Oleh: hurahura | 3 Agustus 2010

Cakrawala, Teratai & Merapi

Tempointeraktif.com, 11 Oktober 1975 – MENGAPA kaki candi Borobudur yang asli masih dibungkus lapisan 12,5 ribu meter kubik batu? Ketika Ijzerman berhasil membongkar “sepatu” yang mengelilingi kaki candi yang asli, dia juga bertanya-tanya. Namun baik ljzerman, maupun van Erp yang memimpin restorasi pertama, mencari jawabannya di bidang mereka sendiri: teknik.

Mereka berpendapat: melorotnya tembok-tembok piramid Borobudur bukan baru terjadi belakangan ini, katakanlah selama 2-3 abad terakhir. Tapi sudah lebih 1000 tahun yang lalu ketika candi itu baru dalam taraf konstruksi. Karena itu, untuk mencegah merosot dan bertambah miringnya tembok-tembok yang bertumpu pada kaki candi, dibangunlah tembok batu baru mengelilingi kaki candi asli dengan tebal 6 meter dan tinggi 3 meter. Maka tertutuplah relief Kamadhatu dari pandangan mata manusia, sampai Ijzerman nenemukannya tahun 1885.


Selibat

Menghadapi teori teknis itu, tahun I933 seorang ahli lain, W.F. Stutterheim, mengeluarkan sanggahannya. Menurut orang ini, “sepatu batu” itu sudah dirancang orang sebelum pembangunan Borobudur dimulai. Dan punya makna religius tertentu. “Borobudur”, katanya, “tidak dimaksud untuk orang awam yang membutuhkan penerangan tentang hukum Karma”.

Lantas buat siapa? Buat para biksu atau ulama Buddha, tempat mereka bermeditasi. Nah, justru untuk para ulama yang menjalankan. Selibat (tidak kawin) dan harus berpisah dengan kehidupan duniawi yang penuh hawa-nafsu ini, kontak dengan lingkaran Hawa Nafsu (Kamadhatu) tidak diperlukan lagi dan karena itulah ditutup. Sedang di fihak lain, bagi para seniman yang memahat relief, adegan yang panjangnya 300 meter itu merupakan keharusan. Soalnya, Borobudur merupakan satu tiruan dari gunung Maha Meru, tempat para dewata konon bertakta.

Meskipun kaum Buddhis India tidak pernah memperbincangkan eksistensi dewa-dewa itu, mereka masih menganggap gunung Maha Meru keramat. Itulah gunung sorga dengan 3 lapisan (lingkaran)nya: lingkaran Hawa Nafsu (Kamadhatu), lingkaran Rupadhatu di mana sang Buddha masih berbentuk, dan lingkaran Arupadhatu di mana sang Buddha sudah mencapai kesempurnaan. Untuk itu Borobudur dibagi dalam 3 bagian.

Pertama kaki candi yang penuh ukir-ukiran Kamadhatu. Disusul dengan 5 teras (tangga-tangga) yang ditandai dengan 432 patung Buddha yang duduk dalam relung-relung di lorong-lorongnya. Sedang bagian ketiga adalah puncak candi yang terdiri dari 4 lapis lingkaran tanpa relief dengan 72 stupa tertinggi dan terbesar yang hampa. Akhirnya, untuk menarik batas antara Maha Meru yang melambangkan sorga dan dunia yang fana, dibuatlah cakrawala (roda besi). Bukan dari besi, tapi dari batu.

Begitulah sejarah pembuatan “sepatu” kaki candi Borobudur itu seperti dituturkan Dr.Soekmono dalam Kongres Internasional Orientalis di Michigan, AS, tahun 1967. Kemudian soal bentuk Borobudur sendiri. Disini banyak pula teori yang saling bertentangan. Ada yang mengatakan Borobudur merupakan stupa (lingkaran), tempat menyimpan abu suci Sang Buddha. Tapi ini sudah dibantah oleh Prof. Von Heine-Gelderen, ahli purbakala Asia Tenggara yang menyebut Borobudur bukan stupa. Melainkan piramid batu berjenjang 10, seperti yang biasa dibangun oleh penduduk Indonesia di akhir zaman batu untuk memuja nenek moyang.

