Oleh: hurahura | 22 Agustus 2014

Terlalu Atur Bendawi

Sejumlah pihak menilai Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan lebih banyak mengatur aspek-aspek kebudayaan secara bendawi atau tangible. Sementara itu aspek-aspek kebudayaan nonbendawi atau intangible justru kurang tersentuh.

”Ada ketimpangan karena (Rancangan Undang-Undang tentang Kebudayaan) terlalu banyak mengatur hal-hal tangible dan kurang berani mengupas hal-hal yang intangible,” ujar Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Junus Satrio Atmodjo, di Jakarta, Kamis (21/8).

Semangat RUU Kebudayaan Bukan Pengendalian

Menurut Junus, pengaturan aspek-aspek bendawi kebudayaan sebenarnya sudah banyak terwakili dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sementara itu konsep kebudayaan semestinya justru lebih banyak mengatur tentang hal-hal nonbendawi.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kebudayaan tak terlalu terlihat hubungan antara aspek kebudayaan yang bendawi dan nonbendawi. ”Keduanya justru seperti dua hal yang terpisah,” kata Junus.

Aspek-aspek kebudayaan nonbendawi kadang bersifat abstrak dan dinamis. Meski demikian, pada prinsipnya, aspek-aspek itu juga merupakan bagian dari produk pemikiran budaya.

Kebudayaan secara nonbendawi, menurut Junus, pakem-pakemnya memang dapat dilestarikan. Akan tetapi, ekspresi dan kreativitas di dalamnya yang sangat beragam serta dinamis tidak bisa diatur. ”Kekayaan kebudayaan ada pada kreativitas. Karena itu, jika kebudayaan diseragamkan, tentu saja banyak pihak yang tidak setuju,” ujar dia.


Bukan pengendalian

Ide penyusunan RUU tentang Kebudayaan telah bergulir puluhan tahun lalu. Awalnya, nuansa RUU itu lebih kepada upaya pengendalian praktik-praktik kebudayaan di Indonesia. Namun, seiring perkembangan demokrasi, RUU tentang Kebudayaan mulai disusun dengan nuansa lebih memberi ruang pada kebebasan berekspresi.

Meski demikian, pembahasan dan pengesahan RUU tentang Kebudayaan tak kunjung tuntas. RUU itu berada pada tegangan dua sisi yang sangat berbeda, yaitu antara dibutuhkan dan ditolak.

Junus berpendapat, RUU tentang Kebudayaan jangan terlalu memberi porsi pengelolaan atau pengaturan kebudayaan kepada pemerintah. Akan tetapi, wewenang pengelolaan harus diserahkan kepada masyarakat.

Prinsipnya, RUU tentang Kebudayaan harus bisa membangun mekanisme pengendalian oleh masyarakat, bukan oleh pemerintahan. ”Saat ini, yang menyusun RUU itu sebagian besar dari kalangan pemerintah sehingga di dalamnya banyak muncul perintah,” tutur Junus.

Budayawan Radhar Panca Dahana menambahkan, sebagian besar aktivitas kebudayaan justru dilakukan dan diurusi sendiri oleh masyarakat, bukan pemerintah. Rakyat yang menjalani dinamika kebudayaan.

”Peran pemerintah sangat kecil. Pemerintah hanya mengurusi situs, museum, artefak, dan tidak pernah mengurus kebudayaan kecuali produknya,” papar Radhar.

Bagi Radhar, kebudayaan bisa dipahami, tetapi tidak bisa didefinisikan secara final. Kebudayaan juga bukan soal material, melainkan soal imateriil sehingga pembahasannya membutuhkan diskursus panjang, mendalam, serta harus melibatkan banyak pihak. (ABK)

(Sumber: Kompas, Jumat, 22 Agustus 2014)


Tinggalkan komentar

Kategori