dibinasakan. Hal yang sama juga diungkapkan dalam Pararaton, bahkan juga ditambahkan perihal adanya pembinasaan terhadap pemberontakan Juru demung, Gajah Biru, Mandana, Wagal, Lusem, dan Ra Kuti (Par.25: 25–35, 26: 5–30 ).

Peristiwa itu agaknya masih diingat oleh para penyusun cerita Panji di masa kemudian, maka dinyatakanlah bahwa Panji dalam pengembaraannya berhasil menaklukkan beberapa kerajaan. Raja-rajanya ada yang dibinasakan ada pula yang secara sukarela menghambakan diri kepada Raden Panji. Hal yang perlu diperhatikan pula adalah bahwa Jayanagara ketika naik tahta Majapahit masih muda belia, sama dengan Raden Panji yang juga masih berusia muda ketika ia berpetualang. Jayanagara pula yang dicatat oleh Nagarakrtagama dan Pararaton sebagai raja Majapahit yang belum mempunyai permaisuri hingga kematiannya.

Dalam hal ini terdapat peristiwa sejarah berdasarkan berita dari Nagara- krtagama dan Pararaton bahwa Ratu Tribhuwanottunggadewi pernah bertindak perwira, ia sikap seperti ksatrya/pria yang memimpin tentara Majapahit untuk menaklukkan Sadeng dan Keta. Bahkan ratu tersebut juga yang merestui Gajah Mada untuk memimpin tentara Majapahit dalam rangka penaklukkan Pulau Bali yang rajanya berperilaku nista (Nag. 49: 4).

Agaknya tindakan ratu Tribhuwanottunggadewi itu telah dijadikan acuan bagi para penggubah cerita Panji. Dengan demikian dinyatakan pula dalam cerita Panji terdapat seorang putri raja, yaitu Candrakirana (putri mahkota Daha) yang dalam penyamarannya juga mampu bertindak perwira, seperti pria dan para ksatrya, gagah berani menaklukkan berbagai kerajaan.

Setelah pemerintahan ratu Tribhuwana, Majapahit diperintah oleh putra ratu itu, yaitu Dyah Hayam Wuruk. Dalam masa pemerintahannya Majapahit mencapai masa kegemilangannya. Menurut berbagai sumber, banyak aspek kebudayaan penting yang berkembang dalam masa kejayaan Majapahit. Nagarakratagama dan Pararaton antara lain mencatat tentang kehidupan istana yang semarak, kesenian, pembangunan candi-candi pendharmaan, perburuan raja, upacara sraddha, dan juga wilayah-wilayah di luar Jawa (timur) yang mengakui kewibawaan Majapahit. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila cerita Panji banyak mendapat inspirasi dari berbagai aspek kebudayaan dan peristiwa sejarah zaman Hayam Wuruk.

Salah satu peristiwa penting yang terjadi pada masa Hayam Wuruk, adalah terjadinya pertempuran Bubat. Walaupun terdapat sementara kalangan yang meragukan terjadinya peristiwa itu, tetapi paling tidak 3 sumber sejarah mencatat adanya peristiwa Bubat dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk. Sumber sejarah itu adalah (a) Serat Pararaton, (b) Carita Parahyangan, dan (c) Kidung historis tentang peristiwa terbunuhnya orang-orang Sunda di Bubat yang terdiri dari beberapa versi. Berg pernah mengkaji kidung historis itu dengan judul “Kidung Sunda, Inleiding, tekst, vertaling en aanteekeningen” (1927), dalam kajiannya ia membahas tentang Kidung Sundayana dan Kidung Sunda. Menurut Zoetmulder Kidung Sunda paling bermutu dari aspek kesejarahannya daripada Kidung Sundayana (1983: 528).

Menurut ketiga sumber tersebut, putri raja Sunda yang semula akan menikah dengan Hayam Wuruk akhirnya meninggal bunuh diri beserta ibu dan para pengiringnya. Peristiwa itu terjadi setelah ayahandanya, Raja Sunda, dan para ksatrya Sunda ditewaskan oleh tentara Majapahit dalam pertempuran di lapangan Bubat. Menurut Pararaton terjadinya peristiwa Bubat itu karena Patih Majapahit tidak setuju kalau diadakan upacara perkawinan, karena putri itu dimaksudkan sebagai persembahan, orang sunda tidak suka akan hal itu, maka pecahlah peperangan di Bubat tahun 1357 M (Hardjowardojo 1965: 53).