Adapun 10 jenjang itu, yakni dari kaki sampai stupa di puncaknya, memang menggambarkan 10 jenjang keutamaan untuk mencapai kesempurnaan Buddha (Boddhisatva). Tapi itu merupakan teori baru. Sedang jauh-jauh hari sebelumnya, tahun 1931, W.O.J. Nieuwenkamp melontarkan hipotesa yang fantastis: bahwa Borobudur sebenarnya merupakan kembang teratai raksasa, yang mengambang di permukaan danau yang luas, dari mana Sang Buddha yang akan datang Padmasambhawa) akan dilahirkan. Ide itu bukannya dipetik begitu saja dari langit. Tapi didasarkan atas penelitiannya terhadap denah Borobudur dan sekitarnya.

Menurut dia, Borobudur menggambarkan kembang teratai yang hinggap di atas bukit seolah-olah melayang di udara. Lantas dia juga menemukan bahwa baik Borobudur, candi Pawon, candi Mendut, maupun desa-desa di sekitarnya yang menggunakan nama ‘Tanjung’, letaknya 235 meter di atas muka laut. Makanya dia menyimpulkan bahwa dataran Kedu yang letaknya di bawah garis 235 meter itu, tadinya merupakan satu danau raksasa di tengah-tengah mana Borobudur mengambang. Gagasan kembang teratai itu sudah dibantah oleh Dr.Soekmono. Namun eksistensi danau itu “bisa dipertimbangkan”. Mengapa? Karena pemboran ke dalam tubuh monumen itu menunjukkan, bahwa bukit di sekeliling mana dia dibangun bukanlah bukit alamiah. Tapi bukit tanah timbunan.

Ada kemungkinan bukit itu dibangun dengan mengeduk tanah di sekitarnya. Sedemikian rupa, sehingga timbul satu danau buatan.


Kerja paksa

Pendapat Soekmono itu didukung oleh 2 hal. Pertama foto udara yang menunjukkan adanya lekukan di sebelah selatan Borobudur. Yang kedua, ingatan orang dulu yang mengatakan bahwa di sana ada rawa di abad ke-19. Malah desa di sebelah barat daya candi Borobudur sampai sekarang masih bernama desa Sabrang rawa (seberang rawa). Dan dari sudut agama Buddha, eksistensi suatu danau atau kolam, yang kebanyakan buatan tangan manusia, memang cocok dengan kebiasaan mereka dalam membangun tempat-tempat suci. Hal itu terbukti dari penggalian-penggalian di Plaosan, Jawi, Sumberawan, Gua Gajah, Panataran dan lain-lain. Lantas mengapa danau raksasa itu tidak ada lagi sekarang?

Ada kemungkinan, danau itu sudah terendam oleh abu, lahar dan batu muntahan gunung Merapi yang meletus dengan dahsyatnya sekitar tahun 1000. Kemudian tahun 1700-an. Volume zat padat yang dimuntahkan itu cukup banyak. Terbukti dari penemuan candi Sambisari dekat Yogya, dibangun sesudah Prambanan, yang terkubur di bawah lapisan abu vulkanis setebal 3 meter. Erupsi Merapi ini diduga merupakan penyebab dipindahkannya sisa-sisa kekuasaan Hindu-Mataram oleh Mpu Sindok ke Jawa Timur. Namun pendapat lain mengatakan, dan ini didukung oleh sejarawan Satyawati Suleiman: bahwa penduduk Jawa Tengah hijrah ke Jawa Timur tak lain untuk melarikan diri dari kewajiban kerja paksa membangun candi untuk para raja.


Tinggalkan komentar

Kategori