Oleh: hurahura | 23 Januari 2018

Publikasi Arkeologi di Era Kekinian

Konservasi-borobudur-fbHalaman milik Balai Konservasi Borobudur di Facebook (Ilustrasi)

Arkeologi dikenal sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan hal kuno. Paling tidak jika seseorang diminta mengatakan satu/dua kata yang berhubungan dengan arkeologi, sering muncul kata ‘kuno’ itu di antara kata lain misalnya fosil, batu, purba, dan prasejarah. Kalangan pecinta situs dan cagar budaya bahkan sering menyebut segala tinggalan arkeologi yang mereka temukan saat ‘blusukan’ dengan frasa ‘kekunoan’, lawan kata dari ‘kekinian’. Sepertinya memang arkeologi itu sangat jauh dari istilah kekinian karena arkeologi identik distereotipkan dengan kekunoan.

Label kuno pada artefak arkeologi memanglah label yang benar. Artefak arkeologi merupakan tinggalan bendawi manusia masa lampau yang melewati rentang waktu panjang hingga dapat dijumpai/ditemukan lagi di masa sekarang. Tentunya dengan kondisi yang apa adanya setelah ditinggalkan bertahun-tahun. Jika kita menyadari bahwa kondisi artefak yang ditemukan kembali di masa sekarang itulah kondisi terkini si benda. Tidakkah mungkin bahwa arkeologi yang identik dengan kekunoan sebenarnya adalah kajian tentang kekinian?


Akrab dengan masyarakat

Mengapa kondisi terkini itu sangat penting? Sebuah artefak arkeologi telah mengalami banyak perubahan sejak dibuat pada masa entah dan ditinggalkan dengan kemungkinan digunakan atau diubah lagi pada masa sesudahnya. Semua proses yang mungkin dialami si benda selama ditinggalkan tidak dapat dinafikan begitu saja karena faktor alam dan manusia biasanya berpengaruh terhadapnya. Arkeolog menyebutnya dengan taphonomic system = proses yang berlangsung sejak si benda ditinggalkan hingga ditemukan kembali. Tentu semua itu dapat diketahui melalui penelitian arkeologi yang sudah ada, yaitu dengan model kajian konteks arkeologi ‘transformasi data’ dan ‘behavioral process’.

Pernyataan di atas tidak perlu ditanggapi berlebihan karena tulisan ini hanya akan membahas fenomena praksis di dunia arkeologi ‘kekinian’ dan kemungkinan membuat arkeologi menjadi kajian kekinian yang akrab dengan masyarakat. Arkeologi yang bukan ilmu terapan/praktek/praksis memang lebih banyak berkutat pada teori. Itulah kenapa arkeologi yang sebetulnya terbuka dengan semua disiplin ilmu ini adalah kajian murni. Namun sejak munculnya perhatian peneliti yang dirumuskan dengan nama arkeologi publik dan manajemen kajian budaya (CRM), arkeologi menjadi punya arena untuk penerapannya/praksisnya di masyarakat. Meskipun begitu, arkeologi publik yang banyak mendebatkan antara hubungan antararkeologi dan masyarakat maupun sebaliknya, harus diakui masih berkutat pada tataran teori saja, setidaknya itu terjadi satu dasawarsa belakangan.


Penggunaan media sosial

Sekarang kondisi berubah, kemajuan teknologi komunikasi dan informasi terutama maraknya penggunaan media sosial di tengah masyarakat dapat dilihat sebagai peluang penerapan praksis dalam arkeologi. Arkeologi dapat memanfaatkan media-media itu untuk menyebarkan informasi arkeologi di kalangan masyarakat. Masyarakat dewasa ini memang sangat akrab dengan media social. Keaktifan masyarakat di media sosial memungkinkan sebuah pendapat/informasi dapat langsung mendapatkan respon dari anggota masyarakat lain. Sudah tidak diragukan lagi banyak cara publikasi dilakukan oleh instansi arkeologi maupun sumberdaya manusia arkeologi di media sosial.

Langkah mempublikasikan informasi arkeologi ini harus juga digarisbawahi mengandung misi membuat fenomena masa lampau relevan di masa kini. Seperti kita sering mendengar kalimat bijak “belajar dari masa lalu untuk menapak masa depan”, upaya menjadikan fenomena masa lalu dalam kajian arkeologi relevan di zaman ini adalah salah satu cara agar pengetahuan arkeologi dapat diterima di tengah masyarakat. Cara-cara untuk mempublikasikan arkeologi juga semestinya menyesuaikan dengan fenomena terkini.

