Oleh: hurahura | 13 Oktober 2017

Arkeologi dan Kebencanaan

Tambora-01Gunung Tambora setelah meletus tahun 1815 (Sumber: Pratomo, 2015)

Saat ini Bali sedang banyak dibicarakan di berbagai media sosial, cetak, dan TV lokal maupun nasional pasca meningkatnya status Gunung Agung dari level “siaga” ke level “awas”. Artinya gunung yang telah tertidur selama 54 tahun ini mulai bangun kembali. Hal itu ditandai dengan turunnya hewan-hewan dari gunung, munculnya beberapa kali gempa kecil, dan tercium bau belerang. Menurut catatan Badan Geologi, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) pos pengamatan Gunungapi Agung tertanggal 25 September 2017 terjadi beberapa kali gempa yaitu vulkanik dangkal (75 kali), vulkanik dalam (72 kali), dan tektonik lokal (9 kali). Dengan begitu masyarakat dilarang beraktivitas di Zona Perkiraan Bahaya dalam radius 12 kilometer dari kawah puncak Gunung Agung.

Gunung Agung pernah mengalami empat kali letusan sejak 1800-an, yakni tahun 1808, 1821, 1843, dan terakhir tahun 1963. Jeda waktu antarletusan pun bervariasi, mulai belasan (1808-1821), likuran (1821-1843), dan bahkan satu abad (1843-1963). Letusan yang terakhir ini menelan waktu cukup lama, sejak dari 18 Februari 1963 dan  berakhir 27 Januari 1964. Tentunya banyak memakan korban dan harta benda milik warga.

Kerugian lainnya adalah rusaknya situs-situs arkeologi yang berada di wilayah lereng Gunung Agung. Salah satu situs arkeologi yang cukup besar dan masih menjadi pusat pemujaan masyarakat Bali hingga sekarang adalah Pura Besakih. Pura ini letaknya hanya sembilan kilometer dari Gunung Agung. Dengan begitu cukup mengkhawatirkan apabila melihat situasi dan kondisi Gunung Agung saat ini. Pemerintah Karangasem telah melakukan koordinasi dengan para pemuka agama Pura Besakih untuk menyelamatkan keberadaan benda-benda sakral yang tersimpan di pura ini. Upaya ini perlu dilakukan tidak hanya di Pura Besakih, namun di pura-pura lain yang menyimpan benda-benda sakral.


Kebencanaan pada masa lalu

Berdasarkan bukti-bukti arkeologis, nampaknya kita dapat menelusuri jejak rekam kebencanaan yang terjadi pada masa lalu. Kerajaan awal Nusantara, yakni Tarumanegara dengan rajanya yang gagah dan berani pernah menyuratkan sebuah berita pada sebongkah batu, yang kini disebut Prasasti Tugu. Dalam prasasti ini tertulis mengenai pembangunan Sungai Gomati yang dimulai pada tanggal 8 paro-terang bulan phalguna hingga 13 paro-terang bulan caitra. Ada anggapan bahwa pembangunan sungai ini bertujuan untuk menanggulangi bencana banjir, selain sebagai pengairan sawah. Walaupun dugaan ini belum sepenuhnya benar, namun dapat diterima karena memang wilayah Jakarta hingga sekarang hampir setiap tahun dilanda banjir.

Bemmelen (1949) pernah menyampaikan bahwa pada 1006 M, Gunung Merapi meletus sangat dahsyat, mengakibatkan lenyapnya sebagian puncak gunung disertai gempa bumi, banjir lahar, dan hujan material vulkanis. Letusan itu telah menghancurkan kerajaan Hindu di Jawa Tengah, bahkan Candi Borobudur dan Candi Mendut pun hancur oleh gempa dan terkubur oleh abu vulkanis. Kejadian inilah dianggap oleh sebagian ahli sebagai penyebab berpindahnya pusat Kerajaan Mataram Kuna dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

Sementara itu dalam Kitab Negarakrtagama pupuh I tertulis bahwa pada 1334 Gunung Kampud (Kelud) mengalami letusan yang dahsyat, dibarengi dengan gempa bumi, asap mengepul, dan guruh halilintar menyambar-nyambar. Geliat Gunung Kelud tersebut merupakan pertanda lahirnya seorang bayi yang akan menjadi pemimpin besar. Bayi tersebut adalah Raja Majapahit, Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk). Akibatnya beberapa candi terkubur oleh abu vulkanis Gunung Kelud, di antaranya Candi Kepung dan Tondowongso.

Pada masa yang lebih muda, yakni Masa Islam terdapat dua buah prasasti yang mengabarkan mengenai gempa bumi di Kota Yogyakarta. Prasasti itu terletak pada tembok antara ruang inti dengan serambi Masjid Besar Kauman Yogyakarta pada sisi sebelah timur.  Satu prasasti mengunakan huruf dan bahasa Arab, sedangkan satu prasastinya lagi mengunakan huruf dan bahasa Jawa. Gempa bumi yang pernah menguncang Kota Yogyakarta itu terjadi pada  Senin Wage pukul 5 tanggal 7 Sapar (Safar) tahun Ehe 1284 atau 1986, bertepatan dengan 10 Juni 1867 M.

Peristiwa yang luar biasa dan bahkan pengaruhnya hingga luar negeri adalah meletusnya Gunung Tambora pada 12-14 April 1815. Menurut catatan sejarah sebelum Gunung Tambora meletus terdapat tiga kerajaan di sekitar wilayah tersebut, yakni Kerajaan Tambora, Pekat, dan Sanggar. Pasca meletus, kerajaan-kerajaan itu tidak tersisa lagi. Dapat dibayangkan bagaimana dahsyatnya letusan Gunung Tambora, yang semula memiliki ketinggian 4.100 meter, kini hanya tersisa separuhnya (2.851 meter).  Kawasan yang sebelumnya subur menjadi kering, sehingga paceklik pangan pun tak terelakkan. Dampak semburan material ke udara menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang sangat siginfikan. Pada 1816 suhu bumi mengalami penurunan hingga menyebabkan Eropa tidak mengalami musim panas (Year Without Summer). Dampak lanjutan dari perubahan iklim ini juga sangat dahsyat, antara lain gagal panen yang diikuti kelaparan dan epidemi penyakit kolera yang sebelumnya penyakit “lokal” di India menjadi wabah mematikan di dunia.***

Penulis: Heri Purwanto, Lulusan Jurusan Arkeologi Unud


Tinggalkan komentar

Kategori