Dalam pada itu Hayam Wuruk sendiri tidak mengetahui adanya peristiwa tragis di lapangan Bubat. Menurut Kidung Sunda yang telah diikhtisarkan oleh Zoetmulder, kesedihan Hayam Wuruk tersebut diungkapkan sebagai berikut:

“Hayam Wuruk dilanda rasa sedih dan sesal, setelah cita-citanya yang paling indah tidak terpenuhi seperti yang dibayangkannya, melainkan berakhir dengan demikian tragis. Karena tidak melihat jenazah sang Puteri di antara para bela, harapan bahwa ia mungkin masih hidup lalu dapat dijadikan istrinya, membumbung tinggi lagi. Tetapi setelah tiba di pesanggrahan dan menemukan jenazahnya, ia jatuh pingsan; setelah sadar kembali ia mengungkapkan rasa sedihnya dengan sebuah ratapan yang mengharukan…” (Zoetmulder 1983: 531).

Menurut Pararaton setelah gagalnya perkawinan antara Hayam Wuruk dan Putri Sunda, sang prabhu kawin dengan putri Bhra Prameswara bernama Paduka Sori (Hardjowardojo 1965: 53). Sedangkan menurut Nagarakrtagama, Hayam Wuruk menikah dengan Indudewi, tokoh ini merupakan putri dari Rajadewi Maharajasa, bibi Hayam Wuruk yang berkedudukan sebagai penguasa di Daha (Kadiri). Rajadewi Maharajasa menikah dengan Wijayarajasa (Raden Kudamerta), yang semula dipertuan di daerah Wengker (Nag. 4–5). Dalam hal ini Bhra Prameswara sebenarnya sama dengan Wijayarajasa, dengan demikian Indudewi tidak lain ialah tokoh Paduka Sori sebagaimana yang disebut dalam Pararaton, mungkin Paduka Sori adalah kerusakan dari kata “paduka parama-iswari” (tuan permaisuri).

Hayam Wuruk sendiri merupakan putra dari Tribhuwana Wijayottunggadewi, penguasa Majapahit ke-3 yang semula sebelum menjadi ratu bekedudukan dan berkuasa di wilayah Kahuripan. Tribhuwana kawin dengan Krtawarddhana (Raden Cakradhara) yang dipertuan di daerah Tumapel. Dari perkawinan mereka lahirnya Hayam Wuruk dan adiknya seorang putri yang bernama Rajasaduhiteswari. Krtawarddhana juga mempunyai anak Raden Sotor yang mungkin merupakan kakak lain ibu dari Hayam Wuruk (Nag. 2:2, 3:1—2, Hardjowardojo 1965: 54).

Daerah Kahuripan adalah daerah kekuasaan Tribhuwana, daerah Kahuripan seringkali pula disamakan dengan Jiwana. Dalam prasasti Pamintihan yang berangka tahun Saka 1395/1473 M, raja Majapahit waktu itu Dyah Sura- prabhawa disebutkan sebagai “Penguasa tunggal bumi Jawa, Janggala dan Kadiri (janggalakadiriyawabhumyekadipa). Prasasti lain lagi yaitu Jiwu I yang bertarikh 1408 Saka/1486 M menyebutkan Dyah Ranawijaya sebagai “Paduka Sri Maharaja Sri Wilwatiktapura Janggala Kadiri Prabhu Natha”. Dengan adanya uraian tersebut dapat kiranya diidentifikasikan bahwa Janggala itu sama dengan Kahuripan (Djafar 1978: 113—4).

Berdasarkan keterangan dari berbagai data itulah maka dapatlah dipahami bahwa perkawinan Hayam Wuruk putra penguasa Janggala dengan Indudewi putri penguasa Daha terjadi setelah kematian putri Sunda di Bubat. Putri Sunda adalah perempuan yang dipilih oleh Hayam Wuruk untuk pendampingnya, namun ibunya dan ayahnya dan juga bibi serta pamannya telah menjodohkan Hayam Wuruk dengan Indudewi, putri bibi dan pamannya sendiri. Hal yang jelas adalah bahwa kata Indudewi artinya “dewi rembulan”, bukankah setara dengan nama Candrakirana yang Artinya “cahaya rembulan”.

