Oleh: hurahura | 2 Juli 2020

“Pulau Mas Kawin” Menuju Warisan Budaya Dunia

Tinggalan budaya di Pulau Mas Kawin yang juga disebut Pulau Penyengat (Foto: Disbudpar Tanjung Pinang)

Sebagian besar dari kita pasti pernah mendengar nama gurindam 12, Raja Ali Haji, atau Pulau Penyengat. Gurindam 12 merupakan puisi Melayu lama karya Raja Ali Haji, seorang sastrawan dari Pulau Penyengat. Nah, begitulah lengkapnya. Pulau Penyengat terletak di Provinsi Kepulauan Riau sekarang. Jaraknya tidak begitu jauh dari daratan. Kita mungkin dipandang belum ke Kepri, Kepulauan Riau, bila belum ke Pulau Penyengat.

Gurindam yang terdiri atas 12 pasal itu ditulis di Pulau Penyengat pada 1847 Masehi ketika Raja Ali Haji berusia 38 tahun. Isinya tentang puisi didaktik karena berupa nasihat dan petunjuk menuju hidup baik. Gurindam ini menjadi terkenal karena terbit pada 1854 dalam bahasa Belanda.

Gendang gendut tali kecapi,
kenyang perut senanglah hati.

Begitulah salah satu gurindam yang pernah saya kenal waktu di SMP.

Makam Raja Ali Haji tentu saja ada di Pulau Penyengat. Karena dikenal, makam ini sering jadi tujuan kunjungan para pelancong, termasuk dari luar kota atau luar negara. Apalagi jarak Malaysia dan Singapura ke Tanjung Pinang, ibu kota Kepri, tidak begitu jauh.

Para peserta seminar daring (Dokpri)


Tinggalan budaya

Bukan cuma makam Raja Ali Haji, di Pulau Penyengat banyak tinggalan budaya, antara lain benteng dan masjid. Ada lebih dari 40 obyek terdapat di sini. Maklum dulu Pulau Penyengat berhubungan dengan kerajaan Melayu Riau – Lingga, bahkan Johor dan Bintan. Sebagai pusat kebudayaan Melayu, tentu saja nama Pulau Penyengat seperti melegenda.

Hari ini, Kamis 2 Juli 2020, soal Pulau Penyengat dibicarakan dari kegiatan daring yang diselenggarakan Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat. Warisan Budaya Pulau Penyengat: Tantangan dan Peluang Pelestarian Serta Pengelolaannya, begitulah tema seminar.

Tiga narsumber hadir dalam kegiatan itu, yakni Pak Marsis Sutopo (Tim Ahli Cagar Budaya Nasional), Pak Surjadi (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang), dan Pak Adji Suradji Muhammad (dosen), dengan moderator Pak Nurmatias (Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Sumatera Barat).

Menurut Pak Marsis, ada lima potensi Pulau Penyengat dalam kaitannya dengan budaya. Dari segi Cagar Budaya ada 46 obyek berupa bangunan, benteng, makam, bekas dermaga, parit kuno, perigi, dan kolam. Bekas pusat kerajaan Melayu Riau Lingga dan tempat asal bahasa dan sastra Melayu menjadi potensi lain. Karena potensi itu pada 2018 Pulau Penyengat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional. Dengan peringkat ini, maka Pulau Penyengat bisa diusulkan sebagai Warisan Budaya Dunia kepada Unesco. Tari Zapin merupakan potensi lain. Tari ini diciptakan oleh Encik Muh. Ripin pada 1811.

“Pulau Penyengat akan lestari kalau bisa memberi manfaat kepada masyarakat masa kini,” kata Pak Marsis.

Tinggalan budaya di Pulau Penyengat (Foto: Disbudpar Tanjung Pinang)


Festival

Menurut Pak Surjadi, Pulau Penyengat memiliki luas 1,12 kilometer persegi dengan penduduk mendekati 2.600. Di Tanjung Pinang sendiri ada beberapa bukti penting, seperti kebudayaan Melayu, kawasan Pecinan, dan tinggalan Kolonial. Nah, ini tinggal dipadukan saja dengan Pulau Penyengat.

Khusus di Pulau Penyengat, menurut Pak Surjadi, setiap tahun ada festival dengan berbagai acara seperti lomba balas pantun, kuliner Melayu, dan lomba pukul bantal. Festival banyak didatangi masyarakat.

Terhadap pelestarian warisan budaya, masalah terbesar adalah rendahnya pengetahuan masyarakat tentang Cagar Budaya. Juga kurang regenerasi dan konservasi.

Dalam pandangan Pak Adji, untuk menuju Pulau Penyengat perlu disedaiakan kendaraan yang aman dan nyaman. Selama ini masyarakat kebanyakan menggunakan pompong yang cukup berisik.

Pak Adji juga mengusulkan peran aktif media untuk membantu promosi Pulau Penyengat. Selain itu menyiapkan regulasi, misalnya mempermudah kunjungan wisatawan, menjamin stabilitas keamanan dan kenyamanan, dan memberikan reward bagi pelaku wisata.

Dari kiri atas searah jarum jam: Pak Marsis, Pak Surjadi, Pak Nurmatias, dan Pak Adji (Dokpri)


Wisata minat khusus

Keuntungan kegiatan daring di masa pandemi ini, bisa diikuti peserta dari mana saja. Yang penting punya internet atau paket data. Kegiatan webinar tadi diikuti sekitar 350 peserta dari beberapa provinsi. Banyak pertanyaaan kepada ketiga narasumber.

Yang utama tentu saja tentang nama “Penyengat”. Ternyata kisahnya tentang para pelaut yang berhenti di sebuah pulau untuk mengambil air. Tiba-tiba ada sekawanan binatang yang menyengat mereka. Maka dikenal Pulau Sengat yang berubah menjadi Pulau Penyengat.

Kisah lain tentang Pulau Mas Kawin, hadiah perkawinan dari Sultan Mahmud Syah kepada sang istri, Engku Puteri Raja Hamidah pada 1803. Sejak itu banyak masyarakat ikut bermukim. Unik nama ini.

Pulau Penyengat, seperti kata Pak Surjadi, cocok untuk wisata minat khusus. Wisata literasi pernah diselenggarakan di sini. Di Pulau Penyengat masih tersisa naskah-naskah lama. Ada lagi wisata sepeda dan wisata kuliner. Semoga Pulau Penyengat bisa menjadi Warisan Budaya Dunia.***


Tinggalkan komentar

Kategori