Oleh: hurahura | 25 Januari 2012

Ekspedisi Cincin Api: Gunung Meru, Pusat Semesta

Kompas/Laksana Agung Saputra

Berlatar Gunung Semeru, sejumlah perempuan melintasi jalan Desa Oro-oro Ombo, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, 16 Maret 2009. Meski status Gunung Semeru adalah Siaga, aktivitas warga di desa yang berjarak sekitar 8 kilometer dari puncak Semeru itu tetap berjalan normal.

KOMPAS, Sabtu, 21 Januari 2012 – Kisah Gunung Meru yang dikeramatkan menjadi asal berbagai praktik pemujaan gunung-gunung di Jawa dan Bali setelah kedatangan Hindu-Buddha. Semua gunung di Jawa dianggap suci karena merupakan ceceran dari Gunung Meru di India.

Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Agus Aris Munandar mengatakan, Gunung Meru dipercaya sebagai tiang utama dunia yang menghubungkan surga dan bumi.

Ajaran Brahmana menganggap alam semesta berbentuk lingkaran, di pusatnya terdapat benua Jambhudwipa. Di tengah Jambhudwipa, di pusat semesta, terdapat Meru, gunung kosmis yang diedari Matahari, Bulan, dan bintang. Di puncak Meru itulah terletak kota dewa-dewa yang dikelilingi dewa-dewa penjaga jagat.

Ajaran Buddha Mahayana, menurut Agus, juga menganggap pusat alam semesta adalah Meru. Gunung ini dikelilingi tujuh pegunungan, masing-masing dipisahkan tujuh samudra berbentuk lingkaran. Benua di selatan Meru adalah Jambhudwipa, sedangkan tiga benua lain dihuni makhluk-makhluk asing.

Di lereng Gunung Meru terdapat surga terendah, tempat keempat raja besar penjaga dunia. Di puncaknya terdapat surga kedua, tempat 33 dewa. Kemudian di atas Meru tersusun lapisan-lapisan lain dari kahyangan.

Agus menegaskan, Gunung Meru adalah gunung mitos dan dipercaya terdapat dalam rangkaian Pegunungan Himalaya. Dalam konsepsi Hindu, konsep Meru dikaitkan dengan pemujaan terhadap Siwa sebagai dewa bumi atau Girisa, penguasa gunung. Gunung suci juga disadari menjadi unsur kuat penyubur tanah atau bumi.

Menurut Agus, Meru sebagai pilar semesta mirip juga dengan kisah asal-usul lingga yang berasal dari tiang api, sebagaimana dipaparkan dalam kisah Linggodbhawa. Tiang api muncul merupakan jelmaan Siwa, mengalahkan kekuatan Brahma dan Wisnu.

Dari kisah itulah mengapa di Asia Tenggara banyak dipuja lingga dengan sebutan Lingga Parwata atau lingga gunung. Lingga itu diletakkan di atas bukit buatan atau kuil bertingkat-tingkat, yang juga dianggap simbol Gunung Meru.

Di Indonesia, bukti tertua konsep Lingga Parwata ditemukan pada prasasti Canggal (732 M). Disebutkan, Raja Sanjaya mendirikan lingga di atas gunung yang bernama Sthirangga (yang abadi dan kuat). Sthirangga inilah simbol Meru.

Sedikit berbeda, menurut Agus, jika pada konsep ajaran Brahmana (1000 SM sampai 750 SM), Meru merupakan pusat semesta, maka pada era Hindu, pemujaan terhadap Meru karena terkait dengan Meru sebagai tempat dewa gunung.

Di Indonesia, adaptasi konsep Meru dikisahkan dalam naskah-naskah kuno, terutama masa Majapahit pertengahan.

Naskah kuno yang dianggap babon yang memberi penjelasan terkait dengan pemujaan gunung-gunung di Jawa adalah kitab Tantu Panggelaran, sebuah prosa berbahasa Jawa Kuna dengan angka tahun 1635 M. Para peneliti masih berdebat apakah angka tahun tersebut merupakan angka tahun pembuatan atau angka tahun penyalinan naskah.

Konsep pada Tantu Panggelaran merupakan sinkretisme antara Buddha, Hindu, dan Jawa. Kisah Tantu Penggelaran dianggap sebagai respons terhadap fenomena gempa bumi yang sering terjadi di tanah Jawa, termasuk menjawab pertanyaan asal-usul manusia Jawa.

Dikisahkan, tanah Jawa semula selalu berguncang, diterpa gelombang samudra. Para dewa sepakat menenangkan Pulau Jawa karena akan dijadikan tempat kehidupan dan berkembang biaknya manusia. Para dewa kemudian bersama-sama memindahkan Gunung Mahameru dari Jambhudwipa (India) ke Pulau Jawa.

”Selama perjalanan pemindahan gunung tersebut, bagian Mahameru tadi jatuh berguguran dan menjelma menjadi beberapa gunung lain di Jawa,” kata Agus. Disebutkan, gunung-gunung di Jawa wilayah timur yang merupakan bagian Mahameru adalah Gunung Katong atau Lawu, Wilis, Kampud atau Kelud, Kawi, Arjjuna (Arjuno), dan Kemukus (Welirang).

Tubuh Mahameru diletakkan miring, menyandar pada Gunung Brahma (Bromo), kemudian menjadi Gunung Sumeru (Semeru). ”Puncak Mahameru justru Gunung Pawitra atau Gunung Penanggungan yang tak seberapa tinggi. Dari kisah inilah bisa dipahami mengapa Penanggungan justru paling disucikan,” kata Agus.

Tak hanya dari kisah Tantu Panggelaran, anggapan bahwa Gunung Penanggungan suci juga dilihat dari bentuk fisik gunung tersebut. Penanggungan dikelilingi empat anak gunung yang menjadi mahkotanya. ”Juga dikelilingi daerah aliran Sungai Brantas, simbol samudra, menjadikan gunung ini mirip dalam gambaran sifat fisik Gunung Meru,” kata Agus.


Tanggapan

  1. Wow. Luar biasa.


Tinggalkan komentar

Kategori