Dengan demikian secara gamblang dapat disimpulkan bahwa peristiwa sejarah yang diuraikan dalam berbagai karya sastra yang bernilai sejarah, sekitar perjodohan dan perkawinan Hayam Wuruk, telah mengilhami terjadinya kerangka sejarah utama dalam cerita-cerita Panji. Pada dasarnya memang terjadi perkawinan antara pangeran dari Janggala/Kahuripan, yaitu Hayam Wuruk yang kemudian menjadi Raden Panji, dengan putri raja Daha/Kadiri/Panjalu/Taji, yang bernama Indudewi/Candrakirana putri itu dalam cerita Panji dinamakan Sekar Taji Artinya “bunga kerajaan Panjalu/Daha”.

Dalam hal ini jelaslah bahwa tidak perlu mencari bingkai sejarah cerita Panji itu hingga ke zaman pemerintahan raja Kameswara di Kadiri dalam abad ke-12. Bingkai sejarah utama itu tidak sampai hingga zaman Kadiri, melainkan tidak terlalu jauh dari kala pertama mulainya disusun cerita Panji yang menurut Poerbatjaraka terjadi segera setelah kejayaan Majapahit, artinya setelah masa pemerintahan Hayam Wuruk.

Jika saja bingkai sejarah Majapahit yang diacu dalam cerita Panji, maka tidak ada perkara terbaliknya negeri/kerajaan sebagaimana yang pernah dikemu-kakan oleh Poerbatjaraka (1957: 22). Hayam Wuruk memang berasal dari Janggala/Kahuripan sebagaiman halnya Raden Panji, dan Indudewi putri raja Daha adalah sama dengan Sekar Taji/Candrakirana putri raja Daha/Kadiri.

Tafsiran lebih jauh adalah bahwa Raden Sotor, kakak Hayam Wuruk dari lain ibu, dapat disamakan dengan tokoh Raden Brajanata, kakak Raden Panji dari ibu yang lain pula. Adapun Rajasaduhiteswari, adik Hayam Wuruk, dapat disamakan dengan Dewi Ragil Kuning, Onengan, Ratna Wilis atau dinamakan Vorot-kenlong dalam cerita Panji Kamboja. Persamaan-persamaan itu demikian kentaranya sehingga dapat dinyatakan bahwa bingkai sejarah utama cerita-cerita Panji adalah perihal kegagalan perkawinan Hayam Wuruk dengan Putri Sunda, dan pada akhirnya Hayam Wuruk kawin dengan putri Indudewi (Candrakirana), saudara sepupunya sendiri.

Peristiwa sejarah lainnya yang sangat mungkin diacu dalam uraian cerita Panji adalah perjalanan-perjalanan Hayam Wuruk ke beberapa daerah di Jawa bagian timur, sebagaimana yang dicatat oleh Mpu Prapanca dalam Desawarnnananya (1365 M). Menurut Nagarakratagama paling tidak Rajasanagara mengadakan perjalanan keliling wilayah Wilwatikta sebanyak 7 kali, sebagai berikut:
1.Perjalanan ke Pajang, tahun 1275 S/1353 M (Nag.17: 6)
2.Perjalanan ke Lasem, tahun 1276/1354 M (Nag.17:6)
3.Perjalanan ke Pantai Selatan, tahun 1279 S/1357 M (Nag.17: 6)
4.Perjalanan ke Lumajang, tahun 1281 S/1359 M (Nag.17: 7–38: 3)
5.Perjalanan ke Tarib dan Sampur (berburu), tahun 1282 S/1360 M (Nag.61:1)
6.Perjalanan ke Palah, tahun 1283 S/1361 M (Nag.61:2—4 & 62:1–2)
7.Perjalanan ke Simping, tahun 1285 S/1363 M (Nag.70:1–3)
Perjalanan itu ada yang diuraikan secara panjang lebar oleh Mpu Prapanca, misalnya perjalanan ke wilayah Lumajang, tetapi ada pula yang hanya disebutkan tahun perjalanannya saja, misalnya kunjungan ke Pajang dan Lasem.

