Oleh: hurahura | 12 Juli 2011

Peninggalan Megalitik Gunung Padang, Cianjur

Peninggalan megalitik di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat (Foto-foto: Koleksi Marsad)

Suara Pembaruan, 25 Maret 1988 – Batu-batu itu berserakan di atas sebuah bukit. Ada yang berbentuk persegi panjang, ada pula yang tak beraturan. Namun dibandingkan kebanyakan batu, batu-batu di atas bukit ini memberikan warna tersendiri. Soalnya kalau dipelajari dengan cermat, batu-batu tersebut bisa menghasilkan rangkaian kisah sejarah yang menarik. Bisa dibayangkan, bagaimana masyarakat zaman kuno menyusun batu-batu sedemikian rupa, sehingga membentuk sebuah bangunan yang dalam arkeologi dikenal dengan nama bangunan berundak.

Menurut para arkeolog, bangunan berundak yang terdapat di Gunung Padang ini, berasal dari tradisi megalitik (batu besar). Gunung Padang terletak di desa Cimenteng, kecamatan Campaka, kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

Untuk menuju ke sana kita dapat memilih dua rute perjalanan, melalui Pal Dua atau Tegal Sereh. Kalau menggunakan jalur Pal Dua, kita harus menempuh jalan Cianjur-Sukabumi, kemudian dari desa Warungkondang membelok ke kanan menuju ke Cipadang – Cibokor – Lampegan – Pal Dua – Ciwaringin – Cimanggu – Gunung Padang. Rute lain melalui Cianjur – Sukabumi, selanjutnya dari Sukaraja membelok ke kiri – Cireungas – Cibanteng – Rawabesar – Sukamukti – Cipanggulaan – Gunung Padang.


Muncul ke permukaan

Bangunan berundak Gunung Padang muncul ke pentas prasejarah sekitar tahun 1979. Ketika itu beberapa penduduk, di antaranya Endi yang sekarang menjadi juru pelihara kepurbakalaan, sedang mencangkul tanah. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh adanya dinding tinggi dan susunan batu berbentuk balok. Setelah dilaporkan ke Penilik Kebudayaan kecamatan Campaka dan Kepala Seksi Kebudayaan kabupaten Cianjur, pihak berwenang ini meneruskannya ke Pusat.

Haris Sukendar, peneliti prasejarah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam sebuah laporannya mengatakan bangunan berundak Gunung Padang merupakan temuan yang cukup penting karena dapat dipergunakan sebagai bahan studi bandingan dalam penelitian bangunan berundak di Indonesia.

Sebenarnya, adanya bangunan berundak sudah diketahui sejak 1914. N.J. Krom dalam Rapporten Oudheidkundige Dienst (Laporan Dinas Purbakala) menyebutkan di puncak gunung, dekat Gunung Melati ada empat teras yang disusun dari batu kasar, berlantai kasar, dan dihiasi dengan batu-batu andesit berbentuk tiang yang berdiri tegak. Pada setiap teras terdapat satu bukit kecil (kuburan), dikelilingi dan ditimbuni batu, juga ditandai dua batu yang lancip.

Lama setelah tulisan Krom, situs ini tertutup oleh hutan dan semak belukar. Baru beberapa tahun lalu, setelah terkuak ke permukaan, namanya mulai dikenal kembali oleh para peziarah atau pencari berkah. Sampai sekarang pada malam-malam tertentu, terutama malam Senin Kliwon dan Jumat Kliwon, situs Gunung Padang sering didatangi oleh rombongan seniman seperti pesinden, penari jaipong, dalang, dan penabuh gamelan, bahkan penyanyi pop. Selain itu pedagang yang ingin cepat maju dan orang yang ingin punya jodoh pun datang ke sini. Untuk mereka itu ada tempatnya masing-masing. ”Seniman di sana dan pedagang di situ,” kata Endi (57 tahun) sambil menunjuk tempat-tempat yang dimaksud.

