Oleh: hurahura | 30 Agustus 2014

Penghuni Goa Harimau Leluhur Orang Sumatera…

Ekskavasi Goa HarimauKOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Arkeolog mengekskavasi Homo sapiens di situs Goa Harimau, Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, akhir Mei 2014. Pada ekskavasi ketujuh ini, Pusat Arkeologi Nasional turut menggandeng para peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk mendeteksi DNA Homo sapiens di situs ini dan membandingkannya dengan sampel DNA masyarakat sekitar untuk menelusuri hubungan genetik.

BEBERAPA saat sebelum menemukan fosil Pithecanthropus erectus tahun 1891 di Trinil, Ngawi, Jawa Timur, Eugene Dubois, seorang dokter asal Belanda, sempat menyusuri Payakumbuh, Sumatera Barat, untuk mencari jejak manusia purba. Meski demikian, di Sumatera, jejak-jejak manusia purba ataupun manusia prasejarah justru tak pernah ditemukan. Karena hanya menemukan fosil-fosil hewan, Dubois akhirnya pindah ke Jawa dan menemukan fosil legendaris, Pithecanthropus erectus.

Kekosongan temuan jejak leluhur manusia di Sumatera selama puluhan tahun akhirnya terjawab ketika warga Desa Padang Bindu, Semidang Aji, Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, menemukan kerangka manusia di Goa Harimau pada 2008. Setahun kemudian, Pusat Arkeologi Nasional mengekskavasi goa tersebut dan mereka menemukan kuburan massal Homo sapiens!

Hingga ekskavasi ketujuh pada Mei 2014, Tim Penelitian Goa Harimau dari Pusat Arkeologi Nasional telah mengekskavasi 78 individu Homo sapiens. Selain tulang belulang, di goa itu juga ditemukan aneka macam peralatan, seperti serpihan batu obsidian, alat pipisan, alat tumbuk, dan logam.

Goa Harimau yang berada di bentangan karst Pegunungan Bukit Barisan, Sumatera Selatan, memang sangat cocok untuk hunian. Dari sisi geologis, tempat ini sangat ideal karena berada di dekat sumber air, sumber makanan, peralatan batu, dan berada di lokasi tinggi sehingga bagus untuk tempat pertahanan.

Arkeolog prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional, Harry Truman Simanjuntak, mengatakan, temuan kerangka Homo sapiens Goa Harimau sangat menjanjikan karena membuka jejak-jejak manusia tertua di Sumatera. Namun, apakah kerangka-kerangka individu itu benar-benar cikal bakal leluhur masyarakat Sumatera, sampai sekarang masih sekadar menjadi dugaan yang belum menemukan landasan faktual.

Akhir Mei 2014, tim peneliti Pusat Arkeologi Nasional turut menggandeng Lembaga Biologi Molekuler Eijkman untuk meneliti lebih lanjut asam deoksiribonukleat (DNA) tulang Homo sapiens Goa Harimau. Deputi Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo bersama dua anggota stafnya datang langsung ke lokasi mengambil sampel tulang gigi dan tulang kering Homo sapiens.

Sampel sengaja diambil dari dua tulang itu karena kondisinya yang paling bagus. Tulang gigi relatif lebih terlindungi karena dilapisi email, sedangkan tulang kering yang panjang dan kompak juga lebih keras sehingga kondisi bagian dalam tulang tersebut masih bagus dan belum terpengaruh material lain.

Sampel DNA itu kemudian diteliti urutan DNA-nya dan dilihat motif-motifnya untuk memastikan apakah kerangka-kerangka individu di Goa Harimau adalah Homo sapiens periode pleistosen atau tidak.

”Kalau upaya ini belum menemukan hasil, kami mengirim sampel DNA ke mitra kami di University of California, Santa Cruz (UCSC). Mereka pernah mengidentifikasi kerangka individu Neanderthal. Para peneliti di sana juga memiliki alat dan menguasai teknologi penelusuran DNA,” papar Herawati, beberapa waktu lalu, di Jakarta.


Pencocokan DNA

Menurut Herawati, DNA Homo sapiens Goa Harimau juga akan dicocokkan dengan DNA masyarakat di sekitar situs tersebut. Dengan demikian, bisa dipastikan apakah Homo sapiens itu leluhur masyarakat Sumatera atau tidak.

Meski kepastian itu belum terjawab, bisa ditegaskan bahwa tulang belulang puluhan individu Goa Harimau adalah kerangka Homo sapiens. Pada ekskavasi keenam situs Goa Harimau pada 2013, Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional berhasil mengidentifikasi lapisan tanah berusia 14.825 tahun pada kedalaman 2 meter yang menjadi konteks lokasi tulang belulang tersebut ditemukan. Dengan demikian, bisa diperkirakan bahwa umur kerangka-kerangka itu sama dengan konteks tanah di sekitarnya. (ALOYSIUS B KURNIAWAN)

(Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2014)


Tinggalkan komentar

Kategori