Dalam perjalanan tersebut Hayam Wuruk menikmati kesenangan duniawi yang dipersembahkan oleh para kepala desa, adipati, ataupun juga para pejabat di daerah-daerah yang dilaluinya. Agaknya peristiwa sejarah itu memperlihatkan jejaknya dalam uraian cerita Panji, terutama ketika dalam pengembaraannya Raden Panji diterima oleh para adipati atau para raja dengan tangan terbuka. Kepada Panji dan kawan-kawannya disajikan berbagai suguhan makanan, kesenian, dan putri-putri yang bersedia dijadikan teman Panji untuk melampiaskan asmaranya.

Selama perjalanan-perjalanannya tersebut juga diuraikan bahwa Hayam Wuruk berkunjung ke bangunan-bangunan suci, antara lain Rabut Palah (candi Panataran), Simping (candi Sumber Jati), Jajawi (candi Jawi), dan Surabhana (candi Surawana); melakukan pemujaan terhadap dewa; membangun candi pendharmaan dan aktivitas-aktivitas yang bersifat keagamaan lainnya. Demikian pula halnya dengan Raden Panji, dalam beberapa bagiannya cerita Panji disebutkan bahwa ia mengadakan upacara pemujaan di bangunan suci, antara lain di Palah, dan candi Tukum, mendirikan Candi Bang untuk mengenang kekasihnya yang pertama, dan lain-lain.

Perihal Panji yang menguasai beberapa bidang kesenian, seperti ia pandai menggubah puisi (kakawin), mahir memainkan instrumen musik, menjadi pemain sandiwara dengan peran perempuan, dan lainnya lagi. Dalam Pararaton dijelaskan bahwa Hayam Wuruk atau Raden Tetep mempunyai banyak gelar dalam bidang kesenian, apabila ia bertindak sebagai dalang gelarnya adalah Tritaraju, jika memerankan peranan sebagai wanita bernama Pager Antimun, apabila berperang sebagai pelawak disebut Gagak Katawang, sementara itu ia juga dikenal sebagai orang yang taat sebagai pemuja Siwa dinamakan Mpu Janeswara (Hardjowardojo 1965: 51).

Jadi cukup banyak adegan dan alur cerita Panji yang dapat dikembalikan kepada bingkai peristiwa sejarah dalam masa pemerintahan Hayam Wuruk di Majapahit. Tetapi cerita Panji tidak sepenuhnya mengacu kepada peristiwa sejarah masa Hayam Wuruk, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Berg (1928). Bagian-bagian lainnya dari cerita itu terbukti mengacu kepada bingkai sejarah raja-raja Majapahit sebelum Hayam Wuruk.

V

Sebenarnya masih terdapat episode-episode tertentu dalam cerita Panji yang dapat dikembalikan kepada uraian dari sumber sejarah tertentu. Misalnya dalam Serat Panji Angreni, naskah ini ditulis dengan aksara Jawa, berbahasa Jawa Baru, tetapi di beberapa bagian terselip kata-kata dari bahasa Jawa Pertengahan atau bahasa Jawa Kuna (Saputra 1998: 7). Dalam sekuen 136 menurut kajian Karsono H.Saputra terdapat uraian perang tanding antara Panji Jayengsari dengan para pengikutnya yang asli melawan Bambang Sutama yang mengaku sebagai Panji Kudawanengpati beserta para kadeyannya yang semuanya palsu. Akhirnya tokoh-tokoh palsu itu dapat dikalahkan semua oleh tokoh-tokoh yang aslinya (Saputra 1998: lampiran 11—12).

Sekuen 136 itu sebenarnya sangat mirip dengan uraian dalam Pararaton, ketika Raden Wijaya beserta kawan-kawannya berkunjung ke istana Daha untuk menemui Jayakatwang yang baru memenangkan perang atas Singhasari. Di Daha lalu diadakan pertandingan adu kesaktian antara para pengikut Raden Wijaya dan kaum pahlawan Daha. Bentuk pertandingan itu berupa adu lari cepat dan kemahiran memainkan keris yang diiringi gamelan. Pada akhirnya orang-orang Daha itu dapat dikalahkan oleh para pengikut Wijaya, dan saat itu Raden Wijaya menjadi tahu mutu kewiraan orang-orang Daha yang mungkin dapat dikalahkannya (Hardjowardojo 1965: 43—44).

