Oleh: hurahura | 2 Maret 2012

Bedah Pasien, Izin Pengadilan

Warta Kota, Rabu, 29 Februari 2012 – Dulu di pekarangan belakang gedung Bank Indonesia di kawasan kota tua Jakarta, pernah berdiri Binnenhospital. Rumah sakit di Batavia ini, menurut Dr. De Haan dalam buku Oud Batavia, berdiri pada 1632. Binnenhospital dikelola oleh Schaftmeester atau Binenvader, yaitu seorang pemimpin tertinggi sekaligus ahli pengobatan. Dia dibantu oleh beberapa orang ahli bedah.

Sayang, banyak tenaga medis dicomot sembarangan dari toko-toko pemangkas rambut di Belanda. Mereka dibawa ke Batavia secara paksa atau setengah paksa. Umumnya mereka anak-anak tanggung yang baru berusia belasan tahun. Sebagian lagi adalah tentara. Sebelum dikirim ke Batavia, terlebih dulu mereka harus mengikuti kursus pembedahan. Kursus diberikan setiap dua minggu selama satu jam. Sejumlah kelasi juga banyak mengikuti kursus ini, maklum pelayaran yang lama dan jauh terkadang membutuhkan ahli bedah untuk menolong penumpang kapal.

Karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, maka pembedahan sering kali mengalami kegagalan. Hal ini karena mantan tukang cukur itu langsung menorehkan pisau bedah ke tubuh pasien. Bila si pasien meronta maka juru bius mengirim beberapa pukulan ke rahangnya Akibatnya angka kematian ketika itu relatif tinggi. Pada masa 1734-1738 tercatat 30-45 pasien meninggal dunia per hari selama musim penghujan. Umumnya mereka terserang tipus, kolera, dan disentri. Selain itu banyak kejorokan dalam pertolongan medis pada satu-satunya rumah sakit di Batavia itu. Sebagai contoh, pemeriksaan pasien dilakukan dengan cara kilat. Bayangkan, dalam tempo setengah jam saja, 500-600 pasien selesai didiagnosis.

Pencatatan resep obat dilakukan oleh budak-budak yang ditunjuk. Setelah itu si budak akan membawa obat di cangkir sambil memanggil nama si pasien yang berbaring di ranjang. Cairan obat tersebut harus langsung diminum. Mereka yang menolak minum akan terkena hukuman berupa ayunan tongkat rotan ke punggung. Sering kali pasien meninggal karena salah meminum obat. Dr. De Haan menyebut cara pemeriksaan dan pemberian obat secara brutal itu sebagai ‘pertunjukan topeng monyet’.

Mengingat adanya kasus-kasus ‘malpraktek’ seperti itu, maka kemudian dikeluarkan keputusan bahwa setiap pembedahan hanya boleh dilakukan atas seizin pengadilan. Hal ini untuk meminimalisasi jatuhnya korban dan tuntutan hukum kepada ahli bedah. Meskipun demikian, aturan tersebut sering kali diabaikan oleh pihak rumah sakit. (Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya)


Tinggalkan komentar

Kategori