Beberapa penduduk mengatakan, di Gunung Padang ini kadang-kadang terdengar suara gamelan, orang memainkan wayang, atau suara kecapi. Kejadian ini terutama berlangsung pada malam Senin dan Rabu.


Unik

Di luar cerita-cerita yang berbau mistik, yang jelas beberapa peneliti prasejarah Indonesia menganggap peninggalan tradisi megalitik Gunung Padang merupakan data otentik yang sangat berharga karena masih lengkap. Meskipun begitu memang diakui belum ada gambaran secara luas tentang bangunan berundak itu, terutama menyangkut fungsi dan latar belakangnya. Krom yang termasuk salah satu peneliti pertama berpendapat, Gunung Padang merupakan situs penguburan. Sebaliknya beberapa sarjana Indonesia lebih cenderung menganggapnya sebagai tempat pemujaan.

Tentu ada berbagai alasan yang dikemukakan oleh para sarjana itu. Bagi orang awam dan juga menurut para ahli kepariwisataan, yang penting kepurbakalaan Gunung Padang termasuk unik dan langka. Dalam arti jarang ditemukan di tempat-tempat lain di Indonesia.

Dikatakan, bangunan-bangunan teras Gunung Padang mempunyai peranan dalam upacara-upacara tertentu. Di samping itu dengan adanya temuan-temuan seperti lumpang batu, batu pipisan, dan batu gandik, para ahli lebih yakin bahwa situs Gunung Padang merupakan bukti kebesaran masyarakat Jawa Barat masa lampau.

Dibandingkan dengan bangunan-bangunan serupa di tempat lain, situs Gunung Padang termasuk besar. Teras pertama memiliki ukuran 28 meter hingga 40 meter. Teras-teras selanjutnya: teras kedua, teras ketiga, teras keempat, dan teras kelima, makin ke atas makin kecil. Diduga teras kelima yang terletak paling tinggi merupakan teras tersuci, tempat berlangsungnya upacara-upacara sakral.

Endi mengemukakan, teras kelima itu sering dihubungkan dengan cerita tentang Prabu Siliwangi. Konon tokoh dari Jawa Barat tersebut dimakamkan di tempat ini. ”Saya sendiri tidak tahu. Pokoknya sejak kakek bapak, makam itu sudah ada,” cerita Endi.

Menurut legenda atau cerita rakyat, bangunan berundak di Gunung Padang didirikan oleh Prabu Siliwangi. Alkisah pada suatu hari. Prabu Siliwangi mendapat titah untuk membangun istana batu dalam waktu semalam. Sang tokoh pun segera memotong batu-batu besar mengikuti bentuk balok, bongkahan, dan serpihan. Berkat kesaktiannya, batu-batu tersebut disusun dan ditata menjadi lantai, anak tangga, gerbang, tembok keliling, dan dinding.

Namun sang purnama dan sang bintang tidak mau diajak kompromi. Akibatnya embun pagi mulai menetes. Sang surya pun mulai bangkit dari ufuk timur. Hari semakin terang. Betapa kecewanya hati sang prabu. Tak kuasa menahan amarah, ditendangnya bangunan yang hampir rampung itu. Kemudian ditinggalkannya serakan dan tumpukan batu di atas bukit. ”Bukit inilah yang disebut Gunung Padang. Dalam bahasa Sunda padang berarti siang,” ujar seorang penutur cerita.

Masyarakat pun mempunyai berbagai versi cerita. Konon setiap batu atau susunan batu mempunyai makna sendiri. Ada yang dianggap sebagai tongkat Prabu Kiansantang, ada pula yang dianggap masjid atau harimau.

Situs Gunung Padang terletak pada ketinggian 885 meter di atas permukaan laut. Karenanya kerusakan situs dan bangunan tidak dapat dihindari lagi. Selama sekian waktu, hujan selalu mengikis tanah yang lembek. Masyarakat sekitar pun masih belum sadar, hampir selalu memanfaatkan tanah kosong di lokasi situs. [Djulianto Susantio]


Tinggalkan komentar

Kategori