Dalam hal ini didapatkan contoh lagi bahwa peristiwa-peristiwa sejarah yang diuraikan oleh sumber-sumber yang diakui sangat berbobot historis kerapkali menjadi acuan dalam penggubahan suatu episode cerita Panji. Keadaan itu dapat saja dibalik, yaitu memperhatikan episode-episode dalam cerita Panji yang mungkin dapat membantu menjelaskan gambaran sejarah kuna yang masih buram atau samar-samar. Dengan demikian terbukalah suatu kesempatan bagi para penelisik sejarah kuna zaman Majapahit untuk lebih mencermati cerita-cerita Panji. Mungkin saja di antara uraian cerita-cerita Panji yang ada, sebenarnya tersembunyi peristiwa sejarah yang benar-benar telah terjadi, tetapi disamarkan dan dikaitkan dalam rangkaian alur cerita Panji tertentu.

Peristiwa sejarah itu dapat saja benar-benar diolah menjadi baru sama sekali, seakan-akan tidak pernah terjadi dan tidak berkaitan dengan tokoh raja manapun. Oleh karena itu penelisikan harus menggunakan dan memerlukan data banding yang cukup luas, dari sumber-sumber sezaman yang otentik. Boechari (1965) pernah melakukan hal itu, yaitu memperhatikan uraian cerita Panji untuk mencoba membantu memecahkan permasalahan sejarah kuna Indonesia.

Kesimpulan Boechari atas kajian tokoh Rakryan Mahamantri I Hino Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadottunggadewi adalah bahwa tokoh itu bukan istri Airlangga, melainkan anak sulung Airlangga yang menjadi putri mahkotanya. Kemudian karena suatu sebab Sri Sanggramawijaya lalu mengundurkan diri menjadi pertapa. Tokoh inilah yang sering dihubungkan dengan Kili Suci, Rara Sucian, Rara Kapucangan, atau Rara Sunthi dalam Serat Kanda, Babad Tanah Jawi, dan cerita-cerita Panji (Boechari 1965: 71 & 73).

Satu hal yang menarik dalam beberapa cerita Panji adalah adanya penyebutan tokoh raja tua yang telah menjadi pertapa, yaitu Rsi Gentayu. Tokoh ini oleh para ahli sejarah kuna dianggap sebagai Erlangga, ia mempunyai anak sulung yang menjadi pertapa wanita, yaitu Rara Sucian, adik-adiknya 4 pria, semua menjadiraja (ada yang menyebut 3 pria dan yang bungsu perempuan). Rara Sucian itulah yang berhasil diidentifikasikan oleh Boechari sebagai Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadottunggadewi. Jadi dalam cerita Panji tertentu ada pula yang bingkai sejarahnya mengacu hingga abad ke-11 M, dalam zaman terakhir pemerintahan Airlangga (1019–42 M). Itulah salah satu permasalahan yang masih dapat ditelisik lebih lanjut. Sebab mungkin saja Resi Gentayu dan Rara Sucian itu justru tokoh-tokoh yang belum dapat dijelaskan, namun mereka barasal dari periode Majapahit. Bisa saja mereka memang berasal dari abad ke-11, yaitu Airlangga serta anak sulungnya, putri Sanggramawijaya; tetapi karena peristiwanya sudah sangat jauh terjadi pada ratusan tahun sebelum zaman Hayam Wuruk, lalu para penggubah cerita Panji secara leluasa memadukan berbagai peristiwa sejarah itu dalam kesatuan cerita saja, yaitu Kisah Panji. Walau bagaimanapun tetap saja bingkai sejarah utama dari kisah Panji adalah masa awal berdirinya kerajaan Majapahit hingga periode kejayaannya. Majapahit. Masa Koripan dengan Resi Gentayu-nya andaikata benar dapat diidentifikasikan dengan Airlangga hanya merupakan bingkai sejarah pembuka saja dalam cerita Panji, justru yang selanjutnya berperanan adalah tokoh Raden Panji sendiri yang merupakan metafora dari para raja Majapahit dari Raden Wijaya sampai Hayam Wuruk dalam masa mudanya.