Kemunculan grup-grup pecinta warisan budaya yang semakin menjamur sangat positif sebagai salah satu cara publikasi arkeologi. Tak jarang sering terjadi diskusi di dalam grup-grup tersebut. Tak ayal sering terjadi gesekan pendapat di antara anggota grup. Pendapat atau pengetahuan masyarakat mengenai sebuah tinggalan budaya harusnya diwadahi dan dijadikan pertimbangan untuk upaya pelestarian warisan budaya, karena mereka paling dekat dengan keberadaan warisan budaya. Paradigma seperti ini adalah cara pandang baru yang sudah saatnya dipraksiskan untuk kajian budaya di Indonesia.


Respon positif

Di sisi lain, instansi-instansi arkeologi mulai Balai Arkeologi hingga Balai Pelestarian Cagar Budaya dan museum mulai memanfaatkan cara publikasi melalui media sosial ini. Setidaknya banyak bermunculan akun baru dari instansi arkeologi akhir-akhir ini yang beberapa postingannya berisi publikasi pengetahuan arkeologi dan pelestarian. Langkah-langkah kekinian, dalam artian menyesuaikan kondisi zaman seperti ini sudah mulai digiatkan dan menunjukkan respon positif.

Media sosial dengan sifat berbeda seperti instagram juga menunjukkan fenomena menarik. Banyaknya obyek wisata yang muncul dalam foto-foto yang di-upload oleh akun-akun milenial masa kini juga sering mengambil latar bangunan cagar budaya. Paling banyak candi dan rumah kuno tinggalan kolonial. Kondisi ini menarik, karena semakin sering muncul foto cagar budaya yang terlihat oleh masyarakat maka apresiasi mereka terhadap cagar budaya semakin tinggi. Hanya, banyak wisatawan kekinian yang masih perlu mengetahui nilai yang terkandung dalam cagar budaya itu. Fenomena wisatawan yang berfoto di cagar budaya, banyak dianggap melecehkan cagar budaya oleh masyarakat yang mengetahuinya. Terutama orang-orang di grup pecinta warisan budaya di media sosial. Di sinilah momen dimana arkeolog bisa masuk untuk memberikan pengetahuan bahwa sebuah warisan budaya mengandung banyak nilai, antara lain ‘kesakralan’ yang masih diakui oleh masyarakat tertentu.

Kemunculan hal-hal negatif di media sosial kita juga selayaknya tidak diikuti, saling menghujat dan menyebarkan ujaran kebencian serta informasi hoax  akan semakin memperburuk kondisi yang berakibat mengancam kebersamaan dan persatuan. Lebih baik menulis yang bermanfaat, tanpa membawa pesan negatif perpecahan. Grahame Clark, penulis Archaeology and Society,  pernah mengatakan bahwa arkeologi diharapkan dapat menumbuhkan rasa kebersamaan seluruh manusia. Karena sudah semestinya manfaat kajian arkeologi dapat memperkaya pengalaman manusia sebagai pribadi yang sadar akan diri serta warisan segala zaman dan bersaudara antarsatu dengan lainnya. Ajaran luhur tentang kebersamaan dan persatuan yang diajarkan oleh para pendahulu juga terlalu banyak untuk diteladani.

Pembuatan media informasi online selain blog pribadi yang selama ini sudah ada, sepertinya perlu dibuat. Media seperti ini terinspirasi dari banyaknya media online kekinian yang bersifat ringan, layak dan nyaman baca (tulisan tidak terlalu banyak), dan menyasar pembaca kaum cendekiawan muda. Sebut saja tirto.id, mojok.co, atau beritagar.id. Media-media itu layak dijadikan referensi karena juga mengacu penelitian ilmiah arkeologi dan literatur ilmiah populer. Media-media itu juga menurut perhatian penulis tidak cuek dengan fenomena arkeologi. Beberapa tulisan tentang arkeologi dan cagar budaya  tampak sesekali diterima untuk mengisi halaman dan di-share juga dalam media sosial. Sekarang, tentu media khusus arkeologi sangat dibutuhkan. Namun pasti juga membutuhkan usaha penuh peluh bahkan berdarah-darah jika mengingat kondisi tulisan arkeologi populer secara kualitas dan kuantitas dewasa ini masih sulit untuk diharapkan. Setidaknya untuk sekarang memperbanyak tulisan ringan dan postingan sederhana tentang arkeologi harus digiatkan.

Fenomena era kekinian dewasa ini telah memunculkan celah-celah baru untuk publikasi arkeologi di tengah-tengah masyarakat. Mewujudkan arkeologi ‘kekinian’ dan menjadikan arkeologi populer/menjadi identitas kekinian juga semestinya semakin menemukan harapan di tengah kondisi masa kini. Semangat menjadikan pengetahuan arkeologi relevan dengan zaman adalah kerja praksis semua pihak. Masyarakat menunggu dan masih akan berharap pada akademisi arkeologi untuk pengetahuan masa lalu mereka.***

Penulis: Yogi Pradana, lulusan Departemen Arkeologi UGM


Tinggalkan komentar

Kategori