DAFTAR PUSTAKA

BARIED, SITI BAROROH, Dkk. 1987, Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

BERG, C.C., 1974, Penulisan Sejarah Jawa. Terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia oleh S.Gunawan.Jakarta: Bharatara

BOECHARI, 1965, “Rakryan Mahamantri I Hino Sri Sanggramawijaya Dharmmaprasadottunggadewi”, dalam Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional Kedua, 1962, VI, Seksi D (Seksi Sastra dan Budaja). Djakarta: Madjlis Ilmu Pengetahuan Indonesia. Halaman 53–84.

—————, 1977a, “Epigrafi dan Sejarah Indonesia”, Majalah Arkeologi. 1(2): 1–40. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

—————, 1977b, “Candi dan Lingkungannya”, Majalah Ilmu-ilmu Sastra Indonesia (MISI) 7, (27): 89–114. Jakarta: Bhratara.

BOSCH, F.D.K., 1956, “C.C.Berg and Ancient Javanese History”, BKI. Deel 12: 1–24. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

BRANDES, J.L.A., 1913, Oud-Javaansche Oorkonden (O.J.O.): Nagelaten Transscripties. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenscappen. Deel LX. Batavia: Albrecht & Co, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

DJAFAR, HASAN, 1978, Girindrawarddhana: Beberapa Masalah Majapahit Akhir. Jakarta: Yayasan Dana Pendidikan Buddhis.

HARDJOWARDOJO, PITONO, 1965, Pararaton. Djakarta:Bhratara.
MUNANDAR,AGUS ARIS, 1992, “Citra Panji dalam Masyarakat Majapahit Akhir”, Lembaran Sastra Universitas Indonesia, Seri Penerbitan Ilmiah No.17/Juli. Halaman 1–16.

——————, 2005, “Tinjauan Ringkas Candi Miri Gambar”, dalam Kalajantra: Kumpulan Kajian Arkeologi Hindu-Buddha Jawa Timur. Depok: Laboratorium Arkeologi, Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Halaman 33–50.

POERBATJARAKA, R.M.Ng., 1968, Tjeritera Pandji dalam Perbandingan.Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Zuber Usman dan H.B.Jassin. Djakarta: PT.Gunung Agung.

POERBATJARAKA, R.M.Ng. & TARDJAN HADIDJAJA, 1957, Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan.

RAS, J.J., 1973, “The Pandji Romance and W.H.Rassers’ Analysis of Its Theme”, dalam BKI. Deel 129: 411–456. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.

ROBSON, S.O., 1971, Wangbang Wideya: A Javanese Panji Romance. The Hague: Martinus Nijhoff.

SAPUTRA, KARSONO H., 1998, Aspek Kesastraan Serat Panji Angreni. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

SULEIMAN, SATYAWATI, 1978, The Pendopo Terrace of Panataran. Pictorial number 2. Jakarta: Proyek Pelita Pembinaan Kepurbakalaan dan Peninggalan Nasional.

SUMADIO, BAMBANG (editor jilid), 1984, Sejarah Nasional Indonesia II: Jaman Kuna. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan & Balai Pustaka.

ZOETMULDER, P.J., 1983, Kalangwan: Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Dick Hartoko SJ. Jakarta: Djambatan.

YAMIN, MUHAMMAD, 1962, Tata Negara Madjapahit, jaitu Risalah Sapta-parwa berisi 7 djilid atau parwa, hasil penelitian ketatanegaraan Indonesia tentang dasar dan bentuk negara Nusantara bernama Madjapahit, 1293—1525. Parwa I. Djakarta: Prapantja.

*Seminar Internasional Jawa Kuna: Mengenang Jasa-jasa Prof.Dr.P.J.Zoetmulder S.J. Kajian Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa Kuna.
Diselenggarakan oleh Program Studi Jawa,
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia,
Depok, 8—9 Juli 2005


Tanggapan

  1. salam..keren…

  2. cerita yg bagus,sy menyukainya tanpa ada komen yg lbh

  3. tepat sekali analisanya…..

  4. pengen tahu silsilah kerajaan daha..
    ada yg bisa bantu..?

  5. Reblogged this on Blog-e Gilang Surya 'Lasem'.

  6. HEBAT….. bagus banget….. SALAM Kenal dari bagelen (Purworejo, jateng)


Tinggalkan komentar

Kategori